09.13

Pembagunan Seperti Apa yang ingin Diciftakan Untuk Orang Mendalam dan DAS Mendalam

A. Latar Belakang
Orang Mendalam adalah orang yang hidup di aliran sungai mendalam terdiri dari 4 suku/etnis dapat dikatakan sebagai gambaran kemajemukan kehidupan di kapuas hulu yaitu terdiri dayak Bukat, Kayan, Taman di perhuluan Sungai dan ethnis Melayu Hilir sungai, serta sebagian juga Kantuk hidup dalam sugai sambus, dan juga Suruk mereka hidup dalam tatanan adat istiandat dan hukum adat yang berasaskan harmonisasi keseimbangan dan kesederhanaan. mereka ini terbagi dalam 3 Desa yaitu Desa Padua Mendalam, Desa Datah Dian dan Desa Tanjung Jati Kecamatan Putusibau yang berada di wilayah hukum Kecamatan Putus sibau dengan kabupaten kapuas hulu. Kapuas hulu merupakan kabupaten yang terletak di penghulu sungai kapuas dengan koordinat 1110 32’ sampai 1140 09’ bujur timur dan 00 08’ sampai 10 36’ lintang utara dan luasnya 29,842 km2 (20,33% dari luas provinsi Kalbar) yang nama kotanya adalah putussibau dengan jumlah penduduk sekitar 199.277 jiwa Data KPU 2004 dan BPS 2003 dengan jumlah Kecamatan 23 kecamatan dengan 145 desa. kehidupan mereka berasaskan fluralisme dan ditopang oleh kondisi alam lingkungan di aliran sungai mendalam (DAS Mendalam)
DAS Mendalam ini adalah merupakan salah satu kawasan yang bernilai penting, baik secara ekonomi, social maupun ekologis. Dikarnakan DAS Mendalam merupakan sumber penyuplai air bagi sungai kapuas dan terletak diwilayah kawasan Taman Nasional Betung Kerihun yang merupakan salah satu taman nasional penting diKalBar, Indonesia dan bahkan didunia. Desa-desa yang terletak di sepanjang Sungai Mendalam memanfaatkannya dengan baik sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari sesuai dengan azas keseimbagan dan keberlanjutan.
selama ini daya dukung lingkungan alam wilayah ini cukup untuk orang mendalam kembangkan menjadi lahan pertanian dan perkebunan karet secara adat yang biasa dilakukan orang mendalam pada umunya, lahan-lahan di wilayah ini merupakan danau-danau dan rawa-rawa yang dangkal serta teras-teras sungai yang rendah dan lahan lahan berombak dan bukit-bukit sangat luas.

B. Permasalahan
Namun seiring dengan kondisi politik ekonomi bangsa ini dalam keadaan yang tidak menentu sehingga kepentingan-kepentingan ekonomi pengelolaan sumber daya alam tersebut menjadi tarik menarik dengan kebutuhan akan keberlanjutan dari sumber daya alam tersebut, sehingga keseimbangan sumber daya alam semakin terganggu.
DAS Mendalam khususnya sudah cukup banyak mengalami eksploitasi-eksploitasi sumber daya alam skala besar, kesemuanya ini dilihat dari kepentingan pemerintah pusat dan daerah pada masa orde baru, alasan-alasan yang tidak signifikan menjadi dasar kuat bagi pemerintah untuk mengeluarkan beberapa izin mulai dari HPH skala besar dan kecil maupun izin HTI semuanya beralasan dengan pendapatan daerah/negara maupun kemakmuran atau pemberdayaan masyarakat sekitar, namun yang terjadi masyarakat masih tetap terpuruk ke dalam kemiskinan, kesejahteraan rendah, tingkat pendidikan semakin tidak jelas dan sumber daya alam semakin habis, serta sungai-sungai mengalami pendangkalan dan mulai megeruh dari masalah tersebut muncul re-sistensi yang berkepanjangan di masyarakat DAS Mendalam menghadapi pengelolaan sumber daya alam. Pertentangan-pertentangan ini terjadi sudah cukup lama, seperti :
1. Penolakan masyarakat terhadap keberadaan HPH dan HTI di DAS Mendalam, melalui dialog dengan Dewan Perwakila Masyarakat Kabupaten Kapuas Hulu -- ketika itu di jabat oleh Abang Tambul Hussein -- dan di tanda tangani bersama bupati Kapuas Hulu Yacobus F. Layang pada tanggal 13 Maret 2000 dalam kesepakatan tersebut tercatat bahwa pemerintah setuju dan mendukung sepenuhnya atas tuntutan masyarakat adat Kayan Mendalam untuk menolak HPH atau perusahan-perusahan yang bergerak dibidang kehutanan yang berada di DAS Mendalam.
2. Penolakan terhadap SK. Menhut No. 107/MENHUT-II/2006 tentang Pembaharuan IUPHHK pada hutan Alam PT. Toras Banua Sukses atas areal Hutan Produksi seluas ±24.920 Ha sampai sekarang menjadi tanda tanya besar bagi warga di DAS Mendalam bagai mana penyelesaiyanya. Bahkan 10 Juli lalu, perwakilan masyarakat Mendalam Bunyamin Satar, Temenggung Kayaan Mendalam, Basyah, Haang, Rosa Ahun ke Jakarta bertemu Menteri Kehutanan MS Ka’ban, kemudia diterima pukul 12.00 di ruangan Ka’ban. Ka’ban sendiri tidak tegas serta bingung untuk mengabil keputusan saat masyarakat menuntut pencabutan ijin SK. Menhut No. 107/MENHUT-II/2006 tanggal 17 April 2006 untuk PT. TBS (dikutif dari media kalbar tgl 19/7/2007).

Pada hal pada tahun 2005 tepatnya tgl 19 Oktober Menteri Kehutanan, M.S Kaban berkunjung ke dusun Tanjung Karang, DAS Mendalam. Ketika itu masyarakat sedang melaksanakan Pehengkung Peji Pep’tang Petengaraan Pelahi Jung Urip Sayuu’ Hanii Ngerimaan (Berkumpul Bersama Bertanya Jawab Mendiskusikan Sesuatu, Saling Menjaga Agar Hidup Baik, Aman Tentram Dan Makmur) Tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA), dan akhirnya menghasilkan kesepakatan dan peryataan bersama tentang pengelolaan DAS Mendalam yang kemudian diajukan kepada menteri. peryataan sikap bersama yang berisi:
1. Hormati dan hargai hak dan kemampuan masyarakat adat dalam mengelola DAS Mendalam.
2. Kembalikan pengelolaan sumberdaya alam kepada masyarakat adat DAS Mendalam.
3. Hentikan tuduhan yang mengkambing hitamkan masyarakat adat sebagai pengerusak lingkungan.
4. Meminta agar pemerintah membantu dan mendukung upaya-upaya yang dilakukan masyarakat adat dalam menjaga, memelihara, memperbaiki, dan melindungi sumber daya alam.

Tapi kenapa pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah dan instansi pemerintah yang terkait dengan kehutanan atau sumber daya alam malah tidak mendorong upaya-upaya yang masyarakat mendalam lakukan dalam mejaga keberlansungan alam dan lingkungan mereka, malah pemerintah menjadi bumerang bagi masyarakat itu sendiri. Kemana arah pembagunan yang diinginkan bagi Orang mendalam dan DAS Mendalam ?, dan mana pembagunan yang berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa (berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme) Kemanusiaan yang adil dan beradab (tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi); Persatuan Indonesia (berlakunya kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan kehidupan ekonomi rakyuat dan hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial (persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama – bukan kemakmuran orang-seorang) yang selalu digembar gemborkan indonesia selama ini. Mana semangat persatuan NKRI yang selalu di besar-besaran bila mana semangat nasionalismen dan patriotisme pemerintah itu sendiri sudah dipertanyaakan, akan kemana arah perahu kapal pinisi akan dibawa ?. sekarang pemerintah malah menjadi kaki tangan kaum atau klompok penghisap saja sehingga massa rakyatnya hanya alat ujicoba atau percontohan bagi perkayaan diri sendiri, dan untuk menyelamatkan aset kekayaan pribadi demi kepentingan kedudukan / kekuasaan individu.

09.05

Kami Tidak Miskin

Manusia Dayak dikenal dengan kehidupan kesederhanannya, seperti yang terlihat pada sistem teknologi dan produksi yang mereka gunakan sehari-hari. Tata kehidupan mereka yang berazaskan adat istiadat serta berlandaskan harmonisasi dan kesimbangan menyiratkan semangat kesederhaan dalam pola dan konsep kepemilikan yang komunal. Hal ini tergambarkan dengan jelas dalam tatanan hidup di rumah panjang yang merupakan simbol utama bagi kehidupan dan entitas komunal budaya manusia Dayak.

Rumah panjang Dayak yang merupakan penggambaran yang utuh dari model dan konsep kesederhanaan serta harmonisasi Dayak, Bangunan memiliki dua bagian yaitu pertama bagian bilik yang dimiliki secara keluarga (ayah, ibu, anak) yang berfungsi sebagai tempat berkumpulnya keluarga. kedua bagian soah, soa atau amin (Bahasa Dayak Kayan) merupakan bagian yang terbuka, pada ruangan itu orang boleh berbaring dan tidur, serta bercengkrama satu sama lainnya. Fungsi terpenting dari soa lainnya adalah sebagai tempat bermusawarah secara bersama. Oleh sebab itu maka rumah panjang sesungguhnya tidak hanya merupakan tempat bernaung penghuninya jteapi lebih menjadi pusat sejarah serta pendidikan kebudayan manusia Dayak. Di mana para orang tua menuturkan sejarah dalam bentuk dongeng mengenai keberadaan adat istiadat dan nilai-nilai sosial budaya yang diturunkan kepada generasi-generasinya.

Di topang oleh kondisi alam yang kaya akan sumber daya, kehidupan sehari-hari manusia Dayak diisi oleh multi aktivitas, akan tetapi kegiatan utama yang dilakukan adalah berladang. Dalam sistem perladangan yang dilakoni oleh manusia Dayak, mereka memiliki kalender serta siklus berladangnya tersendiri. Aktivitas perladangan ini biasanya dilakukan pada pertengahan juli, setelah nesak tanaa’ (Melakukan surve lahan, bahasa Dayak Kayaan), yang akan dijadikan tempat berladang. Langkah selanjutnya adalah mengadakan upacara adat pembersihan lahan, baru kemudian menebas, menebang dan membakar lahan hingga siap tanam. Setelah semua proses dilalui maka tahapan selanjutnya adalah menentukan bibit padi yang akan ditanam. Kriteria pemilihan benih padi disesuaikan dengan kondisi lahan perladangan. Siklus perladangan ini diakhiri dengan kegiatan pemanen padi setelah beberapa bulan masa tanam. Salah satu kearifan sistem perladangan menurut manusia Dayak ini adalah, disetiap kegiatan perladangan selalu diawali dan diakhiri dengan upacara adat sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur kepada sang pencipta. Sedangkan berkebun, berternak dan berburu serta menangkap ikan secara tradisional, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-sehari merupakan konsep alternatif income yang sering digunakan.

Dari multi aktvitas kegiatan pengelolaan sumber daya alam di budaya Dayak mustahil rasanya kalau mereka dikatakan miskin. Setiap hari aktivitas yang dilakukan mereka adalah aktivtas yang menghasilkan nilai nominal. Mereka memulai aktivitas, rata-rata dari pagi pukul 05.00, yang dimulai dengan menoreh karet, selesai sekitar pukul 10.00-an. Jika dihitung dengan nilai harga jual, maka hasil yang didapat rata-rata 10 sampai 15 Kg per 6 jam setengah hari kerja, dengan ansumsi harga jual rata-rata misalnya 12 KgX Rp 8000/1Kg= Rp 96.000. Jika dalam seminggu maka 12 Kg X 6 hari = 72 kg X Rp 8000 = Rp 57.6000 Belum lagi harga kulat/jinton, harga perkilonya Rp 5000. Misal saja Jinton 5 kg/hari maka 5 kg X Rp5000 = Rp 25.000 dan X 6 hari kerja = Rp 150.000 . Keuntungan lain adalah setelah pulang dari noreh, mereka pergi kekebun buah dan sayur-sayuran, yang juga merupak sumber penghasilan bernilai ekonomi. Misalya dari kebun buah saja menghasilkan 1 tandan pisang, seharga Rp 5000, dan dari kebun sayur misalnya sawi kampung atau bayam yang mampu menghasilkan rata-rata 3 Kg dengan harga jual pukul rata Rp.10.000. Dengan demikian jika menghitung total pendapatan, maka dalam satu minggu dengan waktu jam 6 hari kerja/(48 jam ), penghasilan mereka sebesar sekitar 72kg/1minggu X Rp 8000. + Rp 15.000 dan X 4 Minggu (24 hari produktifitas kerja dengan jumlah jam kerja /1 minggu 48 jam ), maka sebulan meraka berpenghasilan bersih sebesar Rp 2.364.000. Semenatara biaya pengeluaran perhari tidak besar, karena mereka di kampung hampir setengh dari kebutuhan tidak di beli. Contohnya Seperti sayur mayur, beras, dan lauk-pauk, terpenuhi dengan kondisi alam yang mereka miliki.

Namun dari semua usaha yang menghasilkan itu, jika tidak didukung dengan kondisi fasilitas sarana dan persarana seperti sarana dan prasarana infastruktur yang memadai sepertinya adalah kesia-sian. Terutama infrastruktur transportasi, kesehatan dan pendidikan yang merupakan kebutuhan-kebutuhan yang mendasar. Fakta dilapangan membuktikan bahwa seandainya ada infrastruktur jalan yang dibangun itupun asal-asalan dan sangat tidak layak. Begitu juga disektor pelayanan kesehatan, diwilayah manusia dayak pelayanan kesehatan memadai adalah sebuah mimpi karena, sangat sulit menemukan klinik atau Puskesmas apalagi tenaga medis yang melayani aspek kesehatan manusia dayak. Hal ini setali tiga uang dengan kondisi pendidikan dilapangan, kualitas tenaga pendidik yang rendah serta ketidaksiapan fasilitas pendukung membuat manusia dayak semakin terpuruk.

Bicara soal pembangunan yang dikaitkan dengan manusia Dayak ibarat pepatah Jauh panggang dari api. Alasan sederhananya adalah, Hampir semua aspek yang menyangkut kepentingan umum saat ini ada ditangan segelintir orang dan dikendalikan oleh pihak swasta, sehingga pada posisi negara saat ini seakan-akan menganut paham swastaisme. Hal Ini dapat kita lihat dalam kebijakan-kebijakan negara yang telah mengarah kesana. misalnya saja hampir semua Badan Usaha Millik Negara (BUMN) yang ada saat ini diserahkan pengelolaanya kepada swasta (privatisasi). Aturan tentang privatisasi air yang telah dikeluarkan oleh pemerintah seakan menandakan bahwa, air yang menjadi kebutuhan dan dapat diakses publik kini berubah fungsi dan sifat dari publik ke privat karena pengelolaannya menjadi milik swasta. Sebagai contoh dibeberapa daerah seperti DKI Jakarta dan kota besar lainya di Indonesia PDAM nya telah dikuasai oleh perusahaan swasta asing antara lain Lyonaise dan Danone. Dengan demikian yang paling terkena dampak buruk kegiatan ini lagi-lagi adalah rakyat, karena harus membayar mahal untuk mendapatkan kebutuhan dasar bernama air. Di sektor pengelolaan sumber daya alam lainya seperti hutan, negara juga terlihat sangat berpihak kepada kaum kapitaslis, Hal ini terpancar dari berbagai peraturan dan kebijakan terkait pengelolaan hutan sangat mengakomodasi kepentingan swata. Sehingga yang terjadi adalah eksploitasi besar-besaran terhadap hutan melaui berbagai perusahaan berskala besar disektor perkayuan, pertambangan serta perkebunan.

Untuk memuluskan kegiatan perampasan sumber daya alam dari manusia Dayak, kaum kapitalis yang didukung sepenuhnya oleh negara melancarkan berbagai Propaganda dan agitasi tak sehat. Dengan demikian deskriminasi menjadi hal yang biasa diterima oleh kalangan manusia Dayak, melalui berbagai peraturan dan kebijakan serta pengebirian informasi seperti yang terjadi pada masa Orde baru. Yang kesemuanya itu tersampaikan melaui berbagai media cetak dan elektronik berdasarkan kepentingan kalangan tertentu seperti pemodal.

Disisi lain berbagai publikasi dan penelitian sepihak yang dilakukan peneliti asing dan domestik sepertinya menambah deretan panjang daftar kesengsaraan manusia Dayak. Yang secara sarkastik mendefenisikan manusia Dayak dalam berbagai terminologi yang menyakitkan. Sehingga kesemuanya itu berdampak tidak hanya pada situasi pisik manusia Dayak saja tetapi telah merajam sisi psikologisnya. Dampak yang terasa adalah manusia Dayak kian menjadi konsumtif, ber Tuhankan kepada budaya instant dan kuli serta semakin termarginalkan.

Dengan kondisi yang semakin parah dalam ketidakberdayaan, manusia Dayak sesungguhnya memiliki budaya dan kearifan lokal untuk tetap survive. Dengan didukung oleh kekayaan alam yang melimpah serta sistem pengelolaan sumberdaya alam yang berprespektif lestari, maka masih ada harapan manusia Dayak untuk bangkit dari keterpurukan yang menimpanya. Dengan demikan secara jelas terbukti bahwa sesungguhnya Manusia Dayak tidaklah miskin tetapi sengaja dimiskinkan.

09.00

“ Delema Masyarakat Adat Terhadap Tanah Sebagai Jantung Kehidupan”

“Tanah merupakan modal dasar produksi rakyat dan petani untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, perampasan hak atas tanah milik rakyat dan petani yang dilakukan oleh negara khusnya pemerintah (alat-alat negara) melalui kebijakan-kebijakannya yang pro dengan kaum pengusaha dengan dalih alasan akumulasi APBD hanyalah Cara pembunuhan rakyat dan petani secara perlahan lahan.”

Melihat petaka alam dan lingkungan dasawarsa ini meyulup kita untuk berpikir berapa lama kita akan bertahan dalam republik yang kita cintai ini, kerusakan alam ini bayak dipengaruhi oleh berbagai macam kebijakan pemerintah yang selalu memikirkan kepentingan ekonomi jaka pendek yang selalu mengorbankan tanah yang selama ini menjadi alat produksi utama bagi petani serta sumberdaya alam yang menjadi primadona bagi rakyatnya. Beringan dengan pembagunan yang semakin terus melangkah kedepan serta dengan peningkatan jumlah penduduk yang semakin pesat direpublik yang penuh impian ini, beriringan dengan itu pula kerusakan alam terus berjalan tampa terorganisir oleh para segelintir orang-orang Ditut (gambaran dongeng manusia rakus di suku kayaan) yang hidup dalam republik tercinta ini.

Menjadi pertanyaan besar bagi kita saat ini yaitu Bagaimana pertanggungjawaban republik ini kepada manusia-manusia korban dengan rentangan hitam realita historis kemanusiaannya, dan peristiwa-peristiwanya terhadap penyingkiran manusia terlebih lagi pada manusia dayak? Selama ini negara hanya mampu melahirkan berbagai teori pembenaran untuk menutupi dan melindungi ”mimpi-mimpinya” dengan memanfaatkan bermacam undang-undang dan membenarkan apa yang ”dimimpikannya” sebagai pandangan dan ladaasan pembangunan masyarakat. Ketika keadilan yang dibangun oleh negara harus menutupi keadilan lainnya, walaupun keadilan itu sendiri selalu berdiri dengan siapa yang mendirikannya!
Penghancuran sistemik terhadap sesuatu yang mendasar dalam tanah Masyarakat adat, semakin dipermanenkan oleh pembiaran negara terhadap praksis keadilan yang mengendapkan segala bentangan peristiwa konflik tanah, dan keadilan pada pelurusan sejarah masa lalu. Dan negara yang menganut paham pemimpin tertinggi mempuyai kekuasaan mutlak dan tidak usah mempertangung jawabkan perbuatannya kepada siapapun ini terlalu sinis untuk mewujudkannya, apalagi ketika sesuatu yang prisifil dalam tanah harus ”dikalahkan” oleh nilai-nilai komersialisme dan pengembangan kekuasaan korporasi yang berlandaskan pada kepentingan tanah.
Dan ternyata kita tengah dikelilingi oleh nilai-nilai tersebut, dan dengan keleluasaan yang ”liar” semakin menguatkan suatu proses pegembagbiakan bagi pengebirian produktivitas manusia yang dilandaskan oleh tanah. Negara hanya memberikan seadanya saja, bukan dengan apa adanya, terutama kepada alat produksi manusia dan keturunannya. Dengan keangkuhannya, negara telah membentuk manusia menjadi bentuk masyarakat ”pengemis” keadilan dan masyarakat ”penentu” keadilan, serta manusia-manusia yang tersingkir berada pada satu sisi yang paling ekstrem dalam sejarah kehidupan manusia di republik ini, yaitu sebagai masyarakat ”pengemis” keadilan. Dengan lika-liku yang semakin tak beraturan yang dikondisikan oleh negara, dan menghancurkan derajat kemanusiaan hingga pada titik yang terendah.
Ini bukanlah efek dari kebijakan sebuah Negara yang menganut paham pemimpin tertinggi memiliki kekuasaan mutlak dan tidak usah mempertangungjawabkan perbuatannya kepada siapapun juga, tetapi ini merupakan bagian dari kebijakan dari paham Negara diatas itu sendiri yang memperlakukan manusia dan tanahnya sebagai bagian dari objeknya. Dan suatu ideologi yang diperankan oleh negara, semakin mencapai kesempurnaannya dengan praksis-praksis perampasan tanah, menghilangkan/meniadakan peran pemberdayaan, dan memformalkan manusia yang tersingkir sebagai salah satu sasaran/target yang ”mengancam” ketegaran negara. Yang mementingkan kepentingan individu kaum Ditut.

08.57

Peranan Sistim Ekonomi Eksploitatif Dalam Penghancuran Harkat dan Martabat serta Kedaulatan Masyarakat Adat

Proses Perkembagan ekonomi negeri tercinta sampai saat ini adalah merupakan replika proses eksploitasi ekonomi yang telah ada sejak zaman kolonialisme Belanda. Rakyat banyak telah menjadi korban eksploitasi ekonomi oleh kelompok kuat atas dukungan para anggota elite kekuasaan dan para birokratnya. Oligarki ekonomi yang ditopang oleh oligarki politik. Ini jelas sangat bertolak belakang dengan apa yang telah diformulasikan oleh the founding fathers Republik Indonesia. Yaitu pelaksanaan demokrasi berkedaulatan rakyat baik di bidang politik maupun di bidang ekonomi dan wakil persiden kita pertama kali M Hatta dalam kutipan pidatonya yang berbunyi: "Yang kita inginkan ialah rakyat yang memiliki kedaulatan, bukan negara yang memiliki kedaulatan" (kutipan tulisan Sritua Arief dalam Ekonomi Indonesia: Demokrasi Ekonomi Atau Eksploitasi Ekonomi Harian Merdeka, 27 Oktober 1950).dan "Yang hendak kita persoalkan di sini ialah kedudukan soal usaha ekonomi dalam masyarakat kita. Kaum produsen sebagian yang terbesar terdiri daripada bangsa kita. Kaum konsumen demikian pula. Akan tetapi kaum distributor terdiri daripada bangsa asing. Dan inilah satu pokok yang penting yang menjadi sebab kelemahan ekonomi rakyat kita”.
Sampai saat ini cita – cita Kemerdekaan dan Kedaulatan yang tertuang dalam naskah – naskah deklarasi sumpah pemuda, Deklarasi kemerdekaan Indonesia serta deklarasi masyarakat adat belumlah bisa terwujud sepenuhnya. Hal ini diakibatkan oleh akar yang menyebabkan sebuah Negara terjajah dan masyarakat adat tertindas dan terhisap belum bisa dimusnahkan. Akar tersebut berupa system ekonomi yang menjadikan manusia dan alam sebagai komoditas, sehingga terjadi ketimpangan dan ketidak adilan umat manusia. System tersebut adalah system kapitalisme, sebuah system yang menekankan pada penghisapan, penindasan, perluasan dan pemusatan modal yang dilakukan oleh segelintir orang diatas mayoritas umat manusia. Sejak awal perkembangangannya, system kapitalisme saat ini telah mencapai pada tingkatan tertingginya yakni imprialisme dengan berbagai produk dan prakteknya. Produk yang dihasilkan oleh imprilisme berupa kebijakan yang menghamba pada kuasa modal baik dalam mengatur manusia maupun alam. Praktek imprialisme yang sangat nyata adalah meletakkan manusia menjadi tenaga kerja murah dan pasar hasil prodak olehannya. Praktek imprilisme hari ini yang terjadi terhadap Masyarakat Adat dengan melakukan perampasan Tanah dan Kekayaan Alam untuk pertambangan, Perkebunan serta HPH dan lain sebagainya yang dilakukan oleh perusahaan – perusahaan besar dengan perlakukan yang sangat istimewa dari negara melalui berbagai produk kebijakannya. Dampaknya sangat luar biasa, dimana Negara Indonesia menjadi negara yang sangat tergantung pada Negara – Negara maju, sehingga yang terjadi kemiskinan dan kesenjagan sosial diakibatkan munculnya strata kelas-kelas baru dalam tatanan berbangsa, bercermin pada data (BPS, 2006) sekitar 39,5 juta jiwa penduduk Indonesia berada pada garis kemiskinan yang luar biasa hal ini merupakan sesuatu yang dramatis sekali.
Dari pemaparan yang diuraikan diatas menunjukkan bahwa kondisi Negara dan Masyarakat adat belum benar – benar merdeka dan berdaulat, hal ini merupakan salah satu indikator dari keterancaman integritas berbagsa dan bernegara di negri yang kita tercintai ini, malah akan membawa kita kembali pada belenggu penindasan dan penghisapan yang akan dilakukan oleh kolaborasi kuasa modal dan kuasa kekuasaan negara yang menjadi kakitangan para pemodal besar. Dengan demikian, patutlah ini dijadikan bahan renugan bagi kita masyarakat adat agar kemudian dijadikan inspirasi bagi kita semua. Sebab kedepan merupakan jembatan yang terbentang panjang yang harus kita titi untuk mewujudkan cita – cita kemerdekaan dan kedaulatan masyarakat adat sejati yang berlandaskan sistem ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme); Kemanusiaan yang adil dan beradab (tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi); Persatuan Indonesia (berlakunya kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan kehidupan ekonomi rakyuat dan hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial (persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama – bukan kemakmuran orang-seorang).
Kemerdekan sejati haruslah mampu mencerabut sampai ke akar – akarnya sehingga Masyarakat Adat dapat hidup dalam kedaulatan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Kemenangan masyarakat adat berarti terjadi sistem masyarakat baru yang menjadikan suku – suku bangsa yang ada di negeri tercinta ini memiliki kesempatan yang Sama untuk berkembang maju tanpa harus meninggalkan identitas dan nilai – nilai luhur yang dianutnya. Berkembang maju dengan kekuatan dan kekayaan yang dimilikinya berupa kedaulatan atas wilayah berikut kekayaan yang dimiliki sebagai modal dasarnya. Disinilah esensi dari cita – cita luhur yang terkandung dalam Naskah Deklarasi Kemerdekaan dan Naskah deklarai masyarakat adat kemudian dijadikan dasar perjuangan masyarakat adat dalam memiliki kesempatan dan hak yang Sama serta keadilan.

08.03

“Kami Bangsa Dayak Sudah Cukup dijajah, kini saatnya kami Mardeka”

Ada Banyak penulis terkemuka baik nasional, internasional dan local mendeskripsikan tentang Dayak atau suku dalam tulisanya.
Misalnya Dalam Peper berjudul “Dampak Kolonialisasi Agama Resmi Terhadap Agama Local: Pegalaman Suku Bangsa Dayak 1992”, banyak sekali dipaparkan nama-nama penulis yang mendeskrisi tentang Dayak, secara garis besar disebutkan Dayak adalah adalah label kolektif untuk menyebut ratusan suku asli yang mendiami borneo atau pulau kalimantan.

Menuru Kedit (78), King (88), Ukur (92) dalam buku mereka mengatakan Dayak adalah bangsa pribumi (istilah pribumi lihat dalam pandangan Djuweng dan Sandra, 1994) yang mendiami Borneo dari ratusan klompok sub-entnoliguistik.mereka di golongkan dalam kelompok besar Dayak berupa rumah panjang, corpus tradisi lisan, adat istiadat, unsur-unsur linguistic struktur social, Bentuk senjata dan pandangan tentang dunia, Dan Djuweng menambahkan juga, persamaan lain yaitu cara-cara berkesinambungan dalam mengekstrasi sumberdaya alam dan pengunaan teknologi.

Davit Jenkins dan Guy Sacerdoty yang menulis juga dalam “far eastern economic review (78)” mengambarkan orang Dayak sebagai “the legendary wild man of borneo” (manusia liar borneo yang legendaries). Sementara Jan Ave dan Victor King (85) melukiskan mereka sebagai “The people of the weaving forest” (orang dari hutan yang meratap) dan ada pula yang menggambarkan mereka sangat parah sebagai “the headhunters of borneo” (pemburu kepala dari borneo) hal ini semakin menambah bingung manusia-manusia Dayak terhadap identitas dirinya berakibatkan mereka seakan akan malu mengangab diri mereka sebagai orang Dayak atau manusia Dayak yang empunya pulau kalimantan.

Terlebih lagi Dalam masa sebelum indonesia mardeka lebel Dayak adalah Ejekan orang terhadap suku asli yang mendiami pulau kalimantan dan menyimpang dari norma agama islam. Dayak Di ibaratka Ikan dan belacan busuk di warung atau anjing kurus dan kurap dijalanan, lebel yang selalu melekat di Manusia Dayak adalah tidak beragama atau kafir, kotor, liar, tidak tau aturan, gila, buas, terbelakang, tidak berbudaya dan berekor Hal Ini digambarkan dengan jelas oleh penulis yang bernama Mill Rokaert (85).

Secara nyata dalam ucapan setiap hari orang dayak sendiri tidak pernah menyebut dirinya adalah orang Dayak, mereka menyebut dirinya adalah orang kayan, kanayan, iban, punan, bukat, embaloh, bekati, jangkang dll… mereka semua terbentuk dan hidup dalam tatanan adat istiadat yang diwariskan turun temurun dari nenek moyang mereka di pulau kalimantan, pengklasteran atau pendefinisian manusia Dayak secara sepihak yang dilakukan penulis dan penelitian (Buku berjudul Dekolonisasi metodologi karya Linda tuhiwai smith ) dapat dianggab sebagai Bentuk penjajahan yang dilakukan dengan cara megkondisikan komunitas tertentu dengan merubah cara pandang dan cara berpikir sehinga melahirkan paradigma baru sehingga melahirkan kondisi baru, namun kondisi seperti apa yang terjadi sekarang ?. dari sejarah dunia harus kita pahami bahwasanya ada terjadi dua buah pertentangan (idiologi atau pemikiran hidup, cita-cita hidup, konsepsi hidup) besar yang muncul yaitu pandangan hidup kapitalis (uang adalah penguasa) dengan pandangan hidup komunis (sosialis ortodok atau kaum komunal bisa dikatakan kehidupan tampa kepemilikan individu, hudup bersama) dua pemikiran ini sangat berimplikasi pada kehidupan kita.

Hal semacam ini melahirka sebuah pola berpikir baru dalam kehidupan bermanusia, dan kemudian melahirkan pardigma baru sehingga kemudian menjadi peradigma bersama yang bertujuan untuk menghilangkan sejarah yaitu harta warisan nenek moyang mereka yang bertujuan mengembagkan moderenisme dan kemajuan teknologi serta golobalisasi sehinga melahirkan budaya baru dan pola tata kehidup baru demi sebuah dunia baru yaitu dunia imajinasi manusian.

Pemaksaan budaya baru dengan dalih moderenisasi dan kemajuan teknologi serta perkembangan golobalisasi bermuli dari “evolusi industri pada tahun 60-an” yang ditandai dengan mengantikan tenaga kerja manusia dengan mesin (Munculnya Kapal Uap). Hal ini mewabah keseluruh dunia melahirkan sejarah baru mengakibatkan bermuculan industri-industri Kapital, ini lah pendorong terjadinya budaya baru yaitu budaya gengsi, jaga imet, dan mau jalan mudah, dewasa ini budaya ini mewabah keseluruh penghuni dunia bagaikan virus. Budaya instant ini adalah pola kondisi yang dilakukan kelompok kaum mayoritas atau kaum pemodal serta Negara untuk menanamkan dogma-dogma uang.

Kembali kepada komunitas Bangsa Dayak mereka terkenal dengan konsep kesederhanaan, produksi sederhana, teknologi sederhana, dan tata kehidupan berazaskan harmonisasi keseimbangan dalam kesederhanaan dengan pola dan konsep kepemilikan komunal, budaya gengsi, jaga imet, dan mau jalan mudah yang sangat berbeda dengan konsep budaya manusia Dayak berarti sama saja artinya menyesatkan manusia Dayak, bermacam cara yang dilakukan untuk memaksa budaya baru terhadap manusia Dayak misalnya yang dilakukan sekarang melaui pola pendekatan budaya local dengan cara pelesetan budaya contoh pelesetan budaya yang telah terjadi saat ini “Jongan berubah menjadi Karoke Temple, Sabung Ayam menjadi Arena Perjudian, Naikdago berubah menjadi Pasar Malam, dll” masih banyak lagi hal demikian hanya dijadikan alat kepentingan kekuasaan yang dilakukan kelompok kaum mayoritas dan kaum pemodal serta Negara arti kata Militerismenya, untuk menghilangkan identitas Manusia Dayak, agar tidak tercipta simpul kekompakan manusia Dayak, sehingga tidak terbentunya Persatuan Bangsa Dayak Yang Mardeka yang dapat menentukan nasibnya sendiri (self-detemination by indigenous peoples).