01.00

ANALISIS WILAYAH KERJA

HPH PT. TORAS BANOA SUKSES

Oleh: Rudi Zapariza

I. Pendahuluan

Dalam menganalisis keberadaan wilayah kerja HPH PT. Toras Banua Sukses menggunakan 2 analisa yaitu Bio-fisik dan sosial-ekonomi masyarakat sekitar wilayah kerja PT. Toras Banua Sukses. Untuk Bio-fisik memanfaatkan sistem informasi geografis (SIG) untuk lebih memudahkan analisis-spatial dengan beberpa tahapan antara lain pengumpulan data, analisis dan pelaporan. Sedangkan untuk data sosial-ekonomi lebih melihat kondisi sosial-ekonomi masyarakat di wilayah DAS Mendalam dan DAS Sibau, dikarenakan kedua wilayah tersebut masuk dalam wilyah kerja PT. Toras Banoa Sukses. Sosial-ekonomi masyarakat akan dilihat gambaran sosial masyarakat meliputi tingkat pendidikan, kesejahteraan dan kesehatan, sedangkan secara ekonomi masyarakat akan dilihat sumber pendapatan, pola menu konsumsi dan infrastruktur masyarakat.

II. Analisi Bio-Fisik

a. Landasan Hukum

Adapun kriteria penetapan kawasan menurut fungsinya sebagai berikut:

1. Hutan Lindung:

a. Areal dengan nilai skore >175 (hasil penjumlahan dari ketiga faktor di atas), atau memenuhi salah satu syarat sebagai berikut;

b. Mempunyai lereng lapangan > 40%

c. Tanah Peka terhadap erosi, yaitu jenis tanah Regosol Litosol, Organosol dan Renzina

d. Ketinggian 2000 m dpl

2. Kawasan bergambut di hulu sungai dan rawa (tebal > 3 M)

3. Kawasan resapan air

4. Sempadan sungai: sungai kecil (lebar <>30 m) lebar sempadan 100 m.

5. Kawasan sekitar danau/waduk dengan lebar sempadan 100 m

6. Kawasan sekitar mata air dengan radius 200 m

7. Kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa)

8. Kawasan Pelestarian Alam (taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam)

9. Bufferzone hutan lindung, lebar 500 m (telah di tata batas) atau 1.000 m (belum ditata batas)

10. Kawasan pelestarian plasma nuftah (KPPN)

11. Kawasan pengungsian/perlindungan satwa liar

12. Budaya masyarakat istimewa; dan kawasan lokasi situs purbakala/peninggalan sejarah bernilai tinggi

13. Kawasan rawan bencana alam

14. Hutan produksi alam yang masih tetap dipertahankan keberadaannya dalam aral kerja.

Keputusan presiden No. 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung menyebutkan bahwa kriteria kawasan lindung adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor lereng lapangangan, jenis tanah, curah hujan yang melbihi nilai skore 175, dan/atau, kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% atau lebih, dan/atau kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2.000 meter atau lebih.

Berdasarkan keputusan Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan No. 683/Kpts/Um/8/1961 serta keputusan Presiden No. 48/1983 terdapat 3 faktor yang dinilai yaitu ketentuan nilai skore kelerangan, ketentuan nilai skor jenis tanah (sub-groups) dan ketentuan nilai skore curah hujan harian, adapun nilai skorenya sebagai berikut:

Ketentuan nilai Skore Kemiringan (lereng) lahan

KELAS

LERENG

DESKRIPSI

NILAI SKORE

1

0% - 8%

Datar

20

2

9% - 15%

Landai

40

3

16% - 25%

Agak Curam

60

4

26% - 40%

Curam

80

5

41% atau lebih

Sangat Curam

100

Ketentuan Nilai Skore Jenis Tanah (sub-groups)

KLASIFIKASI

TANAH

KELAS

PUSLITAN BOGOR

USDA, 1992

KEPEKAAN

NILAI SKORE

1

Aluval, Tanah Glei, Planosol, Hidromorf kelabu, Laterik Air Tanah

Aquents, Fluvents, Aquaepts

Tida Peka

15

2

Latosol

Oxisol

Agak Peka

30

3

Brown Forest Soil, Non Calcik Brown, Mediteren

Alfisol

Agak Peka

45

4

Andosol, Laterit, Grumosol, Podsol dan Podsolik

Andisol, Vertisols, Spodosols, Ultisols

Peka

60

5

Regosol, Litosol, Organsol, Renzina

Arents, Psaments, Oxisol, Histosols

Sangat peka

75

Ketentuan Nilai Skore Data Curah Hujan Harian

KELAS

CURAH HUJAN

DESKRIPSI

NILAI SKORE

1

s/d 13,6 mm/hr

Sangat rendah

10

2

13,6 s/d 20,7 mm/hr

Rendah

20

3

20,7 s/d 27,7 mm/hr

Sedang

30

4

27,7 s/d 34,8 mm/hr

Tinggi

40

5

34,8 >

Sangat tinggi

50

b. Analisis Biofisik

PT. Toras Benoa Sukses pada awalnya mendapatkan surat keputusan dari Bupati Kapuas Hulu No. 522.11/105/PH/2002 tanggal 19 Februari 2002 dengan dberikan IUPHHK seluas + 22.000 Ha dengan jangka waktu 20 tahun, namun berdasakan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, maka sesui dengan pasal 2 peraturan menteri kehutanan No P.03/Menhut-II/2005 jo Nomor P.05/Menhut-II/2006 terhadap IUPHHK pada hutan alam dan atau hutan tanaman yang diterbitkan oleh gubernur atau bupati/walikota dilakukan verifikasi oleh Dirjen Bina Produksi Kehutanan, berdasarkan telaahan Badan Planologi Kehutanan areal tersebut berubah dari + 22.000 Hektar menjadi ­+ 24.920 Hektar dengan alasan dengan adanya penyesuaian batas dengan hutan lindung Bukit Panggihan – Bukit Lambu Anak. Dari peta yang dikeluarkan dan ditanda tangani menteri kehutanan, setelah didigitasi ulang didapat wilayah kerja PT. Toras Benoa Sukses memiliki wilayah kerja seluas 22.260 hektar, dari analisis didapat antara lain:

a. Berdasarkan Nilai Kemiringan wilayah kerja HPH PT. Toras Benoa Sukses terdapat:

· Daerah Datar (0%-8%) seluas 292 Hektar

· Daerah Landai seluas (9%-15%) 10.276 Hektar

· Daerah Agak Curam (16%-25%) seluas 4.820 Hektar

· Daerah Curam seluas (26%-40%) seluas 276 Hektar

· Daerah Sangat Curam (41% - lebih) seluas 6.595 Hektar

b. Berdasarkan pengelompokan jenis tanah:

· Dystropepts, Paleudults, Tropudults (nilai skore 60) seluas 4.778 Hektar

· Dystropepts, Tropudults (nilai skore 60) seluas 1.816 Hektar

· Rendolls, Eutropepts (nilai skore 75) seluas 4.820 Hektar

· Tropaquepts, Fluvaquents, Tropofluvents (nilai skore 15) seluas 292 Hektar

· Tropudults, Dystropts (nilai skore 60) seluas 276 Hektar

· Trpudults, Tropaqupts (nilai skore 60) seluas 10.276 Hektar

c. Berdasarkan curah hujan Harian

· Dengan nilai skor 10 seluas 6.595 Hektar

· Dengan nilai skore 20 seluas 10.569 Hektar

· Dengan nilai skore 30 seluas 4.820 Hektar

· Dengan nilai skor 40 seluas 276 Hektar

C. Hasil

  1. Berdasarkan keputusan Menteri Pertanian No. 837/KPTS/UM/11/1980 dan No 683/KPTS/UM/8/1961 serta keputusan Presiden No. 48/1983, penilain skore kelerangan, jenis tanah dan curah hujan, wilayah kerja PT Toras Banua Sukses seluas + 22.260 Hektar, didapat:

· Hutan Lindung seluas 1.979 Hektar

· Hutan Produksi seluas 15.858 Hektar

· Hutan Produksi Terbatas 4.423 Hektar

  1. Untuk pengelopokan jenis hutan bedasarkan tutupan lahan terdiri atas:

· Hutan Lahan Basah 897 Hektar

· Hutan Lahan kering 19.170 Hektar

· Lahan Terbuka 1,5 Hektar

· Semak Belukar 2.151 Hektar

· Sungai 39 hektar

  1. Berdasarkan tingkat bahaya erosi wilayah PT. Toras Benua Sukses

· Kelas 0-15 dengan kriteia sangat ringan seluas 5.112 Hektar

· Kelas 15-60 dengan kriteria ringan seluas 10.276 Hekter

· Kelas 180-480 dengan kriteria berat seluas 1.816 Hektar

· Kelas > 480 dengan kriteria sangat berat seluas 5.054 Hektar

III. Analisis Sosial-Ekonomi

a. Gambaran Sosial

Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Mendalam dilihat dari struktur umur kepala keluarga, maka umumnya responden masih tergolong usia muda (< 40 tahun) sebanyak 53,3%, namun demikian secara keseluruhan sebagian besar responden ternasuk ke dalam usia produktif yakni sebesar 98,3 %. Untuk jelasnya dapat dilihat Tabel 1. berikut ini.

Tabel 1. Karakteristik Rumah Tangga Responden Menurut Umur, 2005

Kelompok Umur

Jumlah ( Orang)

(n = 60 )

Persen

(%)

20 - 30

14

23,3

31 - 40

18

30

41 - 50

15

25

51 - 60

12

20

60+

1

1,7

Jumlaah

60

100

Sumber : Hasil aanalisis Data Primer, 2005

b.Pendidikan

Kondisi pendidikan di lokasi penelitian masih sangat memprihatinkan, salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah faktor geografis yang kurang strategis karena letaknya jauh di hulu sungai. Apabila dilihat dari sebaran pendidikan, terlihat tingkat pendidikan formal rata-rata responden kepala keluarga di daerah ini masih relatif rendah yakni rata-rata hanya 4,8 tahun. Dari 60 responden ternyata sebagian besar (45,0%) berpendidikan tidak tamat Sekolah dasar (SD) artinya bersekolah SD hanya mencapai kelas I sampai kelas V saja, bahkan ada responden yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekali (5,0%). Hanya sebagian kecil kepala keluarga yang mencapai pendidikan menengah (8,3%), tingkat pendidikan tertinggi responden di lokasi penelitian adalah (3,3%).

Menurut Majid (1991), bahwa rendahnya tingkat pendidikan merupakan keterbatasan yang umumnya dimilki petani lahan kering yang mengakibatkan dalam berusaha tani masih berorientasi untuk pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten) dan menghindari resiko. Di sisi lain Soeharjo dan Patong (1973), berpendapat bahwa pendidikan seseorang umumnya mempengaruhi cara berpikirnya, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan cenderung semakin dinamis sikapnya dan responsif terhadap hal-hal baru.

Tabel 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan , 2005

Tingkat Pendidikan

Jumlah

(orang)

Persen

(%)

Tidak Sekolah

3

5,0

Tidak Tamat SD

27

45,0

Tamat SD

12

20,0

Tamat SLTP

11

18,3

Tamat SLTA

5

8,3

DII,

2

3,4

Jumlah

N = 60

100

Sumber : Hasil Analisis

Dapat dimaklumi rendahnya tingkat pendidikan penduduk di lokasi penelitian ini, disebabkan akses penduduk terhadap lembaga pendidikan atau sekolah sangat rendah. Hal ini terlihat dari sarana fisik pendidikan dan tenaga guru di lokasi penelitian yang sangat terbatas. Di dua DAS yang menjadi lokasi penelitian tingkat pendidikan yang ada hanya sampai jenjang SD, apabila mau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi , maka siswa tamatan SD harus melanjutkan ke Putusibau, Semitau, Sintang ataupun ke Pontianak.

Di lokasi penelitian masih tersebut, ditemukan hampir di setiap dusun mempunyai masalah sarana dan tenaga guru yang sangat minim, dimana kelas I sampai dengan kelas VI umumnya hanya menempati tiga lokal dengan tiga orang guru termasuk kepala sekolah. Menurut narasumber di Nanga Hovat dan desa Tanjungkarang DAS Mendalam, menyatakan sebagai berikut :

”di desa ini hanya tersedia SD kelas I sampai dengan kelas V apabila ingin mengikuti ujian akhir atau menamatkan SD harus pindah ke desa yang memiliki SD lain yang dapat menyelenggarakan ujian kelas VI. Namun masalah lain muncul bagi mereka yang mau melanjutkan dari kelas V dari desa tersebut apabilas pindah ke SD di desa lain agar dapat menamatkan sekolah SD harus bersedia turun kelas dari kelas V menjadi kelas III. Hal ini terjadi pada anak saya, selain itu juga gurunya sering tidak mengajar ”

Kondisi demikian ini menggambarkan potret pendidikan di lokasi penelitian yang sangat memprihatinkan, sehingga anak-anak di lokasi penelitian sulit mendapatkan akses untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik. Pada umumnya hampir di semua dusun baru memiliki SD dengan segala keterbatasan, sehingga akses anak di daerah ini untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi sangat rendah.

Suatu hal yang mengagumkan berdasarkan wawancara dengan para informan, banyak diantara orang tua sub-etnis Dayak ini yang telah berusaha menyekolahkan anaknya ke luar desa apabila ingin sekolah yang lebih tinggi seperti ke Putusibau bahkan sampai ke Pontianak (kuliah). Kondisi demikian ini menunjukkan tingginya kesadaran sebagian orang tua tentang pentingnya pendidikan anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, walaupun disadari harus mengorbankan banyak uang untuk sekolah, biaya hidup dan sewa rumah. Namun demikian, kesadaran tersebut timbul dari sebagian besar orang tua yang memiliki pendidikan relatif tinggi (SLTA ke atas) dan memiliki kedudukan atau status sosial yang relatif tinggi di desanya seperti kepala desa, guru, dan pengawas sekolah yang berhasil ditemui.

c. .Jumlah Anggota Keluarga

Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan petani maksimum adalah 6 orang per KK dan minimum 2 orang per KK atau rata-rata sebanyak 3,2 orang. Dilihat dari jumlah anggota keluarga, maka rumah tangga petani di lokasi penelitian merupakan keluarga kecil. Demikian juga dilihat dari jumlah anggota keluarga yang membantu di dalam usaha-tani, ternyata hanya berkisar antara 1-2 orang. Dari jumlah tersebut ternyata semua responden (100%) menyatakan bahwa yang paling banyak membantu dalam usahatani adalah istri. Kenyataan di atas menunjukkan besarnya peranan perempuan (istri) dalam mengelola usahatani di daerah ini. Bahkan berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian ternyata kaum perempuan di daerah ini lebih dominan dalam mengelola usahatani sehingga juga menjadi penentu berhasilan usahatani yang dikelolanya. Karena selain sebagai tenaga kerja istri responden juga turut menentukan dalam mengambil keputusan untuk menentukan jenis tanaman yang ditanam, juga memiliki kontrol (sebagai pengambil keputusan) dalam menjual hasil produksi ke pasar, karena sebagian besar responden (86,7%) menyatakan bahwa yang menjajakan/menjual hasil produksi usahataninya ke pasar adalah istrinya.

Yang terpenting dari jumlah anggota keluarga adalah jumlah anggota yang membantu dalam usahatani. Jumlah anggota keluarga rata-rata di lokasi penelitian yang membantu dalam usahatani hanya berkisar antara satu sampai tiga orang per kepala keluarga, hal ini disebabkan oleh karena anak-naknya bersekolah di luar tempat tinggalnya yakni di Kota Putusibau bahkan ada yang kuliah di Pontianak. Selain itu juga ada yang memilki anak masih kecil sehingga belum dapat membantu dalam usahatani.

Kecilnya jumlah anggota keluarga yang membantu dalam usahatani tidak terlalu berpengaruh terhadap kelancaran pekerjaan dalam usahatani, karena di lokasi penelitian ini untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dapat terpenuhi dari tolong menolong bergilir antar sesama petani. Tolong menolong ini terjadi pada saat membuka lahan, menanam padi dan pada saat panen.

d. Keadaan Tempat Tinggal

Salah satu indikator untuk menilali tingkat kesejahteraan masyarakat adalah keadaan tempat tinggal yang dimilikinya. Tempat tinggal atau rumah merupakan kebutuhan primer selain sandang dan pangan bagi setiap keluarga. Penduduk di lokasi ini ada yang tinggal di rumah panggung biasa dan di rumah tradisionel yaitu rumah panjang atau biasa disebut rumah ”betang”. Betang adalah suatu bangunan tradisional yang dimilki oleh beberapa kelompok sub-etnik Dayak yang ada di Kapuas Hulu. Pembagian ruangan atau bilik yang ada di dalam betang mencerminkan stratifikasi dan sistem yang unik dari masyarakat yang tinggal di dalamnya. Bagian tengah dari betang adalah untuk aktivitas yang bersifat publik, sedangkan bagian depan digunakan untuk menjemur padi dan hasil produksi lainnya. Ruang belakang biasanya untuk keperluan memasak ruang tidur dan tempat berkumpul anggota keluarga.

Selain itu juga, di desa Semangkok di tepi sungai Mendalam berdiri megah rumah betang yang masih asli yang dihuni oleh sub-etnik Taman Mendalam dengan panjang 189 meter, terdiri dari 27 pintu dan tinggi rata-rata 8 meter dari atas permukaan tanah. Atap dan tiang penyangga terbuat dari kayu belian. Pada saat penelitian (Mei 2005) sebanyak 24 pintu/bilik telah mengalami perbaikan (direhabilitasi), dan masih tiga pintu/bilik yang belum atau sedang direhabilitasi.

e. Kesehatan

Kondisi kesehatan masyarakat di tiga DAS, yakni DAS Mendalam, Sibau dan DAS Apalin umumnya masih memprihatinkan ditinjau dari fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang tersedia.

Tabel 3. Keadaan Fasilitas Kesehatan

NAMA DAS

PUSKESMAS

PUSTU

POLINDES

YANKES KIA

Mendalam

-

2

3

1

Sibau

-

2

-

-

Jumlah

-

4

3

-

Sumber : Hasil analisis dari Data Yang Dihimpun WWF,2003

Data tabel di atas menggambarkan minimnya fasilitas kesehatan yang ada di daerah tersebut, selain hanya tidak semua dusun memiliki fasilitas pelayanan kesehatan juga tenaga medis yang tersedia juga sangat terbatas di masing-masing Puskesmas Pembantu (Pustu) dan Poliklinik Desa (Polindes) tersebut umumnya hanya ditempati oleh bidan desa, bahkan sering terjadi bidan desa hanya datang seminggu sekali yakni pada hari Minggu, maka alternatif pengobatan bagi masyarakat adalah berdukun (” babalian/Tamambaloh/Taman”).

Pemahaman masyarakat tentang hidup sehat, sanitasi lingkungan relatif rendah selain itu tidak tersedianya air bersih untuk dikonsumsi secara aman, karena masyarakat umumnya memanfaatkan air sungai yang kini sudah banyak tercemar akibat eksploitasi hutan. Selain itu juga lingkungan rumah yang kurang higienis, mengakibatkan masyarakatat dalam kondisi rawan terhadap serangan penyakit seperti muntaber, malaria, demam berdarah, dan penyakit lainnya. Seperti pengakuan dari beberapa responden, bahwa penyakit yang ditakuti adalah malaria tropikana yang sering menyerang penduduk.

f. Budaya Bertani

Berdasarkan catatan WWF, terdapat 5 sub-etnis Dayak Di DAS Sibau yaitu : Bukat, Kantu’, Taman Banua Sio, Melayu dan Iban. Budaya berladang Dayak Taman Sibau sampai saat ini masih dipertahankan. Banyak ritual upacara yang dilakukan sebelum membuka ladang, seperti menyiapkan sesajen untuk roh penunggu tanah tempat berladang. Setelah ritual upacara ini dinakikan, lokaasi tempat berladang ini tidak boleh didatangi selama tiga hari. Selama membuka ladang masyarakat percaya dengan suara-suara burung tertentu, karena diyakini bahwa suara burung tersebut dapat membawa rezeki ataupun malapetaka bagi masyarakat. Sebagai contoh kalau ada burung Ketupung, Nendak, Beragak, Pangkas, atau Embuas yang berbunyi, mereka pantang ke ladang selama tiga hari. Jika pantangan ini dilanggar, maka malapetaka akan menimpa, seperti ada warga yang meninggal, kecelakaan sewaktu berladang atau gagal panen.

Dalam kehidupan sehari-hari kegiatan berkebun bagi etnis Melayu, Dayak Taman dan Kayaan sudah menjadi kebiasaan, sedangkan etnis Bukat masih mengikuti tradisi perladangan gilir balik lahan kering dan sangat jarang bercocok tanam sayuran, sehingga tidak jarang pula mereka membeli sayuran dari suku Kayaan yang berladang di hilir kampung Bukat. Khusus kaum perempuan suku Taman disamping aktivitas melakukaan perladangan, juga dikenal dengan kepandaian sebagai pengrajin manik-manik (handycraft) disamping itu kegiatan lainnya yang mereka lakukan adalah melakukan aktivitas berkebun. Adat atau tradisi yang dilakukan suku Kayaan setiap tahun adalah Dange” dan yang biasa juga oleh suku Dayak seluruh Kalimantan Barat dengan sebutan ”Naik Dango” (Kanayatn). Kegiatan ini dimaksudkan untuk mensyukuri kepada Yang Maha Kuasa atas hasil panen. Dalam kegiatan ini akan terlihat representasi kebudayaan mereka dalam bentuk khas seperti: tarian, khasanah sastra lisan, keindahan motif perisai/karawit dan tato, aksesoris pakaian adat, keunikan motif topeng ”Hudo” dan prosesi upacara adat yang syarat dengan makna kehidupan .

g. Sumber pendapatan

Sumber pendapat responden berasal dari: berladang, menoreh getah, berkebun kopi, berkebun coklat (Desa Padua), memungut hasil hutan, berburu, mengambil kayu di hutan, beternak (sapi, ayam dan babi), menjala dan memancing ikan Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, dapat dilihat bahwa yang menjadi pekerjaan pokok masyarakat terutama di tujuh dusun yang dikunjungi adalah bertani yakni berladang. Namun pendapatan dalam bentuk uang tunai diperoleh sebagian besar dari menoreh getah, dan menjual kayu/papan hasil hutan, serta sebagian kecil dari hasil penjualan palawija dan sayur-sayuran. Walaupun waktu yang mereka gunakan dalam setahun (365 hari) dirata-ratakan sebanyak 192 hari kerja, namun diakui bahwa karet menjadi andalan sumber pendapatan tunai dan merupakan andalan kehidupan sehari-hari mereka. Sunguhpun demikian bilamana musim tanam padi ladang tiba, mereka seakan lupa bahwa karet dapat memberikan kehidupan yang lebih layak. Penghasilan rata-rata petani diperoleh dengn cara memperhitungkan semua bahan yang dihasilkan baik yang diperoleh dengan cara beli maupun diambil dari alam atau yang dijual ataupun di konsumsi sendiri. Seperti ikan yang ditangkap dengan cara di jala/dijaring/dipancing setiap hari dari sungai dan dikonsumsi habis dalam sehari yang diperkirakan minimal 1 kg/hari, ini dihitung menjadi pendapatan setiap hari atau setahun menjadi 360 hari. Dikatakan oleh petani bahwa harganya berkisar antara Rp. 1.000/kg – Rp 3.000/kg, maka dalam kesempatan ini diambil harga terendah sebgai dasar perhitungan berikutnya, demikian juga untuk komoditas lainnya. Contoh lain, harga padi berkisar antara Rp 1.000 – Rp 1.200/kg dan bahkan di Nanga Hovat harga padi kalau dijual hanya Rp 500/kg, maka dalam perhiatungan pendapatan diambil harga rata rata yaitu Rp. 1.000 /kg.

Hasil perhitungan Di DAS Mendalam penghasilan rata-rata penduduk dari menoreh karet cukup tinggi dalam setahun mencapai Rp 6.048.000/tahun dibandingkan dengan penghasilan padi ladang Rp.1.795.000 (29.79%) dan bahkan lebih besar dibandingkan dengan seluruh penghasilan sampingan Rp 5.605.000. Dengan kata lain hasil karet memberikan kontribusi 52% dalam pendapatan keluarga. Tingginya produksi karet di dusun Semangkok dibandingkan dengan dusun lainnya, mungkin dikarenakan luasnya kebun karet yang menghasilkan atau banyaknya jumlah pohon yang ditoreh (luas yang sama tidak menjamin produksinya sama). Seperti temuan di lapangan ada beberapa orang responden yang memiliki kebun karet mencapai 3-7 Ha, sehingga dalam satu hari dapat menghasilakan karet sebanyak 10 – 20 kg. Biasanya jika kebun cukup luas, maka menoreh getah dilakukan oleh orang lain dengan sistem bagi hasil, yakni ½ dari seluruh hasil; artinya pemilik dapat setengah dan buruh yang menoreh mendapat ½ dari hasil torehan.

Di Dusun Teluk Telaga terlihat hasil padi ladang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil dusun lainnya. Disini juga memperlihatkan hasil padi sawah dan hasil ikutan ladang cukup dominan dan menunjukkan petani cukup rajin menanam komoditas lainnya pada saat menanam padi. Seperti kacang-kacangan, peria, mentimun dan sayur-mayur, ubi kayu, jagung dll. Ternak babi cukup membantu penghasilan keluarga dalam setahun, Demikian juga di dusun Tanjung Karang padi ladang cukup berarti bagi petani, selain hasil ternak. Dusun ini juga potensi lahan sawah lebak/rawa namun produtivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan hasil padi sawah di dusun Semangkok dan Teluk Telaga yang ada sumber airnya.

Diantara dusun yang di studi, diketahui masyarakat Dusun Nanga Hovat belum mengenal budidaya karet walaupun mereka sudah melihat bukti nyata dari hasil kebun karet. Mereka sangat mengharapkan bantuan bibit karet dan bimbingan dalam budidaya karet. Komoditas yang diharapkan adalah kokoa/coklat dan kopi. Dilihat dari sumber pendapatan masyarakat, kayu merupakan sumber utama dan binatang buruan yang saat ini sudah dianggap sulit diperoleh. Selain disebabkan oleh perburuan yang terus menerus, juga disebabkan pergi lebih jauh karena takuat mendengar suara mesin penebangan kayu yang dilakukan oleh masyarakat. Mereka juga sudah mulai berladang beberapa tahun yang lalu namun dalam luasan yang sangat terbatas, karena dalam beberapa kali pengalaman, hasil yang diperoleh sangat tidak memadai. Selain padi mereka juga sudah menanam ubi kayu, mentimun, keladi, jagung dan komoditas sayuran lainnya. Bilamana diperhitungkan dengan nilai uang, produksi yang mereka hasilkan paling rendah dibandingkan dengan penghasilan dusun lainnya yaitu Rp. 6.540.000/tahun atau sebulannya Rp. 545.000 .

Penghasilan tertinggi diperlihatkan oleh Dusun Tanjung Lasa Rp 13.518.000, selain bermata pencaharian pokok sebagai petani karet, ternyata hasil ternak sapi berperan besar terhadap income keluarga. Rata –rata dapat menjual sekor sapi setiap tahunnya. Dusun lainnya di DAS Sibau yang merupakan dusun paling hulu dari DAS ini adalah Dusun Nanga Potan yang juga menjadikan usahatani karet sebagai penghasilan pokok mereka. Kegiatan berburu masih dilakukan karena binatang buruan masih ada walau sudah agak sulit diperoleh, namun hesan air berupa ikan masih dianggap mudah diperoleh, Karena itu tidak mengherankan rata-rata responden dapat menangkap ikan seharinya minimal 2 kg atau dalam setahun dihitung sebanyak 720 kg atau senilai Rp 720.000. Memelihara babi merupakan keterampilan yang miliki oleh responden. Hasil kajian ini memperlihatkan bahwa ternak di semua DAS relatif baik pertumbuhannya dan mengisyaratkan bahwa potensi ternak untuk dibudidayakan dan dikembangkan di semua DAS cukup logis, karena dengan pengelolaan yang sederhana saja dapat memberikan hasil yang cukup memuaskan.

Berdasarkan keraggaan usahatani dan sumber pedapatan masyarakat di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa pada dasarnya kegiatan pertanian yang mereka lakukan sama sekali tidak menggunakan pupuk buatan/anorganik atau dapat dikatakan sudah terbiasa dengn bahan organik dalam membantu pertumbuhan tanaman. Hanya saja teknologi dan sistem kerja yang belum memenuhi syarat untuk dapat dikatakan sabagai suatu sistem pertanian organik yang akan dikembangkan. Jika diperhatikan jumlah pendapatan di dusun-dusun tersebut berkisar antara Rp. 588.250 – Rp 1.151.250/bulannya. Namun data ini masih perlu dikoreksi karena masih banyak responden yang memberikan informasi tidak selengkap yang diharapkan yang berarti angka ini mungkin lebih tinggi lagi. Berdasarkan data ini diketahui rata- rata penghasilan masyarakat saat ini adalah Rp 869.750/bulan.

h. Pola Menu Konsumsi

Bila diperhatikan pola menu di atas ada dua jenis bahan makanan yang dominan dan tidak ditingalkan masyarakat sebagai makanan pokok yaitu beras dan sayur mayur. Sayur mayur umumnya diperoleh dan mengambil dari kebun atau ladang mereka dan bahkan ada yang mencari dan mengambil di hutan. Atas dasar kesamaan bahan yang dikonsumsi maka dapat dikelompokkan menu makan masyarakat menjadi 16 pola menu sehari hari hingga dapat diperhitungkan menjadi menu satu bulan. Untuk menu yang sama dikelompokkan dalam satu pola, demikian juga besar pengeluarannya di kelompokkan atau dijumlahkan yang kemudian dibagi dengan frekuensinya. Dengan cara seperti ini diperoleh rata-rata besar pengeluaran setiap pola yang berkisar antara Rp 300.000 – Rp. 798.000/bulan. Jika dibagi dengan jumlah seluruh responden diperoleh besar rata-rata pengeluaran konsumsi perbulan yaitu Rp 549.000/bulan. Bila dibandingkan dengan penghasilan Rp 588.250 – Rp 1.151.250 perbulan = Rp. 869.750/bulan, maka petani diangap masih dapat menabung atau untuk belanja keperluan yang lain. Hal ini jug dibuktikan oleh kepemilikan radio dan TV di rumah mereka

i. Perkembangan Pembangunan Infrastruktur

Peranan infrastruktur adalah sangat besar dalam memperluas, memberdayakan dan memacu pertumbuhan pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan bidang ini bukan saja meningkatkan. Perbaikan infrastruktur, berperan penting dalam meningkatkan arus barang dan jasa dari dan ke daerah perdesaan sehingga dapat meningkatkan akses penduduk terhadap pasar dan informasi.

Untuk membangun suatu kawasan, faktor transportasi merupakan salah satu pertimbangan dalam memilih dan menentukan suatu lokasi yang akan dibuka selain potensi sumberdaya alam yang dimiliki dilokasi tersebut. Transportasi juga sangat mempengaruhi kelancaran komunikasi antar kawasan yang akhirnya akan mempengaruhi percepatan pembangunan kawasan dimaksud. Kecamatan Kota Putussibau dan Kecamatan Kedamin sebagian besar wilayahnya desanya berada dipinggir sungai (Sungai Mendalam dan Sungai Sibau), dan aksesnya terhadap masyarakat luar juga cukup besar.

Jarak Ibu kota Kabupaten ke desa bervariasi, yang terdekat dapat ditempuh selama 30 menit sedangkan yang terjauh (Nanga Hovat) ditempuh dengan waktu sekitar 3-3,5 jam dengan motor air 40 HP. Dari dusun ini juga dapat dilalui jalan darat, bilamana kondisi jalan kering, ke pusat Kota Putusibau dapat menggunakan kenderaan motor roda dua akan lebih singkat. Jangkauan ke desa-desa lainnya juga relatif mudah dan cepat dengan menggunakan waktu 2-3 jam. Belum semua desa dapat dicapai dengan kenderaan darat, karena kondisi alam yang masih sulit dilalui dan sebagian besar belum ada jalan nya. Sementara dusun lainnya di DAS Mendalam seperti ke dusun Lung Mitin, dusun Tanjung Karang, dusun Teluk Telaga (Desa Padua Mendalam ) dan ke dusun Uma’ Suling , Dusun Pagung dan ke Dusun Ng Hovat yang paling dekat jaraknya dengan hutan TNBK (desa Datah Dian) sudah dapat dicapai melalui jalan darat dengan menggunakan sepeda motor. Sedangkan dusun Ng Sambus dan dusun Semangkok (desa Hapan Mulia) hanya dapat dicapai melalui sungai dalam waktu antara 15-30 menit tergantung besar mesin motor air yang digunakan.

Untuk mendatangi perkampungan/dusun di wilayah DAS Sibau terutama perkampungan paling hulu yang berbatasan langsung dengan hutan TNBK diperlukan waktu 3-3.5 jam menggunakan motor air long boat (40HP) (Tabel 3.7)

Tabel 7

Waktu Tempuh Dari Kota Putussibau Ke Lokasi Desa Kajian

Nama DAS, Desa dan Dusun

Waktu Tempuh Dengan Menggunakan

Kenderaan Sungai dan Darat

Keterangan

Jalan darat

15 HP

40 HP

Roda 4 /Roda 2

Desa Harapan Mulia

Dusun Nng Sambus

Dusun Semangkok (Ariung Mendalam)

Desa Padua Mendalam

Dusun Lung Miting

Dusun Tanjung Karang

Dusun Tlk Telaga

Desa Datah Dian

Dusun Uma’ Suling

Dusun Pagung

Dusun Nanga Hovat

*

20 menit

30 menit

50 menit

55 menit

1.15 jam

1.50 jam

1.55 jam

3.20 jam

*

15 menit

20 menit

35 menit

40 menit

1.10 jam**

1.20 jam**

1.25 jam**

3.05 jam**

*

-

-

1 jam

2 jam

2.30 jam

2.40 jam

3 jam

3.5 jam

Sepeda motor

Sda

Sda

Sda

Sda

Sda

Desa Sibau Hilir

Dusun Pangilingan

Dusun Bua’ Manik

Desa Sibau Hulu

Dusun Tanjung Lasa

Dusun Tanjung Pandan

Dusun Nanga Potan

-

-

-

-

-

-

1 jam**

1.30 jam**

2 jam**

2.30 jam**

2.45 jam**

40 menit

50 menit

1 jam

-

-

Sda

Sda

Sda

Sumber : WWF (pangamatan langsung, th 2003) dan pangalaman perjalanan Tim Peneliti

Tabel 8

Ongkos Transfortasi Dari Kota Putus Sibau Ke Lokasi Desa Kajian

Nama DAS, Desa dan Dusun

Ongkos Transfortasi Menggunakan

Kenderaan Sungai dan Darat

Keterangan

15 HP

Rp

40 HP

Rp

Ojek

Rp

Desa Harapan Mulia

Dusun Nng Sambus

Dusun Semangkok (Ariung Mendalam)

Desa Padua Mendalam

Dusun Lung Miting

Dusun Tanjung Karang

Dusun Tlk Telaga

Desa Datah Dian

Dusun Uma’ Suling

Dusun Pagung

Dusun Nanga Hovat

*

10.000

12.000

18.000

22.000

25.000

45.000

50.000

225.000

*

20.000

25.000

35.000

40.000

50.000

70.000

75.000

250.000

*

-

-

1 jam

2 jam

2.30 jam

2.40 jam

3 jam

3.5 jam

Sepeda motor

Sda

Sda

Sda

Sda

Sda

Desa Sibau Hilir

Dusun Pangilingan

Dusun Bua’ Manik

Desa Sibau Hulu

Dusun Tanjung Lasa

Dusun Tanjung Pandan

Dusun Nanga Potan

-

-

-

-

-

-

50.000

75.000

100.000

150.000

200.000

40 menit

50 menit

1 jam

-

-

Sda

Sda

Sda

Sumber : WWF (pangamatan langsung, th 2003)

Keadaan di atas memperlihatkan bahwa pada dasarnya transportasi dan komunikasi ke desa-desa kajian sudah sangat lancar, namun ongkos transportasinya dianggap masih sangat mahal, kadang tidak berimbang dengan hasil penjualan produk usahatani yang dijualnya

Di lingkungan desa/dusun sendiri, di seluruh dusun yang dikunjungi sudah ada jalan, terbuat dari bahan semen yang sangat mendukung kelancaran hubungan antar rumah warga (tidak becek lagi) Jalan kabupaten yang melintasi dusun Tanjung Karang cukup lebar masih dalam kondisi pengerasan. Jalan tersebut sudh dibuat sejak tahun 2000 dalam kondisi masih baik namun sudah bersemak karena jarrang dilalui, baik oleh orang maupun kenderaan bermotor. Kondisi jalan ke arah desa Putussibau pada musim hujan sulit dilalui karena dasar badan jalan kurang kuat dan becek. Akibatnya transportasi sangat tergantung pada angkutan sungai. Selain jumlah bahan yang dapat diangkut menggunakan sampan bermotor lebih banyak maka transportasi sungai menjadi sangai penting kecuali jalan yang ada di perbaiki dan dalam kondisi hujan pun jalan dapat dilalui minimal dengan kenderaan bermotor roda dua.

Prasarana dan sarana umum selain jaringan jalan adalah lampu penerangan desa secara swadaya sudah memenuhi kebutuhan warga/masyarakat di seluruh desa, karena di masing-masing dusun sudah ada listrik desa yang dimiliki secara perorangan. Secara swadaya listrik di alirkan kerumah-rumah warga yang menyala setiap malamnya dengan lama menyala sangat tergantung pada keadaan. Bilamana ada film yang bagus untuk ditonton ataupun ada tamu yang menginap maka lampu akan dinyalakan hingga pagi hari. Fasilitas komunikasi yang sudah dinikmati adalah telepon tangan (Handphone) terutama di Dusun Tanjung Karang. Pada titik tertentu melalui jaringan Satelindo kemunikasi melalui HP dapat dilakukan, sedangkan di dusun lainnya sinyal HP belum dapat di tangkap.

j. Permasalahan Sumber Daya Alam

Wilayah DAS Mendalam dan wilayah DAS Sibau, merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam, dimana masyarakatnya masih menggunakan adat sebagai landasan pengelolaan sumber daya alam. Namun seiring dengan kepentingan-kepentingan ekonomi pengelolaan sumber daya alam tersebut menjadi tarik menarik dengan kebutuhan akan keberlanjutan dari sumber daya alam tersebut, sehingga keseimbangan sumber daya alam semakin terganggu.

DAS Mendalam sudah cukup banyak eksploitasi-eksploitasi sumber daya alam skala besar, kesemuanya ini dilihat dari kepentingan pemerintah pusat dan daerah pada masa orde baru, alasan-alasan yang tidak signifikan menjadi dasar kuat bagi pemerintah untuk mengeluarkan beberapa izin mulai dari HPH skala besar dan kecil maupun izin HTI semuanya beralasan dengan pendapatan daerah/negara maupun kemakmuran atau pemberdayaan masyarakat sekitar, namun yang terjadi masyarakat masih tetap terpuruk ke dalam kemiskinan, kesejahteraan rendah, tingkat pendidikan semakin tidak jelas dan sumber daya alam semakin habis, dari masalah tersebut muncul re-sistensi yang berkepanjangan di masyarakat DAS Mendalam menghadapi pengelolaan sumber daya alam. Pertentangan-pertentangan ini terjadi sudah cukup lama, seperti penolakan masyarakat terhadap keberadaan HPH dan HTI di DAS Mendalam, melalui dialog dengan Dewan Perwakila Masyarakat Kabupaten Kapuas Hulu --ketika itu di jabat oleh Abang Tambul Hussein-- dan di tanda tangani bersama bupati Kapuas Hulu Yacobus F. Layang pada tanggal 13 Maret 2000 dalam kesepakatan tersebut tercatat bahwa pemerintah setuju dan mendukung sepenuhnya atas tuntutan masyarakat adat Kayan Mendalam untuk menolak HPH atau perusahan-perusahan yang bergerak dibidang kehutanan yang berada di DAS Mendalam.

Dengan memiliki 4 etniksitas yang berbeda--Bukat, Kayan, Taman Semangkok dan Melayu Sambus—masyarakat Mendalam mempunyai keberagaman budaya dan aturan adat yang berbeda, dengan penguasaan pengelolaan sumber daya alam bernilai ekonomi tinggi lebih menyebabkan konflik horizontal di masyarakat antar-etnik terjadi, walaupun tidak begitu kelihatan namun bibit konlik seperti klaim wilayah adat sudah mulai dirasakan bagi masyarakat DAS Mendalam, maka pada tahun 2005 bulan Oktober Menteri Kehutanan, M.S Kaban berkunjung ke dusun Tanjung Karang, DAS Mendalam. Ketika itu masyarakat membikin kesepakatan pengelolaan DAS Mendalam yang diajukan oleh menteri, yang berisi:

1. Hormati dan hargai hak dan kemampuan masyarakat adat dalam mengelola DAS Mendalam.

2. Kembalikan pengelolaan sumberdaya alam kepada masyarakat adat DAS Mendalam.

3. Hentikan tuduhan yang mengkambing hitamkan masyarakat adat sebagai pengerusak lingkungan.

4. Meminta agar pemerintah membantu dan mendukung upaya-upaya yang dilakukan masyarakat adat dalam menjaga, memelihara, memperbaiki, dan melindungi sumber daya alam.

Wilayah DAS Sibau memiliki hal yang tidak begitu berbeda dengan masyarakat DAS Mendalam, ancaman-ancaman sumber daya alam sudah lama terjadi mulai illegal logging, perburuan satwa, penangkapan ikan secara merusak. Kasus yang terjadi terakhir adalah pembakaran hutan adat yang sudah diserahkan ke aparat pengak hukum, namun karena masih tahapan tindakan persuasif, maka pelaku diselesaikan secara mekanisme adat. Bahkan dibeberapa wilayah pengelolaan hutan sudah ada kesepakatan pembagian kewenangan pengelolaan sumber daya alam DAS Sibau, misal di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) oleh Balai-TNBK dengan masyarakat, Hutan Lindung bersama dinas kehutanan dan wilayah adat oleh masyarakat ada Taman Banua Sio.

IV. Kesimpulan

· Dari aspek Bio-fisik keberadaan wilayah kerja PT. Toras Banua Sukses, masuk dalam kawasan lindung sebesar 1.979 Hektar, dengan kelas hutan lahan basah sebesar 2,8 Hektar, hutan lahan kering sebesar1.976 Hektar. Wilayah tersebut harus ditinjau ulang lagi untuk penggunan lahan karena dari luas wilayah tersebut tingkat bahaya erosinya termasuk kriteria berat dan sangat berat sebesar 1.972 Hektar. Sedangkan di wilayah hutan produksi kelas hutan yang ada adalah hutan lahan basah sebesar 251 Hektar, hutan lahan kering 13.750 Hektar, kawasan semak belukar 1.829 Hektar dan sungai 27 Hektar, untuk tingkat bahaya erosi kriteria berat dan sangat berat seluas 3.037 Hektar. Sedangkan untuk hutan produksi terbatas dengan kelas hutan lahan basah 643 Hektar, hutan lahan kering 3.444 Hektar, lahan terbuka 1,4 hektar, semak 322 Hektar sungai 11 hektar, dengan tingkat bahaya erosi kriteria berat dan sangat berat sebesar 1.861 Hektar. Dari 3 pembagian wilayah tersebut total untuk tingkat bahaya erosi berdasarkan kelas berat dan sangat berat seluas 6.870 Hektar, sehingga jika tajuk dan lapisan serasah pelindung permukaan tanah hilang, tanah akan terbuka sehingga mudah ter-erosi oleh tenaga air hujan. Sebagian pori-pori tanah tertutupi sehingga air tidak dapat meresap dan menyebabkan terjadinya peningkatan aliran permukaan serta erosi. Akibat dari erosi ini, lapisan tanah atas subur dan permeabel (mudah dirembesi air) akan hilang atau memadat, sehingga menurunkan kapasitas kemampuan tanah menyerap air (infiltrasi). Sebagian besar fauna tanah (secara tidak langsung) tergantung pada kontinuitas pasokan bahan organik dalam bentuk searasah daun, buah atau serasah kayu, alih guna fungsi hutan cenderung menurunkan serasah yang juga menurunkan persediaan makanan bagi fauna tanah. Erosi tidak hanya mempengaruhi lokasi tempat terjadinya kehilangan tanah (on-site) tetapi juga pada daerah dibawahnya (off-site). Pengaruh on-site dari erosi adalah:

· Menurunnya kesuburan tanah karena hilangnya lapisan tanah

· Menurunnya sifat fisik tanah karena hilangnya bahan organik tanah

· Menurunnya kapasitas infiltrasi

· Menurunnya produktifitas lahan pertanian

Sedangkan pengaruh off-site erosi hilir meliputi:

· Rendahnya kualitas dan nilai kegunaan air

· Sedimentasi pada aliran sungai

· Pengerusakan anak sungai dan lahan

· Perubahan rejim hidrologis sungai.

· Dalam kawasan hutan produksi (HP) seluas 15.858 hektar dan hutan produksi terbatas (HPT) seluas 4.423 Hektar, yang tidak memiliki kayu (semak belukar) di wilayas HP seluas 1.829 dan di wilayah HPT 322 Hektar dan lahan terbuka 1.479 Hektar. Kayu lebih banyak di lokasi hutan lahan kering seluas 13.750 Hektar (HP) ditambah di wilayah HPT 3.444 Hektar. Dari data tersebut, menurut izin yang diberikan Menteri dikerjakan selam 20 tahun dengan jumlah batang maksimum 11.025 batang/tahun dengan volume 42.890 Hektar apakah bisa mencukupi, sedangkan aturan penebangan di wilayah HPT diameter yang akan diambil di HP minimal 50 cm dan di HPT minimal 60 cm.

· Secara aspek legal dari penyesuaian Hutan Lindung Bukit Panggihan – Bukit Lambu Anak diwilayah kerja PT. Toras Banua Sukses harus di tinjau ulang lagi, berdasarkan peraturan yang ada kawasan tersebut peruntukannya masih masuk dalam kriteria lindung, sehingga penyesuaian ataupun penyempitan hutan lindung harus dilihat dari aspek yuridis yang sudah ditetapkan.

· Dari sisi sosial-ekonomi dampaknya akan terjadi penolakan dari masyarakat, karena dahulunya sudah ada kesepakatan antar masyarak DAS Mendalam untuk tidak memperbolehkan industri kehutanan masuk di wilayah mereka. Selain itu masyarakat tetap tidak berpengaruh nilai ekonomi mereka, di Indonesia belum ada cerita sukses pengembangan ekonomi masyarakat dengan kehadiran HPH, malah yang ada mengakibatkan berkurangnya nilai ekonomi masyarakat seperti kebutuhan dasar masyarakat (sub-sisten), perladangan, kualitas air bersih, dan pendangkalan sungai.

· Jika HPH PT. Toras ini tetap dipaksakan maka akan semakin besar peluang konflik horizontal antar etnik di dalam dan di luar DAS Mendalam. Karena tidak akan munculnya nilai yang menguntungkan semua pihak masyarakat keseluruhan, tetapi yang akan muncul adalah keuntungan ekonomi masyarakat tertentu, sehingga tidak terjadinya pemerataan kebutuhan ekonomi akan muncul konflik-konflik yang terbuka.

· Semakin besar ancaman terhadap kawasan konservasi yang lain seperti Taman Nasional Betung Kerihun dan Hutan Lindung sebagai penyangga kawasan tersebut, hal ini dikarenakan wilayah kerja PT. TBS berbatasan langsung dengan wilayah lindung sehingga yang akan terjadi adalah penjarahan di kawasan TNBK dan Hutan Lindung baik yang dilakukan oleh PT. TBS sendiri maupun masyarakat yang nantinya akan di jual lagi ke PT. TBS.