08.37

“ Delema Masyarakat Adat Terhadap Tanah Sebagai Jantung Kehidupan”

Oleh : Jalung

“Tanah merupakan modal dasar produksi rakyat dan petani serta masyarakat adat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, perampasan hak atas tanah yang dilakukan oleh negara khusnya pemerintah (borjuasi komprador)i melalui kebijakan-kebijakannya yang pro dengan kaum pengusaha dengan dalih alasan akumulasi APBD hanyalah Cara pembunuhan atau penjajahan terhadap rakyat dan petani serta masyarakat adat secara perlaha- lahan.”

Melihat petaka alam dan lingkungan dasawarsa ini meyulup kita untuk berpikir berapa lama kita akan bertahan dalam republik yang kita cintai ini, kerusakan alam ini bayak dipengaruhi oleh berbagai macam kebijakan pemerintah yang selalu memikirkan kepentingan ekonomi jaka pendek yang selalu mengorbankan tanah yang selama ini menjadi alat produksi utama bagi petani serta sumberdaya alam yang menjadi primadona bagi rakyatnya. Beringan dengan pembagunan yang semakin terus melangkah kedepan serta dengan peningkatan jumlah penduduk yang semakin pesat direpublik yang penuh impian ini, beriringan dengan itu pula kerusakan alam terus berjalan tampa terorganisir oleh para segelintir orang-orang Ditut (gambaran dongeng manusia rakus di suku kayaan) yang hidup dalam republik tercinta ini.

Menjadi pertanyaan besar bagi kita saat ini yaitu Bagaimana pertanggungjawaban republik ini kepada manusia-manusia korban dengan rentangan hitam realita historis kemanusiaannya, dan peristiwa-peristiwanya terhadap penyingkiran manusia terlebih lagi pada manusia dayak? Selama ini negara hanya mampu melahirkan berbagai teori pembenaran untuk menutupi dan melindungi ”mimpi-mimpinya” dengan memanfaatkan bermacam undang-undang dan membenarkan apa yang ”dimimpikannya” sebagai pandangan dan ladaasan pembangunan masyarakat. Ketika keadilan yang dibangun oleh negara harus menutupi keadilan lainnya, walaupun keadilan itu sendiri selalu berdiri dengan siapa yang mendirikannya!

Penghancuran sistemik terhadap sesuatu yang mendasar dalam tanah Masyarakat adat, semakin dipermanenkan oleh pembiaran negara terhadap praksis keadilan yang mengendapkan segala bentangan peristiwa konflik tanah, dan keadilan pada pelurusan sejarah masa lalu. Dan negara yang menganut paham pemimpin tertinggi mempuyai kekuasaan mutlak dan tidak usah mempertangung jawabkan perbuatannya kepada siapapun ini terlalu sinis untuk mewujudkannya, apalagi ketika sesuatu yang prisifil dalam tanah harus ”dikalahkan” oleh nilai-nilai komersialisme dan pengembangan kekuasaan korporasi yang berlandaskan pada kepentingan tanah.

Dan ternyata kita tengah dikelilingi oleh nilai-nilai tersebut, dan dengan keleluasaan yang ”liar” semakin menguatkan suatu proses pegembagbiakan bagi pengebirian produktivitas manusia yang dilandaskan oleh tanah. Negara hanya memberikan seadanya saja, bukan dengan apa adanya, terutama kepada alat produksi manusia dan keturunannya. Dengan keangkuhannya, negara telah membentuk manusia menjadi bentuk masyarakat ”pengemis” keadilan dan masyarakat ”penentu” keadilan, serta manusia-manusia yang tersingkir berada pada satu sisi yang paling ekstrem dalam sejarah kehidupan manusia di republik ini, yaitu sebagai masyarakat ”pengemis” keadilan. Dengan lika-liku yang semakin tak beraturan yang dikondisikan oleh negara, dan menghancurkan derajat kemanusiaan hingga pada titik yang terendah.

Ini bukanlah efek dari kebijakan sebuah Negara yang menganut paham pemimpin tertinggi memiliki kekuasaan mutlak dan tidak usah mempertangungjawabkan perbuatannya kepada siapapun juga, tetapi ini merupakan bagian dari kebijakan dari paham Negara diatas itu sendiri yang memperlakukan manusia dan tanahnya sebagai bagian dari objeknya. Dan suatu ideologi yang diperankan oleh negara, semakin mencapai kesempurnaannya dengan praksis-praksis perampasan tanah, menghilangkan/meniadakan peran pemberdayaan, dan memformalkan manusia yang tersingkir sebagai salah satu sasaran/target yang ”mengancam” ketegaran negara. Yang mementingkan kepentingan individu kaum Ditut.