21.15

Repleksi Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Repleksi Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Bagi Masyarakat Adat, Kaum Tani, dan Masyarakat Pedesaan Pada Umumnya, Dalam Merebut Kedaulatan atas Tanah dan Kekayan Alam

oleh : jalung (j47ung_kayan@yahoo.com)

 Sejarah perjuangan rakyat Indonesia tidak terlepas dari sejarah panjang penindasan, penghisapan dan perampasan tanah masyarakat adat, kaum tani, dan masyarakat pedesaan umumnya di Indonesia dengan adanya komersialisasi pertanian pada jaman penjajahan yang dilakukan oleh bangsa – bangsa Eropa dari mulai Portugis, Spanyol melalui Sistim Perkebunan Skala Besar yang mana Puncaknya Belanda menjadi penguasa perdagangan hasil bumi di Nusantara. 

 Mula-mulanya Pada tahun 1602 melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) maskapai perdagangan yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda menancapkan kukunya di bumi Nusantara dengan memonopoli komoditas hasil pertanian. VOC yang awalnya cuma menguasai perdagangan hasil pertanian kemudian mulai bergeser peranannya dengan melakukan penanaman komoditas. Priayangan stelsel dengan mewajibkan rakyat menanam kopi yang di awasi oleh penguasa lokal atau raja-raja pada saat itu. VOC juga mengunakan sistem penyewaan tanah dan sistem partikelir dimana pengusaha-pengusah dapat menarik hasil bumi dan jasa penduduk pada tanah yang disewakan oleh VOC.

Kemudian Pada tahun 1812-1916 Pemerintah Hindia Belanda melaui Gubernur Jendral Rafless dengan menerapkan sistem pajak yang merupakan bagian integral dari gagasan pembaharuan sistem pertanahan di wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Sistem ini didasari agar ada kepastian hukum dalam menguasai tanah di wilayah Hindia Belanda. Sistem ini sangat singkat diterapkan karena beberapa kendala terutama sulitnya masyarakat saat itu dalam memperoleh uang dan tindakan penyelewengan oleh pejabat yang mengurusnya sering terjadi. Sistem ini kemudian merupakan tonggak awal mulai dikenalnya sistem kepemilikan tanah individu atau perseorangan yang menajdia awal munculnya sistim baru yang diterapkan oleh Gubernur Jendral Van Den Bosch dengan sebutan Sistem Tanam Paksa.

Sistem Tanam Paksa ini menuai keberhasilan kepada Pemerintah Hindia Belanda dengan keberhasilan sebesar 841 juta gulden. Jika kita telusuri pelaksana sistim ini memiliki dua makna yang dalam yakni Wajib dan Paksa, yang mana Paksa mengandung maksud memaksa kaum tani untuk menyerahkan tanah kepada Pemerintah Hindia Belanda, sedangkan Wajib mengandung maksud agar petani menanam jenis tanaman perkebunan yang laku dipasaran Internasional (tebu, kopi, indigo, porsela dll) serta menyerahkan tenaganya untuk kerja diperkebunan. Hal ini mengakibatkan rakyat mengalami kerisis yang sangat tinggi di mana tanaman-tanamnya banyak terserang wabah penyakit terus kelaparan. 

Keberhasilan Sistem Tanam Paksa ini pun mengundang pihak swasta untuk ikut terlibat dalam usaha dibidang perkebunan. Alhasilnya dikeluarkannya Undang – Undang Pertanahan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1870 (Agraris Wetch). Undang – Undang ini mendorong pihak swasta untuk ikut secara langsung terlibat dalam usaha Perkebunan diwilayah kekuasaan Hindia Belanda dengan diaturnya hak sewa, hak erfprach, hak egindom dan lainnya. Untuk penyediaan tenaga kerja yang murah yang didatangkan dari jawa yang dikenal dengan sebutan kuli kontrak.

Revolusi Kemerdekaan 1945 telah melahirkan perkebunan – perkebunan peninggalan penjajah dibeberpa tempat direbut dan dikembalikan kepada kaum tani. Namun demikian, 21 desember 1949 KMB (Konferensi Meja Bundar) menghasilkan kekalahan indonesia yang mana hakekatat kekalahan kita sebenarnya adalah kebun yang telah dikuasi kaum tani dikembalikan kemudian kembali lagi kepada perusahaan – perusaan asing maupun perusahaan negara belanda. Namun pada saat itu presiden republik Indonesia pertama Soekarno dengan aksi sepihanya melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan asing, dan melahirkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960, Yang mana tujuanya untuk mengatasi dualisme hukum soal agraria di Indonesia yakni Hukum yang diwarisi oleh Kolonial Belanda dan Hukum warisan sistem usang feodalisme, dengan filosofi dasarnya tanah untuk penggarap ini merupakan angin segar bagi kaum tani, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan pada umumnya. Namun Sayangnya, belum sukses pelaksaanaan UUPA No. 5 Th 1960 Presiden Soekarno jatuh melalui skema politik Jendral Besar Soeharto dengan kudeta nya yang dilakukan melalui konspirasi negara penjajah pimpinan AS dan Inggris.

Kemudian Semenjak Massa presiden Soeharto ini lah perkebunan mulai dimunculkan kembali sistem perkebunan yang kemudian mengunakan tiga prinsip stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Hal ini kemudian melahirkan UUPMA yang sangat pro modal yang mana bertentangan betul dengan filosopi dasar UUPA 60. 

Pada masa ini pula kemudian perkebunan skala besar kemudian menjadi massif, mulai dari Perkebunan Kelapa Sawit yang mana Salah satu konsep yang diterapkan adalah Pola Sistim PIR dimana ada konsep perkebunan inti dan plasma. Yang mana Kewajiban inti adalah menyediakan sarana produksi kebun sementara petani di wajibkan menyerahkan tanah, tenaga kerja dan harus menjual hasilnya ke perusahaan inti. Konsep ini kemudian di integrasikan dengan program tranmigarsi dalam upaya pemenuhan tenaga kerja di perkebunan. Dan Pada tahap ini lah mulai di kenal istilah petani plasma yaitu petani yang masuk dalam skema perusahaan. Celakanya kemudian perkebunan kelapa sawit ini menjadi jargon mensejahterakan rakyat serta kemudian sawit ini dijadikan komoditi primadona oleh rejim hari ini.

Pada masa pemerintahan megawati menerbitakan UU Perkebunan yang juga sarat kepentingan pemodal. Sementara Rejim pemerintahan SBY-Kalla lebih menerapkan konsep Revitalisasi Perkebunan yang mana Sama sekali juga tidak berpengaruh apapun terhadap rakyat karena semangatnya Juga masih tetap pada konsep lama dimana masih pro-Pemodal, kesemua itu menambah rentetan panjang penderitaan masyarakat adat, kaum tani dan masyarakat pedesaan umumnya.

Sehingga sejarah diatas ini merupakan bukti nyata yang tidak bisa dipungkiri bahwasanya masyarakat adat, kaum tani dan masyarakat pedesaan umumnya masih dijajah kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam oleh negara dengan rejimnya, melaui legitimasi undang-udang terutama dimulai dari jaman rejim Soeharto Yang mana muncul pertamakali yaitu UUPM No. 25 Th. 2007, kemudian muncul lagi PP 77 Th. 2007, serta produk UU sektoral seperti UU Perkebunan No. 18 Th. 2004, UU Kehutanan No. 41 Th. 1999 dan juga di bidang Pertambangan, Energi, Perindustrian (Zona Ekonomi Bebas) yang sarat kepentinggan yang tidak berpihak pada rakyat. Hal ini lah medorong terjadinya konflik, peselisihan, pertikayaan dan perlawanan rakyat serta memunculkan kekroposan rasa nasionalisme. 

Kasus perkasus terus terjadi di seluruh indonesia mulai dari Marules-Banyuwangi, Pagak-Malang, Bojonegoro, Wonosobo, Banyumas, Karangsewu-Kulon Progo Jogjakarta, Karangsari-Garut, Tajur Halang-Bogor, Rumpin-Bogor, Deli Serdang-Sumut, hingga Kalimantan Barat seperti Kasus Masyarakat Teluk Keramat, Sejangkung dan Galing Kab. Sambas berhadapan dngan PT. SAM (yang mengantongi Ijin Untuk Perkebunan Kelapa Sawit), kemudian di Jawai Kab. Sambas berhadapan dengan PT. BMH (yang mengantongi Ijin Untuk Hutan Tanam Industri), terus lagi Masalah Ajudifikasi di Sui Itik, Sui Rengas Kec. Kakap yang menimbulkan tumpang tindihnya bukti kepemilikan antara Petani Penggarap dengan Pemegang Sertifikat yang berakibatkan konflik, terus lagi kasus penagkapan 3 dan 1 orang diproses dipengadilan negri sanggau karna berhadapan dengan PT. MAS (pemegang ijin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit)– Kab. Sanggau, di melawi masyarakat adat kemudian tidak bisa mengola tanahnya yang telah diwariskan secara turun temurun serta malah dipenjarakan karna melangar kebijakan kehutana yaitu kebijakan tentang Taman Nasional, Di Kapuas Hulu tepatnya di masyarakat Dusun Tapang Mada dan Lubuk Besar, Desa Sungai Buaya, Kec. Kayan Hilir serta Desa Riam Panjang, Kec. Kayan Hulu masyarakat harus dipukuli dan dipenjarakan karna mempertahan kan tanahnya yang diambil alih oleh PT. KARYA REKANAN BINA BERSAMA (KRBB) (Pemengang Ijin HPHH), masyarakat diDAS mendalam juga berhadapan dengan PT.Toras Banua Sukses (pemengang ijin IUPHH), dan hampir diseluruh kabupaten di kalbar yang mana tidak ada titik temu penyelesayan. Oleh sebab itu sudah selayaknya masyarakat adat, kaum tani dan masyarakat pedesaan lainya merapatkan barisan, galang persatuan dan perhebat perjuangan dalam rangka mendorong terlaksananya secara murni dan konsukwen UUPA No. 5 Th. 1960, UUPBH, PP No. 224 Th. 1961, TAP MPR No. 9 Th. 1999 sebagai wujuda dari pejuang atas kedaulatan terhadap tanah yang mejadi dasar kehidupan masyarakat adat, kaum tani dan masyarakat pedesaan umumnya, sehingga tercipta tatanan masyarakat yang berdaulat, mandiri dan bermartabat.