07.13

Sosok Binatang Pembunuh Kenafsuan

Buyi lonceng bergema melataukan irama-irama kengerian, membawa binatang dalam wujut manusia menuju sebuah banguna megah yang berpondasikan pilar-pilar keserakahan, dan lantai-lantai kerakusan demi sebuah kepentinagan kemanusian terhadap sang empunya.
Dalam bangunan itu berdiri sosoko biantang kemanusian mengunakan jubah kebohongan dan memahkotakan dirinaya dengan mahkota kepalsuan, yang kemudian dinobatkan sebagai simbol perantara dengan mengantongkan segudang pencerahan dalam kegelapan di dunia kemanusian, dialah sosok bianatang pembunuh kenafsuan yang setiapkali dia berdiri dialtar batu berlapiskan kemunafikan dilantunkan-nya-lah kata-kata kenabian dengan dalih pengampunan atas sombol kedosaan demi sebuah pemaksaan kebenaran di alam dunia kemanusiaan.
Dalih Sebuah Kepuasan Nafsu
Ditepi danau kebimbangan dibawah payung keagungan, bersandarkan sang saudagar pohon, berdiri sepasang insan mahluk serakah, menjalankan sebuah ritual kebinalan diatas dalih sebuah kepuasan nafsu.
Cahaya kesetanan memancarkan sinarnya membuat mereka terbenam dalam alam-alam dunia mereka, sayup-sayup bisikan kelaziman membuat mereka semakin rakus dalam dunia kenafsuan,
membawa mereka kedalami sebuah danau kebimbangan.
Mereka semakin jauh berjalan menuju ketengah, hanya demi dalih sebuah kepuasan nafsu yang mereka agung-agung kan, hinga membuat mereka semakin tengelam dan
tampa disadar akhirnya mereka mati demi dalih sebuah kepuasan nafsu.

07.12

Setetes Kenistaan

Malam menerawang dari titik kemungkaran dalam bayang jubah keperkasaan melewati debu penuh kebersihan, membawa hari melewati jalan dengan tampa harus tau akhir suatu tujuan.
Berdiri sosok biantang kelakian diantara selah sang bansawan pepohonan yang beralaskan permadani rumput kesucian, menanti sosok biantang keperempuanan nuntuk menyalurkan hasrat kepuasan nafsu kemanusian agar teciptalah sekor anak biantang kemanausian.
Terus Kupandangi sosok biantang kelakian yang mengibaskan ekor kelicikan tuk menyambut kegembiraan dengan datangnya sosok bianatang keperempuanan, sapaan binal menyusul tuk menyabut sosok biatang keperempunan, yang datang membawa wadah tempat pembuangan hasrat kebinalan dan kerakusan, yang berada diatas lidah dan taring kenafsuan.
Di ajaknyalah sekor bianatang keperempuana itu masuk kedalam ruang pelampiasan, untuk melaksanakan hasrat kebinalan yang di atas namakan dalih sebuah kepuasan nafsu dalam bayang kelaziman.
Malam semakin kuat meyelimuti mereka dalam jubah kegelapan, dengan pancaran cahaya kesetana membawa mereka terlena delam pelukan aroma kebiadapan sampai akhirnay terjadi pembunuhan terahadap setetes kenistaan, awal terjadinya sebuah proses kehidupan sekor binatang kemanusiaan, haya demi sebuah alasan.

07.11

Sang empunya

Manusia sulit di pahami tapi ini lah mebuat sosok binatang menyerupin manusia menjadi simbol dari sang empunya, dalam dunia kemanusiaan banyak rencana yang tak dapat dipamahami oleh sosok binatang menyerupai manusia untuknya dari sang empunya rencana, tapi akan kah sang empunya rencana merencanakan suatu rencana yang sulit dimengerti oleh sosok bianatang yang menyerupai manusia ini sehingga sosok binatang ini mampu melewatinya dan menjalan kan permainan yang di buatnya, tapi kadang sosok binatang menyerupai manusia ini tidak mampu mengertinya karena
dialah sang empunya rencana terhadap ini semua.
Renungan Segumpal Daging Kemanusiaan
sebatang rokok yang coba Ku hisap sambil merenukan, apa yang akan, dan sebenarnya, yang aku inginkan untuk hidup dalam dunia kebenaran kemanusian, yang penuh dengan nista dan kemunafikan.
Masih terus kuhisap rokok ini, yang tampa terasa hampir separuh batang sudah, selama aku duduk dan memencet alat tulis yang diciptaka manusia, demi sebuah keserakahan yang diatas namakan teknologi dan fasilitas kemudahan manusia.
Masih terus kurenungi apa yang akan kulakukan dalam dunia kebenaran kemanusiaan ini, akan kah aku menjadi pelacur yang melacurkan hati nuraniku demi sebuah kehidupan.
Akhirnya habis juga sebatang rokok ini, namun tidak kutemukan juga jawaban, apa itu makna dan arti sebauh kebenaran kemanusiaan, di dalam dunia kemanusian ini .
Kumatikan puntungan rokok yang tadi kuhisap dan kulanjutkan lagi tangan ku tuk menekan tombol-tombol ini, tapi apakan yang akan ku dapat, aku juga tidak tau.
Apakah arti sebuah kebenaran kemanusiaan itu sendiri, Malah makin menambah kebingungan ku sendiri, apakah aku harus melacurkan hati nurani ku dalam ”kebeneran di dalam kebenar-benaran” di dunia kemanusiaan ini.

06.59

Refleksi anak bumi

Satu hari saat matahari mulai terbenam cakrawala terlihat memerah, angin bertiup pelan membawa aku terbaring di pangkuan bumi yang terasa sepi jauh dari keramaian orang–orang yang memiliki abisi-abisi terhadap bumi, tiba-tiba aku terbangun, terpana melihat kegelapan sudah mulai tiba serta kegelisahan malam seakan-akan mulai dating, membawa manusia kedalam peraduan yang penuh dengan halusinasi dan imajinasi anak manusia yang terpana akan romantika kehidupan duniawi, yang penuh dengan kekotoran tangan saetan yang rakus dan bianal.
Aku coba terus telusuri bagian bumi yang gelap yang penuh dengan pemujaan ritual kebinalan, anak manusia telah menjadi binatang dengan tingkah dan prilaku yang buas, siap akan memangsa setiap jenkal kekurangan, binatang menjadi penonton akibat ulah anak manusia yang telah serakah mengambil peran sang binatang. malam menjadi arena pertarungan bagi elemen-eleman /unsur-unsur yang ada didalamnya, gejolak rasa, naluri, insting menjadi satu dalam tindakan untuk mencapai kepuasan.
”Kegelapan bukan berarti gelap tetapi gelap menjadikan itu sebuah malam dan malam menjadikan itu sebuah kegelapan serta kegelapan menjadikan itu sebuak kepuasan serta keinginan” .
Kulangkah kan terus kaki ku menelusuri belahan bumi yang kering tampa setetes air, disana yang ada hanya tanah yang retak seakan akan merintih menahan rasa perih akibat haus yang dalam, terus kulalui jalan ini, tiba-tiba bertemu aku dengan sekor manusia sedang duduk diantara selah batu yang besar, dia sedang memainkan melodi merdunya di dari setiap selah tulang iganya yang tidak terlalu besar kuperhatikan setiap gerakan tanganya yang mahir bagaikan musisi yang handal dia mainkan setiap lagu lagu kelaparan dan kematian yang sangat dibangakan baginya.
“Hujan bukan berarti baik karena hujan itu ada karena kekeringan kekeringan ada karena keserakahan dan keserakahan itu ada karena kepuasan serta keinginan ”
Tampaku sadari aku masih dibumi dengan berpondasikan kedua kaki dan berjala diatap cakrawala alam ini, masih terus kutelusuri bumi ini diiringi gema suara kicawan burung beryayai dan gemerincik suara air merintih menahan rasa sakit yang dideritanya setiap hari, kucoba daki bukit dan gunung yang lebih tinggi untuk mencapai kan diri dekat dengan cakrawal alam ini namun bumi masih saja tak sehati karena kurcaci di bumi sudah tidak suci lagi, haya tinggal nayayian surgawi yang dinyayikan oleh binatang penghuni bumi yang yang masih diangap murni karena masih mengikuti yang namaya naluri