09.50

Tolak UU BHP sekarang juga!!

Tolak UU BHP sekarang juga!!
Kembalikan Kampus Sebagai Institusi Pencerdasan
analisis : Front Mahasiswa Nasional

I. Krisis Umum Impersialisme

Kelahiran kapitalisme di dunia dilatarbelakangi oleh sejarah perampasan atas alat produksi untuk mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Sifat dasar dari kapitalisme yang ekspansif, akumulatif dan eksploitatif telah menyebabkan kesengsaraan yang besar di seluruh dunia hingga saat ini. Tahap perkembangan kapitalisme yang paling tinggi yaitu imperialisme yang sekarang mendominasi sistem dunia telah menyebabkan penindasan yang paling keji dalam peradaban manusia melalui perang dan perampokan besar-besaran atas sumber-sumber kehidupan rakyat di seluruh dunia. Dari keserakan imperialisme ini telah mengakibatkan terpusatnya modal di segelintir korporasi besar dunia. Namun dimulai dari sinilah lahir berbagai krisis yang menimpa dunia maupun krisis di dalam tubuh imperialisme sendiri. Konsep kapitalisme adalah konsep keserakahan yang hanya akan melahirkan krisis yang semakin tajam di seluruh dunia.

Kini, krisis itu kembali terjadi di jantung imperialisme AS. Krisis yang dipicu oleh kredit macet perumahan kelas dua (subprime mortgage) telah menyebabkan kebangkrutan sektor-sektor ekonominya dan menyeret dunia di dalam krisis yang akan semakin menajam ditandai dengan merosotnya harga saham-saham dunia, kebangkrutan raksasa keuangan dunia (seperti Lehman Brothers, AIG dll) dan perusahaan-perusahaan otomotif berkelas dunia (seperti Toyota dll). Dalam setiap perkembangan krisis imperialisme yang pernah terjadi di dunia hanya melahirkan semakin intensifnya penindasan dan perampokan terhadap sumber-sumber penghidupan bagi rakyat di seluruh dunia. Penindasan yang dilakukan oleh imperialisme di negara-negara jajahan dan setengah jajahannya hanyalah dimaksudkan untuk menyelamatkan negara imperialisme dari lubang krisis yang diciptakannya sendiri karena over produksi dan penyempitan pasar sebagai imbasnya. Mereka akan berupaya keras memutarkan modalnya di negeri jajahan dan setengah jajahan agar mereka dapat menguasai sumber-sumber kekayaan alam, pasar dan sumber tenaga kerja yang murah. Karena jika modalnya tidak berputar dan tidak menghasilkan keuntungan (super provit) kembali, maka bagi kaum imperialisme modal tersebut hanyalah sesuatu yang tidak berguna dan menyebabkan kerugian.

Mekanisme perputaran modal yang dilakukan pun dilakukan dalam berbagai macam misalnya utang dan investasi. Bagi negara setengah jajahan dan setengah feodal seperti indonesia, keberadaan utang dan penanaman investasi asing di berbagai sektor ekonomi dan jasa merupakan berkah tersendiri bagi para borjuasi komprador di Indonesia. Di mana dia akan berjuang mati-matian agar bisa mendapatkan kucuran dana utang dan investasi tersebut dengan menggadaikan kekayaan alam dan sosialnya kepada tuan imperialisnya. Hasilnya adalah dibukanya Indonesia kepada para investor asing besar disertai dengan jaminan keamanan yang berlebihan agar para investor tidak lari. Berbagai kebijakan atau regulasi juga digulirkan untuk memuluskan jalannya investor masuk ke Indonesia dengan syarat-syarat yang terus dipermudah. Bagi rejim komprador SBY-Kalla, investor yang masuk ke Indonesia baginya merupakan syarat-syarat pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya bagi kita hanya mengakibatkan pengangguran semakin tinggi, lapangan pekerjaan yang semakin menyempit, perampasan sumber penghidupan bagi buruh dan tani yang semakin masif, PHK massal, politik upah murah, pendidikan yang mahal dan tidak ilmiah serta pengekangan terhadap hak berbicara dan berorganisasi bagi gerakan rakyat yang ada. Utang yang diberikan pun bukan tanpa syarat. Biaya pengembalian utang dan bunga-bunganya menjadi beban berat dalam APBN kita, karena sepertiga lebih anggaran kita untuk membayar utang yang sebenarnya tidak memberikan manfaat sama sekali bagi rakyatnya. Belum lagi syarat-syarat yang disertakan oleh lembaga keuangan dunia yang lebih banyak telah menyebabkan adanya liberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia.

Wilayah penanaman investasi makin lama makin meluas, dilihat dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Sektor-sektor publik, yang mana negara mempunya kewajiban konstitusional untuk memenuhinya sebagai bagian dari hak dasar warga negara, juga dimasukkan dalam daftar sektor jasa yang dapat diperdagangkan. Perkembangan terkini yang semakin mengancam hancurnya pendidikan indonesia adalah disahkannya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 17 Desember 2008 kemarin.

II. Sejarah Suram Lahirnya UU BHP
Disahkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan bukan tanpa proses perlawanan dan penolakan dari banyak kalangan yang menginginkan adanya kemajuan di bidang pendidikan kita, terutama dari kalangan mahasiswa. Sejak awal perumusan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) telah menuai kontroversi. Hal ini disebabkan karena UU BHP dirancang tidak terlepas dari kepentingan asing negeri-negeri imperialis untuk melakukan proses liberalisasi sektor pendidikan di Indonesia. Dalam kesepakatan untuk kucuran utang (Letter of Intent/LoI) dari dana Moneter Internasional (IMF) tahun 1999, terdapat kesepakatan bahwa pemerintah harus mencabut subsidi subsidi untuk pendidikan dan kesehatan. Hal ini yang membuat masyarakat menanggung biaya pendidikan dan kesehatan terlalu mahal di luar kemampuan mayoritas penduduk Indonesia. Padahal jelas dalam UUD 1945 pasal 31 bahwa pemerintah wajib membiayai pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN/APBD.

Melalui Bank Dunia (World Bank/WB), pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran dana utang 114,54 dollar AS untuk membiayai program Indonesia Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati juni 2005 dan berakhir 2011. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Dari program inilah lahir sebuah rancangan UU BHP. Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot anggaran di APBN sehingga harus dipangkas subsidinya. Pemangkasan tersebut meliputi juga anggaran untuk guru dan dosen.

Selain itu, sejak tahun 2001 pemerintah Indonesia telah meratifikasi Kesepakatan Bersama Tentang Perdagangan Jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) di mana pendidikan dimasukkan menjadi salah satu dari 16 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian, para investor kemudian bisa menanamkan investasinya di sektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi).

Skema ini, kemudian diuji cobakan di 8 universitas negeri besar di indonesia yaitu UI, ITB, IPB, UPI, USU, Unair dan Undip dalam bentuk perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Milik Negara (PTN BHMN. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi Sebagai Badan Hukum (PP No. 60/61 tahun 1999) menjadi payung hukum dalam menjalankan pem-BHMN-an di 8 universitas negeri terbesar tersebut.

Pemberlakukan BHMN terhadap 8 perguruan tersebut ternyata tidak membawa dampak yang signifikan terhadap perubahan kualitas pendidikan Indonesia. UI, UGM, ITB dan IPB tetap tidak berubah di posisi di bawah 250 universitas terbaik di dunia. Malaysia yang kualitas pendidikannya di bawah Indonesia pada era Soekarno telah jauh meninggalkan Indonesia. Bahkan kualitas pendidikan Indonesia masih kalah jauh dari Vietnam yang baru saja membangun negaranya pasca perang Vietnam tahun 1975.

Selain itu, Universitas BHMN yang diharapkan akan menjadi cetak biru dari pelaksanaan UU BHP ternyata hanya menyisakan mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi serta aktifitas bisnis yang dilakukan di sebuah institusi pendidikan. Dimulai dari adanya kenaikan SPP, pungutan-pungutan liar yang mendapatkan legitimasi dari kampus, pembukaan jalur khusus bagi mereka yang mempunyai kekayaan yang cukup dan tentu saja inilah yang menyebabkan kuota untuk calon mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah yang masuk melalui jalur SPMB menjadi semakin sedikit. Aktifitas untuk mendapatkan keuntungan lebih juga dilakukan dengan berbagai cara, seperti penjaringan para investor dalam bentuk perjanjian utang, penanaman investasi untuk mendirikan unit yang komersil (seperti asrama untuk mahasiswa, persewaan gedung, toko waralaba dll) maupun hibah-hibah dengan syarat-syarat. Pun, dengan semakin mahalnya biaya pendidikan masih tidak menjamin mahasiswanya untuk menggunakan fasilitas dengan bebas. Terkadang mereka harus membayar sejumlah uang yang tidak sedikit jumlahnya serta dengan prosedur yang berbelit untuk bisa mengakses fasilitas yang ada di dalam kampus.

Dengan adanya perjanjian perdagangan tersebut, telah mengakibatkan juga subsidi untuk pendidikan dipangkas. Alokasi anggaran pendidikan dari APBN sejak jaman pemerintahan SBY-Kalla tidak pernah mencapai target minimal 20% sesuai dengan amanat konstitusi. Tahun 2008, anggaran pendidikan hanyalah 10% saja. Bahkan dia merevisi sendiri kebijakannya di perumusan rancangan APBN tahun 2009 dengan memasukkan gaji dan kesejahteraan untuk guru dan dosen serta biaya riset dan penelitian ke dalam sektor pembiayaan pendidikan dalam anggaran 20% dari APBN untuk mengelabui rakyatnya bahwa anggaran pendidikan telah mencapai target konstitusi. Hal ini merupakan sebuah kefrustasian pemerintah SBY – Kalla atas ketidakmauan dan ketidakmampuan mereka dalam mengalokasikan anggaran pendidikan 20%.

Pengesahan UU BHP ini juga tidak lepas dari adanya mandat dari UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU Sisdiknas tersebut telah mengamanatkan dalam pasal 53 untuk membuat undang-undang tentang badan hukum pendidikan. Undang-undang ini merupakan sebagai bentuk paling vulgar dari lepasnya tanggung jawab negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahwa pendidikan kemudian akan menjadi tanggung jawab bersama atara pemerintah dengan masyarakat.

III. Filosofis BHP Tidak Lebih Dari Upaya Lepasnya Tanggung Jawab Negara Atas Pendidikan
Dalam pembukaan UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa menjadi tanggung jawab negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan ditegaskan kembali dalam pasal 31, bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib untuk membiayainya. Namun, selama ini kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerinta SBY-Kalla selalu berkontradiktif dengan produk hukum tertinggi Indonesia yaitu konstitusi. Semangat yang lahir dari pengesahan UU BHP adalah untuk mendapatkan keuntungan bagi para investor dan borjuasi-borjuasi komprador serta para akedemisi yang mengabdikan ilmunya kepada kepentingan imperialis. Di lain sisi merupakan sebuah bentuk lepasnya tanggung jawab konstitusional negara untuk memenuhi dan menanggung pendidikan warga negaranya.

Latar belakang dari pengesahan UU BHP ini sudah sedemikian buruknya, yaitu melalui ratifikasi perjanjian perdagangan dunia dan mendapatkan payung hukumnya dalam UU Sisdiknas yang telah menuai protes secara luas dari banyak kalangan, maka apapun bentuknya dengan beberapa kali perubahan draf rancangan tetap tidak akan menghilangkan hakekat dari pengesahan UU BHP. Yaitu adanya komersialisasi dan privatisasi pendidikan. Penyelenggaran pendidikan kemudian hanya dinilai sebagai aktifitas perdagangan dan miniatur sebuah perusahaan lengkap dengan hubungan industrialnya. Karena sekali lagi, dengan dinamakannya Badan Hukum maka orientasinya adalah bagaimana mendapatkan keuntungan dari aktifitas yang dilakukan. Dengan demikian yang dinamakan sebagai badan hukum pendidikan adalah sebuah badan hukum yang mencari keuntungan lewat aktifitasnya dengan alasan pendidikan.

UU BHP kemudian hanya akan melahirkan diskriminasi terhadap warga negaranya. Terutama dilihat dari sisi kemampuan akademisnya dan kemampuan keuangannya. Padahal, sekali lagi dalam konstitusi kita ketika menyebutkan warga negara Indonesia adalah setiap individu berwarganegara Indonesia tanpa pandang bulu. Semakin miskin seorang individu maka aksesnya atas pendidikan akan semakin sempit dan terbatas.

Guru ataupun dosen akan kehilangan maknanya sebagai seseorang yang bertanggungjawab untuk membentuk pribadi peserta didiknya dan hanya dinilai sebagai pendidik dan tenaga kependidikan yang tunduk dan patuh dalam perjanjian kerja yang dibuat antara pendidikan dan tenaga pendidikan dengan pihak organ pengelola BHP (baik BHP Pemerintah, BHP Pemerintah Daerah, BHP Masyarakat dan BHP Penyelenggara).

Dalam UU BHP ini, institusi pendidikan tinggi kemudian diperbolehkan untuk melakukan praktek komersil dengan mendirikan sebuah badan usaha mandiri ataupun membuat perjanjian investasi dalam bentuk fortofolio untuk menutup kekurangan dari biaya pendidikan yang tidak ada jaminannya akan diperoleh dari mana (selain dari pemerintah dan peserta didik).

IV. Pasal-pasal UU BHP Menegaskan Komersialisasi dan Privatisasi Pendidikan
Alasan yang dikemukakan di atas tidaklah berlebihan jika dilihat dari pasal-pasal yang menyusun UU BHP tersebut. Karena mengelola sebuah institusi pencerdasan bangsa disamakan dengan mengelola sebuah perusahaan yang bertujuan mencari keuntungan. Mari kita akan mediskusikan bersama-sama dari draf terakhir yang disahkan sebagai UU BHP.

Bahwa dalam konsideran menimbang dalam huruf a disebutkan bahwa untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional bedasarkan Pancasila dan UUD RI tahun 1945, diperlukan otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar, menengah serta otonomi perguruan tinggi pada pendidikan tinggi. Dalam penjelasan UU BHP dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi perguruan tinggi adalah kemandirian perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya. Dengan demikian istilah manajemen berbasis sekolah/madrasah dan otonomi perguruan tinggi adalah kata lain dari lepasnya negara atas kewajibannya memenuhi hak pendidikan warga negaranya.

Pasal 11 menyebutkan bahwa syarat untuk pendirian sebuah BHP dalam ayat 1 huruf d adalah kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendiri. Dan jumlah dari kekayaan yang dimiliki oleh BHP harus mencukupi untuk biaya investasi dan biaya operasional pendidikan. Dengan demikian, sedari awal pendirian BHP adalah untuk berbisnis (=investasi). Maraknya pungutan-pungutan liar, pembukaan jalur khusus serta perjanjian kerjasama dalam bentuk investasi dan utang luar negeri yang dilakukan oleh perguruan tinggi sekarang ini adalah sebagai bentuk untuk mengejar target jumlah kekayaan awal yang harus dimiliki oleh perguruan tinggi sebagai biaya investasi dan operasional.

BAB IV tentang tata kelola sebuah BHP menyebutkan struktur organ pemangku kepentingan yang berasal dari berbagai kalangan. Struktur ini mencerminkan struktur sebuah perusahaan terbuka, anggaran dasar sebuah BHP dibuat oleh pendiri. Masing-masing mempunyai fungsi untuk akademik dan non-akademik. Dengan melihat pembedaan fungsi ini saja terlihat bahwa selain menjadi institusi pendidikan, BHP bakal menjadi lembaga komersil.

BAB V mengenai kekayaan, sudah dijelaskan sebelumnya bahwa sebuah BHP harus mempunyai sejumlah kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendiri. Kekayaan ini dalam BHP ini didapatkan dari jumlah kekayaan awal dan pendapatan yang didapatkan (baca provit dari aktifitas komersil). Bentuk kekayaan ini adalah uang dan barang yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya adalah hak kekayaan intelektual. Bayangkan jika dosen dan mahasiswa yang melakukan riset kemudian hasilnya dipatenkan dan digunakan untuk kepentingan komersil pihak kampus, bukan untuk memajukan taraf kehidupan rakyat dan memajukan tenaga produktif indonesia?

BAB VI kemudian mengatur tentang pendanaan. Disebutkan dalam pasal 40 ayat 2 bahwa pendanaan pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Bagaimana kemudian negara membatasi kewajibannya dalam hal pendanaan di UU BHP ini? Secara singkat akan dijelaskan dalam tabulasi berikut ini :

Jenis BHP dan Biaya Pendidikan
Investasi
Beasiswa
Bantuan Dana Pendidikan
Operasional
Keterangan
BHPP/BHPPD Pendidikan Dasar
Ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah dan pemerintah daerah
Ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah dan pemerintah daerah
Ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah dan pemerintah daerah
Ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah dan pemerintah daerah
Menunjukkan bahwa pendidikan dasar akan digratiskan. Namun hal ini sudah diatur dalam UU Sisdiknas. Dalam prakteknya, belum semua pendidikan dasar digratiskan. Alasan yang dikemukakan oleh pemerintah adalah ketidakcukupan dana.
BHPP/BHPPD Pendidikan Menengah
Idem
Idem
Idem
Ditanggung sepertiganya
Jika biaya operasional hanya ditanggung sepertiganya, maka dari mana jenis BHP ini akan mendapatkan dana kecuali dari siswanya? Meskipun disebutkan bahwa peserta didik maksimal hanya menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan sebesar sepertiga. Namun, karena tidak ada sumber dana yang lain, kecuali bantuan dari masyarakat yang tidak bisa dipastikan jumlah dan keberlanjutannya, atau dari pinjaman yang tentu saja harus dibayar. Dan tetap kemudian peserta didik yang nanti akan dikorbankan.
BHPP Pendidikan Tinggi
Idem
Idem
Idem
Ditanggung seperduanya oleh pemerintah dan BHPP.
Hal ini tentu akan semakin memberatkan peserta didik karena belum tentu investasi yang dilakukan oleh BHPP akan menghasilkan dana yang cukup untuk memenuhi pendanaan pendidikan. meskipun di sisi lain mahasiswa ditetapkan hanya menanggung maksimal sepertiga dari biaya penyelenggaraan pendidikan, namun dalam prakteknya selama ini tetap berkata lain.
BHPM/BHP Penyelenggara Pendidikan Dasar
Ditanggung Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya
Ditanggung Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya
Ditanggung Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya
Ditanggung Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya
Tidak diatur dengan tegas ditunjukkan dengan kata sesuai dengan kewenangannya dan menunjukan pendiskriminatifan. Padahal dalam UU sudah diatur bahwa Wajar DikDas adalah tanggung jawab negara
Dana pendidikan yang diberikan pun dalam bentuk hibah sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
BHPM/BHP Penyelenggara Pendidikan Menengah
Tidak diatur
Tidak diatur
Tidak diatur
Tidak diatur
Tidak diatur dan menunjukan pendiskriminatifan. Dimana letak hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan yang layak?
BHPM/BHP Penyelenggara Pendidikan Tinggi
Tidak diatur
Tidak diatur
Tidak diatur
Tidak diatur
Idem
Keterangan :
BHPP : Badan Hukum Pendidikan Pemerintah yang didirikan oleh pemerintah pusat
BHPPD : Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah yang didirikan oleh pemerintah daerah
BHPM : Badan Hukum Pendidikan Masyarakat yang didirikan oleh Masyarakat
BHP Penyelenggara : Badan Hukum Pendidikan Penyelenggara, yang didirikan masyarakat dan sudah ada sebelumnya.

Kesimpulan dari tabulasi di atas adalah bahwa pemerintah hanya akan menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan dasar dengan sepenuhnya. Sedangkan untuk penyelenggaraan pendidikan formal menengah dan pendidikan tinggi hanya dibatasi masing-masing sepertiga dan seperdua untuk biaya operasional.

Pemberian dana pendidikan untuk pendidikan menengah diberikan kepada BHPP dan BHPD saja sedangkan untuk BHPM dan BHP penyelenggara tidak ada kepastian dana dari pemerintah dan pemerintah pusat. Sedangkan untuk penyelenggaran pendidikan tinggi, hanya disebutkan penyelenggaraan pendidikan tinggi BHPP (yang dibentuk oleh pemerintah pusat saja). Dengan demikian karena untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh BHPM dan BHP Penyelenggara tidak mendapatkan kepastian dana pendidikan dari pemerintah pusat. Padahal, jumlah dari perguruan tinggi swasta di Indonesia sekitar 2.700 an. Jauh lebih banyak dari pada jumlah perguruan tinggi negeri yang jumlahnya hanya 83 perguruan tinggi. Siapa kemudian yang akan menanggung biaya pendidikan tinggi berupa biaya investasi, biaya bantuan pendidikan, beasiswa dan biaya operasional 2.700 perguruan tinggi swasta tersebut?

Kekurangan dana yang belum dipenuhi, kemudian akan didapatkan dari mana? Jika didapatkan dari masyarakat dalam bentuk hibah maka tidak ada jaminan akan didapatkan secara penuh. Maka kemudian BHP penyelenggara pendidikan menengah dan tinggi akan mencari kekurangan dananya dengan memutar uang dalam bentuk kegiatan yang komersil. Bahkan dengan jelas diatur dalam pasal 42, bahwa BHP untuk pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dalam bentuk fortofolio (perjanjian kerja sama ataupun utang). Dan di pasal 43, bahwa BHP penyelenggara pendidikan tinggi dapat mendirikan sebuah badan usaha berbadan hukum. Tujuannya hanyalah untuk mendapatkan keuntungan dan tambahan biaya.

Hakekatnya adalah kemudian antar BHP akan saling bersaing untuk dapat mempertahankan dominasinya berdasarkan pada kekuatan modal yang dimilikinya melalui aktifitas investasi dan badan usaha berbadan hukum. Siapa yang mempunyai modal yang kuat dialah yang akan bertahan. Yang tidak mempunyai cukup modal kemudian akan dinyatakan pailit (rugi) dan dapat dibubarkan atau dilakukan merger dan akuisisi dengan alasan aset yang dimilikinya tidak cukup untuk membayar tanggungan biaya investasi dan operasionalnya. Konsep yang diterapkan sama persis dengan konsep pasar bebas. Hal ini merupakan bentuk paling kongkrit dari kebingungan dari pemerintahan untuk menutupi dana penyelenggaraan pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya dengan penuh. Bahkan pemerintah juga menjanjikan adanya kemudahan berupa insentif pajak kepada masyarakat yang memberikan hibah kepada BHP. Sebuah upaya suap agar masyarakat mau ikut serta menanggung biaya pendidikan.

Hal yang lebih memilukan lagi adalah adanya ketetapan dalam pasal 46 huruf a bahwa badan hukum pendidikan wajib menjaring dan menerima warga negara indonesia yang memiliki potensi tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (duapuluh persen) dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru. Kemudian di huruf b disebutkan badan hukum pendidikan wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik warga negara indonesia yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi (artinya hanya orang-orang miskin yang pintar dan orang-orang yang pintar saja yang menerima beasiswa, red) paling sedikit 20% (duapuluh persen) dari jumlah seluruh peserta didik. Di perguruan tinggi, bantuan yang diberikan kepada mahasiswanya dapat berupa beasiswa, bantuan biaya pendidikan, kredit mahasiswa dan pemberian pekerjaan kepada mahasiswa. Pemberian pekerjaan ini tentu saja akan mengakibatkan terciptanya tenaga kerja murah di unit-unit badan usaha berbadan hukum yang dimiliki oleh pendidikan tinggi. Meskipun demikian, yang miskin dan kemampuan akademis terbatas tidak akan pernah mendapatkan haknya atas pendidikan. Dan secara tidak langsung pemerintah telah melakukan diskriminasi dan pelanggaran hak warga negaranya secara tersistemik melalui regulasi yang dibuatnya.

Peraturan hubungan industrial diberlakukan untuk mengatur hubungan kerja antara pendidik dan tenaga kependidikan dengan pemimpin organ pengelola BHP melalui perjanjian kerja yang dilakukan. Ini ditegaskan dalam pasal 55 huruf c, perjanjian kerja tersebut dilakukan oleh pendidik dan tenaga kependidikan yang berstatus sebagai PNS ataupun pegawai BHP. Jika terjadi konflik diantara keduanya maka akan diselesaikan dengan mekanisme yang diatur dalam AD/ART BHP. Ini sama dengan pemberlakukan sistem bipartit antara buruh dan pengusaha dalam menyelesaikan perselisihan di antara keduanya. Selain itu, jika terjadi pembubaran BHP, maka pendidik dan tenaga pendidik yang berstatus PNS akan dikembalikan kepada instansi induknya sedangkan yang berstatus pegawai BHP akan diupayakan untuk dikembalikan hak-haknya. Instansi induknya (Depdiknas ataupun Depag) kemudian hanya akan berfungsi seperti perusahaan outsourching. Dan pegawai BHP hanya akan dinilai sebagai pekerja kontrak saja.

Tatakelola seperti yang dimaksud dalam UU BHP ini kemudian akan ditetapkan oleh seluruh penyelenggaraan pendidikan mulai tingkat dasar, menengah dan tinggi paling lambat 4 tahun sejak ditetapkannya UU BHP ini. Seluruh undang-undang yang diperlukan untuk menjalankan UU BHP ini akan ditetapkan paling lambat 2 tahun sejak UU ini diundangkan. Maka tinggal menunggu kehancuran pendidikan kita setelah lonceng kematiannya dibunyikan yaitu dengan disahkannya UU BHP ini. Kecuali, ada upaya yang keras bagi gerakan massa demokratik di Indonesia untuk melakukan aksi-aksi solid dan meluas untuk menolak pengesahan dan menuntut untuk pembatalan UU BHP ini.

V. Imbas UU BHP, Penghancuran Kampus Sebagai Institusi Pencerdasan
Pemberlakukan UU BHP ini pada dasarnya hanya akan menambah represifitas dan pengekangan terhadap proses demokratisasi kampus. Pemukulan terhadap aksi-aksi penolakan pengesahan UU BHP di kampus-kampus di Indonesia seolah menjadi tumbal yang mahal demi pengesahan UU yang sangat anti rakyat ini.

Akan terjadi perubahan orientasi pengelolaan kampus, yaitu akan lebih banyak mengurusi soal investasi dan usaha komersilnya untuk mendatangkan keuntungan agar tidak kalah bersaing dan tidak diakuisis ataupun dimerger oleh BHP yang lain. Selain itu, bukan tidak mungkin jika seluruh fasilitas yang ada di kampus nantinya akan dikomersilkan meskipun kita sudah membayar mahal untuk setiap semesternya. Biaya pendidikan di kampus akan semakin mahal dan dapat dipastikan bahwa yang mampu mengaksesnya adalah dari kalangan menengah ke atas. Mereka kemudian terdorong pula bagaimana menggunakan keahliannya untuk dapat mengembalikan biaya penddidikannya yang mahal tersebut. Orientasi pasca menjadi wisuda adalah bekerja, harus siap menjadi tenaga kerja dengan upah murah di tengah keterbatasan lapangan pekerjaan yang tersedia. Akibatnya pengangguran akan semakin besar dari kalangan lulusan perguruan tinggi (DI/DII/DIII/S1) yang tahun 2008 sudah mencapai 1 juta lebih pengangguran lulusan perguruan tinggi.

Out put pendidikan kita kemudian hanya akan menghamba kepada kepentingan imperialis karena yang diajarkan di kelas-kelas hanyalah teori-teori produk imperialis yang telah usang yang hanya memberikan kebangkrutan dan kebingungan kepada mahasiswa. Riset-riset yang dilakukan oleh mahasiswa maupun dosen kemudian akan menjadi hak milik kampus untuk dipatenkan dan menjadi aset kekayaan BHP yang harapannya dapat dikomersilkan. Selain itu, riset-riset mengenai persoalan-persoalan pokok rakyat Indonesia mengenai hak atas tanah, upah dan pekerjaan bagi rakyat juga tidak akan mendapatkan ruang untuk berkembang di kampus. Ekspor tenaga kerja akan meningkat karena kepentingan investor di perguruan tinggi atas ketersediaan tenaga kerja yang murah untuk dipekerjakan di perusahaan-perusahaan mereka.

BHP juga akan menguatkan politik upah murah yang telah ditetapkan oleh pemerintahan SBY-Kalla. Politik upah murah ini tentu saja akan ditetapkan kepada pendidik dan tenaga pendidik serta kepada mahasiswa yang dipekerjakan. Terjadi pembatasan hak atas pendidikan bagi warga negara yang mempunyai kemampuan dana dan akademis yang terbatas, karena tidak dijamin dalm UU BHP bahwa dari kalangan tersebut akan dipermudah aksesnya atas pendidikan.

VI. Tugas Pokok FMN Adalah Mengobarkan Perjuangan Di Kampus-Kampus Menolak UU BHP
Lonceng kematian pendidikan telah dibunyikan. Maka menjadi kewajiban bagi Front Mahasiswa Nasional untuk melakukan kampanye anti UU BHP secara meluas. Sebagai organisasi mahasiswa yang memperjuangkan sistem pendidikan yang ilmiah, demokratsi dan mengabdi kepada rakyat, keberadaan UU BHP adalah tidak akan mendapatkan tempat sedikitpun dalam arah perjuangan kita. UU BHP harus kita tolak!! Dengan terus lakukan kampanye dan aksi-aksi untuk membelejeti rejim SBY-Kalla yang menjadi boneka amerika dan rejim yang anti rakyat.

Jadikan kampus sebagai pusat seluruh kegiatan mahasiswa menuju kampanye penolakan UU BHP. Kampus juga sekaligus akan menjadi pusat aktifitas FMN dalam melakukan propaganda, konsolidasi dan pendidikan terhadap anggota dan massa. Dari seluruh proses inilah maka aktifitas rekruitmen di kampus juga akan dijalankan karena FMN mendapatkan tempat untuk mensolidkan barisan dan memperluas pengaruh di kampus. Kampus-kampus negeri yang besar akan menjadi sasaran utama aksi-aksi penolakan kita karena di sanalah tempat bercokolnya para akademisi-akademisi anti rakyat, selain karena jumlah mahasiswa yang besar dan mempunyai pengaruh secara luas. politik ini juga akan membantu kita untuk memperluas pengaruh di kampus-kampus kecil di sekitarnya.

Aliansi yang akan dibangun adalah aliansi luas di sektor pemuda mahasiswa, terutama dalam menggandeng lembaga-lembaga kampus untuk terlibat dalam kampanye kita. Dan perlu diketahui juga, bahwa dampak dari UU BHP ini adalah meluas. Seluruh sektor rakyat baik di buruh, tani, pemuda, mahasiswa, miskin kota, nelayan, perempuan kemudian akan terkena imbasnya. Penolakan atas UU BHP ini menjadi kepentingan seluruh elemen gerakan massa demokratis indonesia. Maka, perlu bagi kita untuk membentuk aliansi multisektor untuk memperhebat perjuangan kita atas penolakan UU BHP ini.

Tidak ada syarat-syarat sedikitpun bagi negeri setengah jajahan dan setengah feodal untuk menuju penghidupan yang lebih baik selama rejim yang berkuasa adalah regim komprador yang anti rakyat. Maka sebuah keharusan bagi kita, Front Mahasiswa Nasional, sebagai bagian dari gerakan pembebasan nasional untuk terus melakukan kampanye dan aksi-aksi menolak kebijakan yang anti rakyat dengan politik pembelejetan terhadap rejim SBY-Kalla pada hari ini.

Tolak UU BHP sekarang juga!!
Hidup pemuda mahasiswa!

21.15

Repleksi Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Repleksi Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Bagi Masyarakat Adat, Kaum Tani, dan Masyarakat Pedesaan Pada Umumnya, Dalam Merebut Kedaulatan atas Tanah dan Kekayan Alam

oleh : jalung (j47ung_kayan@yahoo.com)

 Sejarah perjuangan rakyat Indonesia tidak terlepas dari sejarah panjang penindasan, penghisapan dan perampasan tanah masyarakat adat, kaum tani, dan masyarakat pedesaan umumnya di Indonesia dengan adanya komersialisasi pertanian pada jaman penjajahan yang dilakukan oleh bangsa – bangsa Eropa dari mulai Portugis, Spanyol melalui Sistim Perkebunan Skala Besar yang mana Puncaknya Belanda menjadi penguasa perdagangan hasil bumi di Nusantara. 

 Mula-mulanya Pada tahun 1602 melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) maskapai perdagangan yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda menancapkan kukunya di bumi Nusantara dengan memonopoli komoditas hasil pertanian. VOC yang awalnya cuma menguasai perdagangan hasil pertanian kemudian mulai bergeser peranannya dengan melakukan penanaman komoditas. Priayangan stelsel dengan mewajibkan rakyat menanam kopi yang di awasi oleh penguasa lokal atau raja-raja pada saat itu. VOC juga mengunakan sistem penyewaan tanah dan sistem partikelir dimana pengusaha-pengusah dapat menarik hasil bumi dan jasa penduduk pada tanah yang disewakan oleh VOC.

Kemudian Pada tahun 1812-1916 Pemerintah Hindia Belanda melaui Gubernur Jendral Rafless dengan menerapkan sistem pajak yang merupakan bagian integral dari gagasan pembaharuan sistem pertanahan di wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Sistem ini didasari agar ada kepastian hukum dalam menguasai tanah di wilayah Hindia Belanda. Sistem ini sangat singkat diterapkan karena beberapa kendala terutama sulitnya masyarakat saat itu dalam memperoleh uang dan tindakan penyelewengan oleh pejabat yang mengurusnya sering terjadi. Sistem ini kemudian merupakan tonggak awal mulai dikenalnya sistem kepemilikan tanah individu atau perseorangan yang menajdia awal munculnya sistim baru yang diterapkan oleh Gubernur Jendral Van Den Bosch dengan sebutan Sistem Tanam Paksa.

Sistem Tanam Paksa ini menuai keberhasilan kepada Pemerintah Hindia Belanda dengan keberhasilan sebesar 841 juta gulden. Jika kita telusuri pelaksana sistim ini memiliki dua makna yang dalam yakni Wajib dan Paksa, yang mana Paksa mengandung maksud memaksa kaum tani untuk menyerahkan tanah kepada Pemerintah Hindia Belanda, sedangkan Wajib mengandung maksud agar petani menanam jenis tanaman perkebunan yang laku dipasaran Internasional (tebu, kopi, indigo, porsela dll) serta menyerahkan tenaganya untuk kerja diperkebunan. Hal ini mengakibatkan rakyat mengalami kerisis yang sangat tinggi di mana tanaman-tanamnya banyak terserang wabah penyakit terus kelaparan. 

Keberhasilan Sistem Tanam Paksa ini pun mengundang pihak swasta untuk ikut terlibat dalam usaha dibidang perkebunan. Alhasilnya dikeluarkannya Undang – Undang Pertanahan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1870 (Agraris Wetch). Undang – Undang ini mendorong pihak swasta untuk ikut secara langsung terlibat dalam usaha Perkebunan diwilayah kekuasaan Hindia Belanda dengan diaturnya hak sewa, hak erfprach, hak egindom dan lainnya. Untuk penyediaan tenaga kerja yang murah yang didatangkan dari jawa yang dikenal dengan sebutan kuli kontrak.

Revolusi Kemerdekaan 1945 telah melahirkan perkebunan – perkebunan peninggalan penjajah dibeberpa tempat direbut dan dikembalikan kepada kaum tani. Namun demikian, 21 desember 1949 KMB (Konferensi Meja Bundar) menghasilkan kekalahan indonesia yang mana hakekatat kekalahan kita sebenarnya adalah kebun yang telah dikuasi kaum tani dikembalikan kemudian kembali lagi kepada perusahaan – perusaan asing maupun perusahaan negara belanda. Namun pada saat itu presiden republik Indonesia pertama Soekarno dengan aksi sepihanya melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan asing, dan melahirkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960, Yang mana tujuanya untuk mengatasi dualisme hukum soal agraria di Indonesia yakni Hukum yang diwarisi oleh Kolonial Belanda dan Hukum warisan sistem usang feodalisme, dengan filosofi dasarnya tanah untuk penggarap ini merupakan angin segar bagi kaum tani, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan pada umumnya. Namun Sayangnya, belum sukses pelaksaanaan UUPA No. 5 Th 1960 Presiden Soekarno jatuh melalui skema politik Jendral Besar Soeharto dengan kudeta nya yang dilakukan melalui konspirasi negara penjajah pimpinan AS dan Inggris.

Kemudian Semenjak Massa presiden Soeharto ini lah perkebunan mulai dimunculkan kembali sistem perkebunan yang kemudian mengunakan tiga prinsip stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Hal ini kemudian melahirkan UUPMA yang sangat pro modal yang mana bertentangan betul dengan filosopi dasar UUPA 60. 

Pada masa ini pula kemudian perkebunan skala besar kemudian menjadi massif, mulai dari Perkebunan Kelapa Sawit yang mana Salah satu konsep yang diterapkan adalah Pola Sistim PIR dimana ada konsep perkebunan inti dan plasma. Yang mana Kewajiban inti adalah menyediakan sarana produksi kebun sementara petani di wajibkan menyerahkan tanah, tenaga kerja dan harus menjual hasilnya ke perusahaan inti. Konsep ini kemudian di integrasikan dengan program tranmigarsi dalam upaya pemenuhan tenaga kerja di perkebunan. Dan Pada tahap ini lah mulai di kenal istilah petani plasma yaitu petani yang masuk dalam skema perusahaan. Celakanya kemudian perkebunan kelapa sawit ini menjadi jargon mensejahterakan rakyat serta kemudian sawit ini dijadikan komoditi primadona oleh rejim hari ini.

Pada masa pemerintahan megawati menerbitakan UU Perkebunan yang juga sarat kepentingan pemodal. Sementara Rejim pemerintahan SBY-Kalla lebih menerapkan konsep Revitalisasi Perkebunan yang mana Sama sekali juga tidak berpengaruh apapun terhadap rakyat karena semangatnya Juga masih tetap pada konsep lama dimana masih pro-Pemodal, kesemua itu menambah rentetan panjang penderitaan masyarakat adat, kaum tani dan masyarakat pedesaan umumnya.

Sehingga sejarah diatas ini merupakan bukti nyata yang tidak bisa dipungkiri bahwasanya masyarakat adat, kaum tani dan masyarakat pedesaan umumnya masih dijajah kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam oleh negara dengan rejimnya, melaui legitimasi undang-udang terutama dimulai dari jaman rejim Soeharto Yang mana muncul pertamakali yaitu UUPM No. 25 Th. 2007, kemudian muncul lagi PP 77 Th. 2007, serta produk UU sektoral seperti UU Perkebunan No. 18 Th. 2004, UU Kehutanan No. 41 Th. 1999 dan juga di bidang Pertambangan, Energi, Perindustrian (Zona Ekonomi Bebas) yang sarat kepentinggan yang tidak berpihak pada rakyat. Hal ini lah medorong terjadinya konflik, peselisihan, pertikayaan dan perlawanan rakyat serta memunculkan kekroposan rasa nasionalisme. 

Kasus perkasus terus terjadi di seluruh indonesia mulai dari Marules-Banyuwangi, Pagak-Malang, Bojonegoro, Wonosobo, Banyumas, Karangsewu-Kulon Progo Jogjakarta, Karangsari-Garut, Tajur Halang-Bogor, Rumpin-Bogor, Deli Serdang-Sumut, hingga Kalimantan Barat seperti Kasus Masyarakat Teluk Keramat, Sejangkung dan Galing Kab. Sambas berhadapan dngan PT. SAM (yang mengantongi Ijin Untuk Perkebunan Kelapa Sawit), kemudian di Jawai Kab. Sambas berhadapan dengan PT. BMH (yang mengantongi Ijin Untuk Hutan Tanam Industri), terus lagi Masalah Ajudifikasi di Sui Itik, Sui Rengas Kec. Kakap yang menimbulkan tumpang tindihnya bukti kepemilikan antara Petani Penggarap dengan Pemegang Sertifikat yang berakibatkan konflik, terus lagi kasus penagkapan 3 dan 1 orang diproses dipengadilan negri sanggau karna berhadapan dengan PT. MAS (pemegang ijin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit)– Kab. Sanggau, di melawi masyarakat adat kemudian tidak bisa mengola tanahnya yang telah diwariskan secara turun temurun serta malah dipenjarakan karna melangar kebijakan kehutana yaitu kebijakan tentang Taman Nasional, Di Kapuas Hulu tepatnya di masyarakat Dusun Tapang Mada dan Lubuk Besar, Desa Sungai Buaya, Kec. Kayan Hilir serta Desa Riam Panjang, Kec. Kayan Hulu masyarakat harus dipukuli dan dipenjarakan karna mempertahan kan tanahnya yang diambil alih oleh PT. KARYA REKANAN BINA BERSAMA (KRBB) (Pemengang Ijin HPHH), masyarakat diDAS mendalam juga berhadapan dengan PT.Toras Banua Sukses (pemengang ijin IUPHH), dan hampir diseluruh kabupaten di kalbar yang mana tidak ada titik temu penyelesayan. Oleh sebab itu sudah selayaknya masyarakat adat, kaum tani dan masyarakat pedesaan lainya merapatkan barisan, galang persatuan dan perhebat perjuangan dalam rangka mendorong terlaksananya secara murni dan konsukwen UUPA No. 5 Th. 1960, UUPBH, PP No. 224 Th. 1961, TAP MPR No. 9 Th. 1999 sebagai wujuda dari pejuang atas kedaulatan terhadap tanah yang mejadi dasar kehidupan masyarakat adat, kaum tani dan masyarakat pedesaan umumnya, sehingga tercipta tatanan masyarakat yang berdaulat, mandiri dan bermartabat.