02.12

Pramoedya Ananta Toer:

Pramoedya Ananta Toer:
Dulu, Saya Tak Pernah Menyangka akan Menjadi Tua


JAKARTA—Kabar tentang terpilihnya Pramoedya Ananta Toer sebagai orang yang paling berpengaruh di Asia (selain Iwan Fals dari Indonesia) versi majalah Time ternyata ditanggapi dengan sangat biasa oleh yang bersangkutan. Menurutnya, pemilihan semacam itu adalah hak dari publik. ”Saya memang sudah sering ditulis dan diwawancara oleh Time. Untuk kabar ini, saya belum membacanya, baru dengar dari wartawan,” ujarnya.

Namun, sesungguhnya ada kabar lain yang menggembirakan hatinya. Novel Nyanyi Sunyi Seorang Bisu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Portugal. Pada sampul novel yang judulnya menjadi Soliloquio Mudo, dikutip juga tentang pernyataan majalah Time beberapa waktu lalu, bahwa Pramoedya adalah salah satu penulis kuat untuk calon pemenang Nobel. ”Sejak 1981, saya telah menjadi kandidat Nobel,” katanya.

Matahari belum menunjukkan kegarangannya saat SH menemui seorang sastrawan besar yang karyanya terkenal ke seantero dunia, Pramoedya Ananta Toer di rumahnya yang cukup luas. Kata orang, sastrawan memang kerap memilih kediaman yang terpencil. Lihat saja Rendra, Hamsad Rangkuti, atau Gerson Poyk yang tinggal di Depok. Mungkin Pram bisa masuk kategori itu. Namun, sekalipun terpencil di daerah Bojong Gede, rumahnya tetap terbuka. Cahaya matahari dapat masuk dengan leluasa ke setiap kisi pintu dan jendela.

Tiba di kediamannnya—setelah terlebih dahulu menetapkan janji untuk bertemu—kami melihat sebuah kendaraan dengan tanda CD (Corps Diplomatic) terparkir di halaman rumah. Pram sedang menerima tamu dari Kedutaan Portugal. Untungnya, dalam percakapan keduanya yang serius itu, ibu Maemunah—istri Pram—melihat kedatangan kami dan mempersilakan duduk. Senyum yang ramah bercampur keakraban menyambut kehadiran kami disambung dengan sajian teh.

Baru setelah tamu dari Kedutaan Portugal pamit, Pram kemudian muncul. ”Tunggu ya,” katanya, dengan wajah dan senyum yang tak berubah. Hangat. Kami pun menunggu di teras rumahnya. Pram masuk sebentar, kembali dengan sebungkus rokoknya.

”Dari media mana tadi? Sinar Harapan?” kata lelaki kelahiran 6 Februari 1925. Kami lalu mengatakan niat untuk mewawancarainya sehubungan dengan berita tentang Pramoedya Ananta Toer yang terpilih sebagai orang yang paling berpengaruh di Asia versi majalah Time.

”Saya tidak tahu itu, saya justru baru dengar dari wartawan,” katanya. Namun, Pram mengatakan telah beberapa kali diwawancara oleh Time. Nyatanya, tak hanya penghargaan dari majalah itu, anugerah Magsaysay pun sudah pernah diraihnya. Bahkan pada novel Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Portugal, Soliloquio Mudo tertera keterangan di sampulnya: O Principal candidato asiatico ao premio Nobel (Time)—bahwa Pram adalah calon kuat peraih Nobel.

Tentang Nobel, Pram mengatakan telah mendengar beberapa kali tentang pencalonannya. Soal kontroversi di negaranya sendiri, menurutnya Amerika kadang bisa lebih demokratis dalam melihat profil seorang pemikir. ”Gao Xingjian, pemenang Nobel dari Cina yang lari ke Amerika atau siapa itu yang dari Italia (komedian Dario Fo-red), itu kan juga kontroversial. Waktu mereka menang, banyak orang yang marah,” ujar mantan karyawan Kantor Berita Domei di masa penjajahan Jepang.

Seberapa kuat karya sastra bisa mempengaruhi masyarakat global? ”Ya persisnya saya tidak tahu. Yang saya tahu adalah karya saya yang telah diterjemahkan lebih dari 30 bahasa di seluruh dunia. Artinya, apa yang ada di karya saya itu masuk ke dalam alam pikiran pembaca. Tentang apakah alam pikiran bisa menggerakkan perbuatan atau tidak, itu soal lain,” ujarnya.

Nyatanya, bagi Pram, Indonesia memang suatu saat harus mampu menampilkan penulis Indonesia yang mampu memperoleh Nobel. ”Kalau Indonesia tidak bisa meraih Nobel karena mungkin Akademi Swedia tidak punya ahli bahasa Indonesia sehingga semuanya harus melalui terjemahan,” ujar Pram, setengah bercanda.

Detail

Hidup Pram memang tak lepas dari terali penjara. Tak hanya dalam rezim Orde Baru, pada pemerintahan Belanda pun dia pernah ditahan pada tahun 1947—1949. Tahun 1965 hingga 1979, dia pun kembali ditahan di beberapa tempat seperti di penjara Jakarta, Tangerang, Nusakambangan, Magelang, Semarang dan Pulau Buru.

Begitu pun dengan nasib karyanya. Banyak hasil tulisannya yang dirampas Belanda, Inggris dan bahkan pemerintahan Indonesia sendiri. ”Nggak ngerti hidup saya begini. Dirampasin, diinjek, dihina,” katanya. Bahkan saat mendengar tentang karyanya yang pernah dibakar dan dirampas oleh rezim Orde Baru, wajah Pram makin terlihat mendung. ”Nggak ngerti saya, kalau negara membutuhkan, silakan ambil. Tapi, pakai tanda terima segala macem. Itu ‘kan lebih baik. Ini dirampas dan dibakari, nggak ngerti. Naskah-naskah, dokumentasi, dokumentasi saya itu mulai abad sebelumnya, berapa harganya, nggak bisa dihitung. Nggak ngerti kok bisa berbuat begitu,” ujarnya. Suaranya tertahan, ada tangisan yang berusaha dia sembunyikan di balik wajah tuanya.

Menurut Pram, setiap sastrawan, harus siap menanggung segala konsekuensi atas karya-karyanya. ”Penulis harus berani. Dia harus mau mempertanggungjawabkan karyanya,” ujar Pram. Perkara keberanian juga membuat dia tetap konsisten untuk berkarya, bahkan ketika ia dipenjara sekalipun. Pada tahun 1972, saat di penjara, Pram ”terpaksa” diperbolehkan oleh rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Waktu itu, Amerikalah yang memaksa rezim agar Pram dikirimi mesin tik—walau kiriman mesin tik itu nyatanya tidak pernah sampai—sehingga kawan-kawan sesama napi pun terpaksa membikinkan mesin tik bekas buat Pram.

Lantas, apakah pengarang yang cukup dikenal di dunia ini juga menyukai karya sastrawan lain? Dengan rendah hati, dia katakan kalau dia pun menyukai beberapa karya dari luar, termasuk Leo Tolstoy, Anton Chekov, atau John Steinbeck. ”Saya belajar dari Steinbeck, pernah baca karya Steinbeck? Coba perhatikan, sampai lalat terbang, segala macam diungkap untuk menggambarkan suasana. Sehingga kalau kita baca Steinbeck seperti nonton film. Nah, itu berpengaruh sama saya. Kalau baca buku saya ‘kan seperti nonton film. Pelajari gaya bahasa dia, itu gaya plastik namanya. Kita baca seperti nonton film, semua tergambar,” ujarnya. Namun, Pram tidak suka dengan karya Ernest Hemingway, ”Tidak manusiawi,” kata pengagum peraih Nobel, Gunter Grass.

Selain membuat novel, ternyata Pram pernah juga menyusun syair-syair puisi. ”Tapi saya sudah mulai bosan dengan perasaan,” kata anak Kepala Sekolah Instituut Boedi Oetomo, Blora. Karena itu, dia hanya membuat novel yang rasional, dan sama sekali tak menyukai sastra yang bergaya irasional.

Pram berpendapat penulis sekarang juga harus berani dan mampu mengangkat hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat. Hanya, dia sadari kondisi saat ini membuat penulis dan pemikir muda harus menghadapi sesuatu yang sangat berat, keberanian menempuh risiko seorang diri. Di negara dunia ketiga di mana kondisi rakyat memprihatinkan, para penulis sesungguhnya memikul tanggung jawab yang lebih berat. Cuma, banyak generasi sekarang yang pemikirannya terlampau miskin, perhatiannya pada kemanusiaan nggak ada. ”Cuma, itu urusan kalian lho. Sudah bukan urusan saya lagi,” kata Pram, dengan nada yang kocak.

Tegar

Kini, Pram mengaku sudah makin kepayahan. Mencangkul yang dulu dia bisa lakukan enam hingga delapan jam hanya bisa dua jam saja. Bahkan pernah, selama dua tahun, Pram sama sekali tidak bisa mengangkat benda apa pun. Itu mulai dia sadari saat hujan datang, ketika dia masih mencangkul di kebun. ”Rupanya suhu badan saya dipatahkan oleh suhu alam,” katanya, dengan gaya bahasa khas Pram.

Dia bahkan sudah tidak membuat karya lagi kini. Bagaimana kalau ada ide yang mendesak, tidak berupa Kali Lusi di Blora, tapi tentang rel di Stasiun Bojong Gede? Menjawab itu, Pram hanya tersenyum tipis, sedikit menggiris. ”Lha, konsentrasinya udah bubar nggak keruan. Itulah, dulu saya tidak pernah menyangka akan menjadi tua.

Perasaan kuat badan saya, nggak tahunya sama saja dengan yang lain, kemerosotan otak,” kata lelaki asal Blora yang berasal dari daerah bagian kelompok masyarakat Samin. ”Masyarakat Samin yang dikenal antiperaturan kolonialis itu menginspirasi Gandhi lewat Swadeshi dan Satyagraha lho,” ujarnya.

Kini, dia ingin bersunyi-sunyi di kediamannya, berternak dan berkebun. Dia memang sudah lama tidak ke Blora. ”Nanti dari Eropa, mungkin saya ke sana. Betulin rumah,” katanya. Mulai bulan Mei, dia akan melakukan perjalanan ke beberapa negara di Eropa. Negara yang akan ditujunya pertama adalah Swiss, lalu menyeberang ke Italia untuk menerima penghargaan Laureate Novelist dari Universitas Bologna, Italia Utara.

Dia juga berencana akan ke Spanyol (dalam bahasa Catalon) dan ke Yunani untuk meluncurkan Gadis Pantai. ”Juga undangan ke Prancis yang saya tidak tahu acaranya,” ujar lelaki ini sambil terus menghisap rokoknya dalam-dalam. Tampaknya, novelis Anak Segala Bangsa ini telah menjadi anak segala bangsa dalam arti sesungguhnya. Berkelana, mengarungi beberapa negara dan bangsa ... (SH/sihar ramses simatupang)
Sumber: Sinar Harapan, 4 April 2002

02.09

Haji Misbach: Muslim Komunis

Oleh Didi
Haji Misbach memiliki posisi yang unik dalam sejarah di Tanah Air. Namanya sedahsyat Semaun, Tan Malaka, atau golongan kiri lainnya. Di kalangan gerakan Islam, memang namanya nyaris tak pernah disebut lantaran pahamnya yang beraliran komunis. Menurut Misbach, Islam dan komunisme tidak selalu harus dipertentangkan, Islam seharusnya menjadi agama yang bergerak untuk melawan penindasan dan ketidakadilan. Lahir di Kauman, Surakarta, sekitar tahun 1876, dibesarkan sebagai putra seorang pedagang batik yang kaya raya. Bernama kecil Ahmad, setelah menikah ia berganti nama menjadi Darmodiprono. Dan usai menunaikan ibadah haji, orang mengenalnya sebagai Haji Mohamad Misbach. Kauman, tempat Misbach dilahirkan, letaknya di sisi barat alun-alun utara, persis di depan keraton Kasunanan dekat Masjid Agung Surakarta. Di situlah tinggal para pejabat keagamaan Sunan. Ayah Misbach sendiri seorang pejabat keagamaan. Karena lingkungan yang religius itulah, pada usia sekolah ia ikut pelajaran keagamaan dari pesantren, selain di sekolah bumiputera “Ongko Loro”. Menjelang dewasa, Misbach terjun ke dunia usaha sebagai pedagang batik di Kauman mengikuti jejak ayahnya. Bisnisnya pun menanjak dan ia berhasil membuka rumah pembatikan dan sukses. Pada 1912 di Surakarta berdiri Sarekat Islam (SI). Bicara kepribadian Misbach, orang memuji keramahannya kepada setiap orang dan sikap egaliternya tak membedakan priyayi atau orang kebanyakan. Sebagai seorang haji ia lebih suka mengenakan kain kepala ala Jawa, Misbach mulai aktif terlibat dalam pergerakan pada tahun 1914, ketika ia berkecimpung dalam IJB (Indlandsche Journalisten Bond)-nya Marco. Pada tahun 1915, ia menerbitkan surat kabar Medan Moeslimin, yang edisi pertamanya tertanggal 15 Januari 1915 dan kemudian menerbitkan Islam Bergerak pada tahun 1917. Surat-surat kabar ini menjadi media gerakan yang sangat populer di Surakarta dan sekitarnya. Marco Kartodikromo, salah satu tokoh pergerakan pada saat itu berkisah tentang Misbach: “.. Di Pemandangan Misbach tidak ada beda di antara seorang pencuri biasa dengan orang yang dikata berpangkat, begitu juga di antara rebana dan klenengan, di antara bok Haji yang bertutup muka dan orang bersorban cara Arab dan berkain kepala cara Jawa. Dan sebab itu dia lebih gemar memaki kain kepala dari pada memakai peci Turki atau bersorban seperti pakaian kebanyakan orang yang disebut “Haji”.

Apa yang tersirat dari tulisan Marco adalah populisme Misbach. Populisme seorang Haji, sekaligus pedagang yang sadar akan penindasan kolonialis Belanda dan tertarik dengan ide-ide revolusioner yang mulai menerpa Hindia pada jaman itu.

Misbach langsung terjun melakukan pengorganisiran di basis-basis rakyat. Membentuk organisasi dan mengorganisir pemogokan ataupun rapat-rapat umum/vergadering yang dijadikan mimbar pemblejetan kolonialisme dan kapitalisme.Bulan Mei 1919 akibat pemogokan-pemogokan petani yang dipimpinnya, Misbach dan para pemimpin pergerakan lainnya di Surakarta ditangkap. Pada 16 Mei 1920, ia kembali ditangkap dan dipenjarakan di Pekalongan selama 2 tahun 3 bulan. Pada 22 Agustus 1922 dia kembali ke rumahnya di Kauman, Surakarta. Maret 1923, ia sudah muncul sebagai propagandis PKI/SI Merah dan berbicara tentang keselarasan antara paham Komunis dan Islam. Bulan Juli 1924 ia ditangkap dan dibuang ke Manokwari dengan tuduhan mendalangi pemogokan-pemogokan dan teror-teror/sabotase di Surakarta dan sekitarnya. Walaupun bukan yang pertama diasingkan tapi ia-lah orang yang pertama yang sesungguhnya berangkat ke tanah pengasingan di kawasan Hindia sendiri. Orang menggambarkan Haji Misbach sebagai sosok yang tak segan bergaul dengan anak-anak muda penikmat klenengan (musik Jawa) dengan tembang yang sedang populer. Satu tulisan tentang Misbach menyebutkan, di tengah komunitas pemuda, Misbach menjadi kawan berbincang yang enak, sementara di tengah pecandu wayang orang Misbach lebih dihormati ketimbang direktur wayang orang. “… di mana-mana golongan Rajat Misbach mempoenjai kawan oentoek melakoekan pergerakannya. Tetapi didalem kalangannya orang-orang jang mengakoe Islam dan lebih mementingkan mengoempoelken harta benda daripada menolong kesoesahan Rajat, Misbach seperti harimau didalem kalangannya binatang-binatang ketjil. Kerna dia tidak takoet lagi menyela kelakoeannja orang-orang yang sama mengakoe Islam tetapi selaloe mengisep darah temen hidoep bersama.”

Takashi Shiraisi mengungkapkan perbedaan dinamika sosial Islam di Yogya dan Surakarta. Ini dikaitkan dengan persamaan dan perbedaan antara KH Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan, Misbach, seorang muslim ortodoks yang saleh, progresif, dan hidup di Surakarta. Di Yogya, Muhammadiyah yang lahir pada 1912 di Kauman, segera menjadi sentral kegiatan kaum muslimin yang saleh yang kebanyakan berlatar belakang keluarga pegawai keagamaan Sultan. Ayah Dahlan adalah chatib amin Masjid Agung dan ibunya putri penghulu (pegawai keagamaan kesultanan) di Yogya. Dahlan sendiri sempat dipercaya menjadi chatib amin. Para penganjur Muhammadiyah umumnya anak-anak pegawai keagamaan. Kala itu birokrat keagamaan umumnya adalah alat negara sehingga, kata Shiraisi, wewenang keagamaannya tidak berasal dari kedalaman pengetahuan tentang Islam tetapi karena jabatannya. Meskipun mereka berhaji dan belajar Islam, masih kalah wibawa dibandingkan para kiai yang pesantrennya bebas dari negara. Kendati demikian, reformisme Muhammadiyah berhasil menyatukan umat Islam yang terpecah-pecah. Tablig-tablignya, kajian ayat yang dijelaskan dengan membacakan dan menjelaskan maknanya di masjid-masjid, pendirian lembaga pendidikan Islam, membangunkan keterlenaan umat Islam. Mereka tumbuh menjadi pesaing tangguh misionaris Kristen dan aktivis sekolah-sekolah bumiputera yang didirikan pemerintah. Lain dengan di Surakarta. Kala itu belum ada pengaruh sekuat Dahlan dan Muhammadiyah. Ini karena di Surakarta sudah ada sekolah agama modern pertama di Jawa, Madrasah Mamba’ul Ulum yang didirikan patih R. Adipati Sosrodiningrat (1906) dan SI pun sudah lebih dulu berkiprah sebagai wadah aktivis pergerakan Islam. Di Surakarta, pegawai keagamaan yang progresif, kiai, guru-guru Al-Quran, dan para pedagang batik mempunyai forum yang berwibawa, Medan Moeslimin. Di situlah pendapat mereka yang kerap berbeda satu sama lain tersalur. Kelompok ini menyebut diri “kaum muda Islam”. Beda pergerakan Islam Surakarta dan Yogya, di Yogya reformis tentu juga modernis, tetapi di Surakarta kaum muda Islam memang modernis tetapi belum tentu reformis. Kegiatan keislaman di Solo banyak dipengaruhi kiai progresif tapi ortodoks, seperti Kiai Arfah dan KH Adnan. Sampai suatu ketika ortodoksi yang cenderung menghindar ijtihad itu terpecah pada 1918. Perpecahan kelompok Islam di Surakarta dipicu artikel yang dimuat dalam Djawi Hiswara, ditulis Martodharsono, seorang guru terkenal dan mantan pemimpin SI. Ketika artikel itu muncul di Surakarta tidak langsung terjadi protes, tetapi Tjokroaminoto memperluas isi artikel dan menyerukan pembelaan Islam atas pelecehan oleh Martodharsono. Seruan itu muncul di Oetoesan Hindia, sehingga bangkitlah kaum muda Islam Surakarta. Tjokroaminoto membentuk Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM), yang mencuatkan nama Misbach sebagai mubalig vokal. Mengiringi terbentuknya TKNM, lahir perkumpulan tablig reformis bernama Sidik, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV). Haji Misbach menyebar seruan tertulis menyerang Martodharsono serta mendorong terlaksananya rapat umum dan membentuk subkomite TKNM. Segeralah beredar cerita, Misbach akan berhadapan dengan Martodharsono di podium. Komunitas yang dulunya kurang greget menyikapi keadaan itu tiba-tiba menjadi dinamis. Kaum muslimin Surakarta berbondong-bondong menghadiri rapat umum di lapangan Sriwedari, pada 24 Februari 1918 yang konon dihadiri 20.000-an orang. Tjokroaminoto mengirim Haji Hasan bin Semit dan Sosrosoedewo (penerbit dan redaktur jurnal Islam Surabaya, Sinar Islam), dua orang kepercayaannya di TKNM. Waktu itu terhimpun sejumlah dana untuk pengembangan organisasi ini. Muslimin Surakarta bergerak proaktif menjaga wibawa Islam terhadap setiap upaya penghinaan terhadapnya. Inilah awal perang membela Islam dari “kaum putihan” Surakarta. Belakangan, muncul kekecewaan jamaah TKNM ketika Tjokro tiba-tiba saja mengendurkan perlawanan kepada Martodharsono dan Djawi Hiswara setelah mencuatnya pertikaian menyangkut soal keuangan dengan H Hasan bin Semit. Buntutnya, Hasan bin Semit keluar dari TKNM. Beredar artikel menyerang petinggi TKNM. Muncul statemen seperti “korupsi di TKNM dianggap sudah menodai Nabi dan Islam”. Dalam situasi itu muncul Misbach menggantikan Hisamzaijni, ketua subkomite TKNM dan menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi) Medan Moeslimin. Artikel pertama Misbach di media ini, Seroean Kita. Dalam artikel itu Misbach menyajikan gaya penulisan yang khas, yang kata Takashi, menulis seperti berbicara dalam forum tablig. Ia mengungkapkan pendapatnya, bergerak masuk ke dalam kutipan Al-Quran kemudian keluar lagi dari ayat itu. “Persis seperti membaca, menerjemahkan, dan menerangkan arti ayat Al-Quran dalam pertemuan tablig.” Sikap Misbach ini segera menjadi tren, apalagi kemudian secara kelembagaan perkumpulan tablig SATV benar-benar eksis melibatkan para pedagang batik dan generasi santri yang lebih muda. Menurut Shiraisi, ada dua perbedaan SATV dibanding Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah menempati posisi strategis di tengah masyarakat keagamaan Yogya, sedangkan SATV adalah perhimpunan muslimin saleh yang merasa dikhianati oleh kekuasaan keagamaan, manipulasi pemerintah, dan para kapitalis non muslim. Kedua, militansi para penganjur Muhammadiyah bergerak atas dasar keyakinan bahwa bekerja di Muhammadiyah berarti hidup menjadi muslim sejati. Sedangkan militansi SATV berasal dari rasa takut untuk melakukan manipulasi, dan keinginan kuat membuktikan keislamannya dengan tindakan nyata. Di mata pengikut SATV, muslim mana pun yang perbuatannya mengkhianati kata-katanya berarti muslim gadungan. SATV menyerang para elite pemimpin TKNM, kekuasaan keagamaan di Surakarta, menyebut mereka bukan Islam sejati, tetapi “Islam lamisan”, “kaum terpelajar yang berkata mana yang bijaksana yang menjilat hanya untuk menyelamatkan namanya sendiri.” Dasar keyakinan SATV dengan Misbach sebagai ideolognya, “membuat agama Islam bergerak”. Misbach kondang di tengah muslimin bukan sekadar karena tablignya, melainkan ia menjadi pelaku dari kata-kata keras yang dilontarkannya di berbagai kesempatan. Ia dikenal luas karena perbuatannya “menggerakkan Islam”: menggelar tablig, menerbitkan jurnal, mendirikan sekolah, dan menentang keras penyakit hidup boros dan bermewah-mewah, dan semua bentuk penghisapan dan penindasan. “Jangan takut, jangan kawatir” Misbach sangat antikapitalis. Siapa yang secara kuat diyakini menjadi antek kapitalis yang menyengsarakan rakyat akan dihadapinya melalui artikel di Medan Moeslimin atau Islam Bergerak. Tak peduli apakah dia juga seorang aktivis organisasi Islam. Berdamai dengan pemerintah Hindia Belanda adalah jalan yang akan dilawan dengan gigih. Maka kelompok yang anti politik, anti pemogokan, secara tegas dianggapnya berseberangan dengan misi keadilan. Misbach membuat kartun di Islam Bergerak edisi 20 April 1919. Isinya menohok kapitalis Belanda yang menghisap petani, mempekerja-paksakan mereka, memberi upah kecil, membebani pajak. Residen Surakarta digugat, Paku Buwono X digugat karena ikut-ikutan menindas. Retorika khas Misbach, muncul dalam kartun itu sebagai “suara dari luar dunia petani”. Bunyinya, “Jangan takut, jangan kawatir”. Kalimat ini memicu kesadaran dan keberanian petani untuk mogok. Ekstremitas sikap Misbach membuat ia ditangkap, 7 Mei 1919, setelah melakukan belasan pertemuan kring (subkelompok petani perkebunan). Tapi akhirnya Misbach dibebaskan pada 22 Oktober sebagai kemenangan penting Sarekat Hindia (SH), organisasi para bumiputera. Misbach menegaskan kepada rakyat “jangan takut dihukum, dibuang, digantung”, seraya memaparkan kesulitan Nabi menyiarkan Islam. Misbach pun sosok yang selain menempatkan diri dalam perjuangan melawan kapitalis, ia meyakini paham komunis. Misbach mengagumi Karl Marx, dia sempat menulis artikel Islamisme dan Komunisme di pengasingan. Marx di mata Misbach berjasa membela rakyat miskin, mencela kapitalisme sebagai biang kehancuran nilai-nilai kemanusiaan. Agama pun dirusak oleh kapitalisme sehingga kapitalisme harus dilawan dengan historis materialisme. Misbach kecewa terhadap lembaga-lembaga Islam yang tidak tegas membela kaum dhuafa. Berjuang melawan kapitalisme tak membuat Misbach tidak menegakkan Islam. Baginya, perlawanan terhadap kapitalis dan pengikutnya sama dengan berjuang melawan setan. Misbach pun ketika CSI (Central Sarekat Islam) pecah melahirkan PKI/SI Merah, memilih ikut Perserikatan Kommunist di Indie (PKI), bahkan mendirikan PKI afdeling Surakarta. Terkait dengan “teror-teror” yang terjadi di Jawa, Misbach tetap dipercaya sebagai otaknya. Misbach ditangkap. Dalam pengusutan sejumlah fakta memberatkannya meskipun belakangan para saksi mengaku memberi kesaksian palsu karena iming-iming bayaran dari Hardjosumarto, orang yang “ditangkap” bersama Misbach. Hardjosumarto sendiri juga mengaku menyebarkan pamflet bergambar palu arit dan tengkorak, membakar bangsal sekatenan, dan mengebom Mangkunegaran. Namun Misbach tetap tidak dibebaskan. Dia dibuang ke Manokwari, Papua, beserta dengan istri dan tiga anaknya. Selama penahanan di Semarang, tak seorang pun diizinkan menjenguknya. Misbach hanya dibolehkan membaca Al-Qur’an. Di pengasingan, selain mengirim laporan perjalanannya, Misbach juga menyusun artikel berseri “Islamisme dan Komunisme”.

Medan Moeslimin kemudian memuat artikel Misbach tersebut, “…agama berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi dan hinanya manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya. Budi terbagi tiga bagian: budi kemanusiaan, budi binatang, budi setan. Budi kemanusiaan dasarnya mempunyai perasaan keselamatan umum; budi binatang hanya mengejar keselamatan dan kesenangan diri sendiri; dan budi setan yang selalu berbuat kerusakan dan keselamatan umum.”

Ditengah ganasnya alam di tempat pembuangannya Misbach terserang malaria dan meninggal di pada 24 Mei 1926 dan dimakamkan di kuburan Penindi, Manokwari, di samping kuburan istrinya.
Sumber: History-Social-Culture (www.newhistorian.wordpress.com)

02.07

Semaoen

Semaoen
1899-1971

 Semaoen (lahir di kota kecil Curahmalang, Mojokerto, Jawa Timur sekitar tahun 1899 dan wafat pada tahun 1971) adalah Ketua Umum Pertama Partai Komunis Indonesia (PKI).

Semaoen adalah anak Prawiroatmodjo, pegawai rendahan, tepatnya tukang batu, di jawatan kereta api. Meskipun bukan anak orang kaya maupun priayi, Semaoen berhasil masuk ke sekolah Tweede Klas (sekolah bumiputra kelas dua) dan memperoleh pendidikan tambahan bahasa Belanda dengan mengikuti semacam kursus sore hari. Setelah menyelesaikan sekolah dasar, ia tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Karena itu, ia kemudian bekerja di Staatsspoor (SS) Surabaya sebagai juru tulis (klerk) kecil.

Politik

Kemunculannya di panggung politik pergerakan dimulai di usia belia, 14 tahun. Saat itu, tahun 1914, ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) afdeeling Surabaya. Setahun kemudian, 1915, bertemu dengan Sneevliet dan diajak masuk ke Indische Sociaal-Democratische Vereeniging, organisasi sosial demokrat Hindia Belanda (ISDV) afdeeling Surabaya yang didirikan Sneevliet dan Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel, serikat buruh kereta api dan trem (VSTP) afdeeling Surabaya. Pekerjaan di Staatsspoor akhirnya ditinggalkannya pada tahun 1916 sejalan dengan kepindahannya ke Semarang karena diangkat menjadi propagandis VSTP yang digaji. Penguasaan bahasa Belanda yang baik, terutama dalam membaca dan mendengarkan, minatnya untuk terus memperluas pengetahuan dengan belajar sendiri, hubungan yang cukup dekat dengan Sneevliet, merupakan faktor-faktor penting mengapa Semaoen dapat menempati posisi penting di kedua organisasi Belanda itu.

Di Semarang, ia juga menjadi redaktur surat kabar VSTP berbahasa Melayu, dan Sinar Djawa-Sinar Hindia, koran Sarekat Islam Semarang. Semaoen adalah figur termuda dalam organisasi. Di tahun belasan itu, ia dikenal sebagai jurnalis yang andal dan cerdas. Ia juga memiliki kejelian yang sering dipakai sebagai senjata ampuh dalam menyerang kebijakan-kebijakan kolonial.

Pada tahun 1918 dia juga menjadi anggota dewan pimpinan di Sarekat Islam (SI). Sebagai Ketua SI Semarang, Semaoen banyak terlibat dengan pemogokan buruh. Pemogokan terbesar dan sangat berhasil di awal tahun 1918 dilancarkan 300 pekerja industri furnitur. Pada tahun 1920, terjadi lagi pemogokan besar-besaran di kalangan buruh industri cetak yang melibatkan SI Semarang. Pemogokan ini berhasil memaksa majikan untuk menaikkan upah buruh sebesar 20 persen dan uang makan 10 persen.

Bersama-sama dengan Alimin dan Darsono, Semaoen mewujudkan cita-cita Sneevliet untuk memperbesar dan memperkuat gerakan komunis di Hindia Belanda. Sikap dan prinsip komunisme yang dianut Semaoen membuat renggang hubungannya dengan anggota SI lainnya. Pada 23 Mei 1920, Semaoen mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia. Tujuh bulan kemudian, namanya diubah menjadi Partai Komunis Indonesia dan Semaoen sebagai ketuanya.

PKI pada awalnya adalah bagian dari Sarekat Islam, tapi akibat perbedaan paham akhirnya membuat kedua kekuatan besar di SI ini berpisah pada bulan Oktober 1921. Pada akhir tahun itu juga dia meninggalkan Indonesia untuk pergi ke Moskow, dan Tan Malaka menggantikannya sebagai Ketua Umum. Setelah kembali ke Indonesia pada bulan Mei 1922, dia mendapatkan kembali posisi Ketua Umum dan mencoba untuk meraih pengaruhnya kembali di SI tetapi kurang berhasil.

Pengasingan

Pada tahun 1923, VSTP merencanakan demonstrasi besar-besaran dan langsung dihentikan oleh pemerintah kolonial Belanda, dan setelah itu Semaoen diasingkan ke Belanda. Selama masa pengasingannya dia kembali ke Uni Sovyet, dimana dia tinggal disana lebih dari 30 tahun. Pada masa itu dia tetap menjadi aktivis tapi hanya dalam aksi-aksi terbatas, berbicara beberapa kali di Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa di Belanda pada masa itu. Dia juga sempat belajar di Universitas Tashkent untuk beberapa waktu.

Selama pembuangan ke Eropa, Semaoen aktif di Executive Committee of the Comintern, Komite Eksekutif Komunis Internasional (ECCI). Setelah beberapa tahun tinggal di Belanda, Semaoen lalu menetap di Uni Soviet dan menjadi warga negara di sana. Ia pernah bekerja sebagai pengajar bahasa Indonesia dan penyiar berbahasa Indonesia pada radio Moscow. Puncak "karirnya" adalah ketika diangkat oleh Stalin menjadi pimpinan Badan Perancang Negara (Gozplan) di Tajikistan.

Setelah masa pengasingannya dia kembali ke Indonesia, dan pindah ke Jakarta. Kepulangan Semaoen ke Indonesia pada tahun 1953 merupakan inisiatif Iwa Kusumasumantri. Semaoen, Iwa, dan Sekjen Partai Komunis Iran mengawini tiga putri kakak-adik yang saat itu bekerja dalam Comintern. Saat kembali ke Indonesia dalam usia setengah abad lebih, Semaoen telah terputus dari PKI, partai yang ia dirikan. Dari tahun 1959 sampai dengan tahun 1961 dia bekerja sebagai pegawai pemerintah. Dia juga mengajar mata kuliah ekonomi di Universitas Padjadjaran, Bandung.

Referensi

Jarvis, Helen (1991). Notes and appendices for Tan Malaka, From Jail to Jail. Athens, Ohio: Ohio University Center for International Studies.
Kahin, George McT. (1952) Nationalism and revolution in Indonesia. Ithaca, New York:Cornell University Press.
Ricklefs, M.C. (2001) A history of modern Indonesia since c.1200 3rd ed. Stanford, California:Stanford University Press.
Sumber: Wikipedia (id.wikipedia.org)



Semaoen, Aktivis Buruh dan Pemikir

LAHIR di kota kecil Curahmalang, Mojokerto, pada tahun 1899, Semaoen adalah anak Prawiroatmodjo, pegawai rendahan, tepatnya tukang batu, di jawatan kereta api. Meskipun bukan anak orang kaya maupun priayi, Semaoen berhasil masuk ke sekolah Tweede Klas (sekolah bumiputra kelas dua) dan memperoleh pendidikan tambahan bahasa Belanda dengan mengikuti semacam kursus sore hari. Setelah menyelesaikan sekolah dasar, ia tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Karena itu, ia kemudian bekerja di Staatsspoor (SS) Surabaya sebagai juru tulis (klerk) kecil.

Kemunculannya di panggung politik pergerakan dimulai di usia belia, 14 tahun. Saat itu, tahun 1914, ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) afdeeling Surabaya. Setahun kemudian ia masuk ke Indische Sociaal-Democratische Vereeniging, organisasi sosial demokrat Hindia Belanda (ISDV) afdeeling Surabaya yang didirikan Sneevliet dan Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel, serikat buruh kereta api dan trem (VSTP) afdeeling Surabaya. Pekerjaan di Staatsspoor akhirnya ditinggalkannya pada tahun 1916 sejalan dengan kepindahannya ke Semarang karena diangkat menjadi propagandis VSTP yang digaji.

Di Semarang, ia juga menjadi redaktur surat kabar VSTP berbahasa Melayu, dan Sinar Djawa-Sinar Hindia, koran Sarekat Islam Semarang. Semaoen adalah figur termuda dalam organisasi. Di tahun belasan itu, ia dikenal sebagai jurnalis yang andal dan cerdas. Ia juga memiliki kejelian yang sering dipakai sebagai senjata ampuh dalam menyerang kebijakan-kebijakan kolonial.

Sebagai Ketua SI Semarang, Semaoen banyak terlibat dengan pemogokan buruh. Pemogokan terbesar dan sangat berhasil di awal tahun 1918 dilancarkan 300 pekerja industri furnitur. Pada tahun 1920, terjadi lagi pemogokan besar-besaran di kalangan buruh industri cetak yang melibatkan SI Semarang. Pemogokan ini berhasil memaksa majikan untuk menaikkan upah buruh sebesar 20 persen dan uang makan 10 persen.

Ideologi komunisme masuk ke Hindia Belanda melalui Hendricus Josephus Sneevliet. Tahun 1915 ia bertemu dengan Semaoen dan mengajaknya bergabung ke ISDV dan VSTP. Penguasaan bahasa Belanda yang baik, terutama dalam membaca dan mendengarkan, minatnya untuk terus memperluas pengetahuan dengan belajar sendiri, hubungan yang cukup dekat dengan Sneevliet, merupakan faktor-faktor penting mengapa Semaoen dapat menempati posisi penting di kedua organisasi Belanda itu.

Selain itu, bersama-sama dengan Alimin dan Darsono, Semaoen mewujudkan cita-cita Sneevliet untuk memperbesar dan memperkuat gerakan komunis di Hindia Belanda. Sikap dan prinsip komunisme yang dianut Semaoen membuat renggang hubungannya dengan anggota SI lainnya. Pada 23 Mei 1920, Semaoen mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia. Tujuh bulan kemudian, namanya diubah menjadi Partai Komunis Indonesia dan Semaoen sebagai ketuanya.

Selama pembuangan ke Eropa, Semaoen aktif di Executive Committee of the Comintern, Komite Eksekutif Komunis Internasional (ECCI). Setelah beberapa tahun tinggal di Belanda, Semaoen lalu menetap di Uni Soviet dan menjadi warga negara di sana. Ia pernah bekerja sebagai pengajar bahasa Indonesia dan penyiar berbahasa Indonesia pada radio Moscow. Puncak "karirnya" adalah ketika diangkat oleh Stalin menjadi pimpinan Badan Perancang Negara (Gozplan) di Tajikistan.

Kepulangan Semaoen ke Indonesia pada tahun 1953 merupakan inisiatif Iwa Kusumasumantri. Semaoen, Iwa, dan Sekjen Partai Komunis Iran mengawini tiga putri kakak-adik yang saat itu bekerja dalam Comintern. Saat kembali ke Indonesia dalam usia setengah abad lebih, Semaoen telah terputus dari PKI, partai yang ia dirikan. (BIP)
Sumber: Kompas Sabtu, 21 Mei 2005

02.03

Wiji, Kata-katamu tidak Binasa

Oleh Trinanti Sulamit

aku bukan artis pembuat berita
tapi aku memang selalu kabar buruk buat
penguasa

puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
yang berkeringat dan berdesakan
mencari jalan
ia tak mati-mati
meski bola mataku diganti
ia tak mati-mati
meski bercerai dengan rumah
ditusuk-tusuk sepi
ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka

kata-kata itu selalu menagih
padaku ia selalu berkata
kau masih hidup

aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa

(Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa, Wiji Thukul.18 juni 1997)

Ya, Wiji. Di mana pun kau berada saat ini kami bahkan yakin kata-katamu tak akan binasa. Wiji Thukul adalah satu yang menjadi inspirasi bagi banyak. Lebih dari sekadar inspirasi, ia merupakan sebuah realitas. Laki-laki kelahiran kampung Sorogenen, Solo, 23 Agustus 1963 ini memiliki nama asli Wiji Widodo. Wiji berasal dari keluarga tukang becak. Kemudian. Dia hilang hingga kini.

Suami dari seorang perempuan sederhana bernama Dyah Sujirah alias Sipon, ayah dari Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah ini adalah sosok yang selalu bangga dengan puisi-puisinya. Ia ngamen puisi, baca puisi, bahkan melamar Sipon dengan puisi berjudul Catatan Malam. Lebih dari sekadar kesenangan, Wiji ingin menyejahterakan keluarganya dengan puisi.

Wiji merupakan sosok penyair yang istimewa karena ia mampu memahami realitas hidup dan mewujudkannya menjadi kata-kata yang dirasakan oleh banyak orang. Ia tak mendadak hilang. Wiji menjadi kerikil bagi zamannya terlebih dahulu. Melalui puisi-puisinya ia mampu mengusik zaman, mengetuk kesadaran dan menggerakkan perlawanan.

Bukan hanya sosok penyair, Wiji Thukul sempat aktif dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker), bagian dari Partai Rakyat Demokrat (PRD). Ia menggugat dan menjadi oposisi pemerintah orde baru. Ia menjadi sosok yang digelisahkan oleh penguasa.

Setelah peristiwa pengerusakan markas besar PDI pada 27 Juli 1996, Wiji tak kembali hingga kini. Hilang.

Hilangnya (baca:dihilangkannya) Wiji menimbulkan sebuah pertanyaan besar dalam diri saya secara pribadi, apakah seberbahaya itu puisinya? Pertanyaan serupa terlebih dahulu dirasakan oleh Sipon sebagai orang terdekatnya. Ketika musibah itu datang, Sipon mulai gelisah dan membuka-buka kembali puisi karya Wiji. Ketika menyelami puisi sang suami yang berjudul Momok Hiyong dan Peringatan barulah Sipon sadar. Cobalah simak penggalan puisi Peringatan berikut ini, “bila rakyat tidak berani mengeluh itu artinya sudah gawat dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversif dan mengganggu keamanan maka hanya ada satu kata: lawan!”.

Sipon berkata pada anak-anaknya, bapakmu bukanlah bapakmu, bapakmu adalah milik orang banyak dan berbanggalah itu. Sifat jujur dan berani yang dimiliki Wiji terbukti menjadikannya mulut bagi banyak orang tertindas. Pada konteks politik masa orde baru, dua sifat tersebut merupakan barang langka.

Seorang bernama Herbert Marcuse berpendapat bahwa kesenian harus mengungkapkan adanya dimensi manusia dan alam yang tertekan dan tertindas. Kaum seniman harus menunjukan dalam karya-karyanya suatu dimensi yang dalam kenyataan sosial yang ada belum atau tidak terwujukan. Seniman harus dapat ‘mentransendirkan’ kenyataan yang ada. Wiji menjadi salah satu seniman yang seharusnya menurut ukuran Marcuse tersebut. Seniman yang merasakan sendiri hidup dalam kesulitan ekonomi seperti Wiji tentu dapat dengan sempurna mewujudkan realitasnya dalam bait-bait puisi.

Seorang seniman realis lain, Pramoedya Ananta Toer menulis dalam novel tetralogi-nya mengenai kekuatan sebuah tulisan, “Tahukah kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin. Akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari…”.
Seperti sebuah alarm, puisi Wiji membuat kita terjaga. Pada 1 Mei lalu, presiden Bolivia Evo Morales menasionalisasi perusahaan minyak dan gas di negerinya. Saya tergelitik dengan komentar Wakil presiden kita Jusuf Kalla terhadap pendapat Andi Mapetahang Fatwa. Fatwa berpendapat bahwa SBY harus mencontoh langkah Morales. Dengan mengatasnamakan kepercayaan investor terhadap Indonesia, Kalla menyatakan penolakan terhadap pendapat Fatwa. Kegelisahan Wiji akan realitas Indonesia pasca kemerdekaan yang tertuang dalam puisi Tong Potong Roti (1989) meneguhkan saya bahwa memang tulisannya masih relevan untuk menggambarkan realitas kini. Kata-kata Wiji memang tak padam ditelan angin. Simak saja penggalan puisi yang diilhami oleh tembang rakyat dari Madura itu, “tong potong roti roti campur mentega belanda sudah pergi kini indonesia tong potong roti roti campur mentega belanda sudah pergi kini siapa yang punya”.

Trinanti Sulamit, Mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad

02.02

Benarkah Ada Neo-PKI?

Oleh Salahuddin Wahid

Tanggal 12 Maret 2006, 40 tahun lalu, Pak Harto membubarkan Partai Komunis Indonesia. Sehari sebelumnya, Pak Harto menerima Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Soekarno. Inti Supersemar adalah memberi perintah kepada Pak Harto untuk memulihkan keamanan, dan yang pertama dilakukan adalah membubarkan PKI.

Keputusan itu mencerminkan aspirasi masyarakat, dan pembubaran PKI adalah urutan pertama Tritura. Lalu, TAP MPRS No XXV/1966 mengukuhkan kebijakan Pak Harto, ditambah ketentuan pelarangan penyebaran ajaran komunisme.

Tuntutan pencabutan TAP MPRS itu didukung Presiden Abdurrahman Wahid. Tuntutan itu mendapat penolakan dari berbagai pihak. Mahkamah Konstitusi menentukan, Pasal 60 huruf g dari UU Pemilu Legislatif harus diubah, yang memungkinkan mantan tahanan politik (tapol) menjadi caleg. Sementara itu, sejumlah tapol mengajukan class action di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menuntut rehabilitasi terhadap jutaan anggota PKI.

Terlarang

Sekitar 10 tahun lalu, Partai Rakyat Demokratik (PRD) pernah dinyatakan sebagai partai terlarang dan pimpinannya ditahan. Kini PRD bebas melakukan kegiatan. Buku-buku beraliran kiri pun kini mudah diperoleh, termasuk yang membela PKI (1948 dan 1965). Sebaliknya, buku yang memperkuat argumentasi keterlibatan PKI (bahkan keterlibatan Bung Karno) juga beredar. Kabarnya, buku Sukarno’s File amat laris.

Dulu anak-anak mantan tapol sembunyi menghindari risiko. Kini mereka berani tampil. Buku Ribka Ciptaning, Aku Bangga Jadi Anak PKI, menumbuhkan keberanian diri keturunan para mantan tapol.

Sementara itu, sejumlah anak muda NU berkeinginan kuat untuk melakukan rekonsiliasi kultural dengan keluarga para mantan tapol. Juga ada kerja sama antara putra-putri korban G30S dan putra-putri yang terlibat G30S serta putra-putri tokoh DI/TII melalui Forum Silaturahmi Anak Bangsa.

Bagi sejumlah kalangan, keadaan itu melahirkan kekhawatiran akan bangkitnya ”Neo-PKI”. Mereka masih belum bisa melupakan pemberontakan PKI tahun 1948 dan 1965. Mereka khawatir PKI akan muncul kembali. Apakah kekhawatiran wajar atau berlebihan?

Kita menolak PKI kembali atau munculnya partai baru yang akan melakukan cara-cara yang sama dengan PKI. Jika partai semacam itu muncul, tentu akan muncul perlawanan dari kelompok lain. Pertanyaannya, apakah ada indikasi muncul dan bangkitnya partai semacam itu?

Tidak mudah menjawabnya, tergantung indikator yang dipakai. Jika warga PKI dan keturunannya memperjuangkan dihilangkannya perlakuan diskriminatif, tentu tidak ada yang salah. Jika ada yang ingin rekonsiliasi, juga tidak salah. Pemulihan hak dipilih mantan tapol oleh MK memang menimbulkan penolakan, termasuk oleh seorang anggota MK. Namun, itu adalah realitas politik seperti keberadaan TAP MPRS No XXV/1966 yang ditentang sebagian kalangan.

Saling Memaafkan

Kekhawatiran munculnya kembali PKI atau Neo-PKI yang berperangai seperti PKI dulu berdasar pengalaman 1950, saat PKI direhabilitasi setelah melakukan pemberontakan Madiun. PKI pun tumbuh cepat dan menjadi pemenang ke-4 Pemilu 1955. Setelah itu, PKI memperkuat diri, melakukan provokasi, dan berujung pada G30S tahun 1965.

Mungkinkah hal itu terulang lagi? Mungkin saja. Yang penting, kita harus menyadari, pertentangan ideologi yang diwujudkan dalam penyusunan kekuatan massa dan disiapkan untuk melakukan ”perang”, seperti terjadi di masa lalu, akan menghancurkan bangsa Indonesia. Karena itu, harus dicegah.

Kita, tanpa kecuali, telah melakukan kesalahan besar sebagai bangsa di masa lalu dan harus belajar dari kesalahan itu untuk tidak mengulanginya di masa depan. Saling curiga harus dikurangi sampai tingkat minimum. Saling percaya harus mulai ditumbuhkan. Amat ideal jika bisa dilakukan langkah saling meminta dan memberi maaf. Untuk itu, harus dimulai dengan dialog antarkedua kelompok bertentangan untuk menyampaikan apa yang diharapkan dan yang tidak diharapkan dari tiap kelompok.

Salahuddin Wahid, Ketua Badan Pembina Barisan Rakyat Sejahtera (Barasetra)

Sumber: Kompas Senin, 13 Maret 2006

01.41

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 27 TAHUN 1999

TENTANG
PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
YANG BERKAITAN DENGAN
KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Menimbang:

a. Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia antara lain meliputi hak memperoleh kepastian hukum dan persamaan kedudukan di dalam hukum, hak mengeluarkan pendapat, berserikat, dan berkumpul berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

b. Bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana terutama yang berkaitan dengan ketentuan mengenai kejahatan terhadap keamanan negara belum memberi landasan hukum yang kuat dalam usaha mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila sebagai dasar negara;

c. Bahwa paham atau ajaran Komunis/marxisme-Leninisme dalam praktek kehidupan politik dan kenegaraan menjelmakan diri dalam kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan asas-asas dan sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia yang ber-Tuhan dan beragama serta telah terbukti membahayakan kelangsungan hidup bangsa Indonesia;

d. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, b, dan c perlu membentuk Undang-undang tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme jo Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-produk Yang Berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia;

3. Undang-undang Nomor I Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan berlaku-nya Undang-undang Nomor I Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan beberapa pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan terhadap Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3080);

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN TERHADAP UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA.

Pasal I

Menambah 6 (enam) ketentuan baru di antara Pasal 107 dan Pasal 108 Bab I Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara yang dijadikan Pasal 107 a, Pasal 107 b, Pasal 107 c, Pasal 107 d, Pasal 107 e, dan Pasal 107 f yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 107 a

Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya, di-pidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

Pasal 107 b

Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 107 c

Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 107 d

Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui me-dia apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 107 e

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun :

a. barangsiapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dalam segala bentuk dan perwujudannya; atau

b. barangsiapa yang mengadakan hubungan dengan ataumemberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunis-me/Marxisme-Leninisme atau dalam segala bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah.

Pasal 107 f

Dipidana karena sabotase dengan pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 (dua puluh) tahun :

a. barangsiapa yang secara melawan hukum merusak, membuat tidak dapat dipakai, menghancurkan, atau memusnahkan instalasi negara atau militer; atau

b. barangsiapa yang secara melawan hukum menghalangi atau menggagalkan pengadaan atau distribusi bahan pokok yang menguasai hajat hidup orang banyak sesuai dengan kebijakan Pemerintah.

Pasal II
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 Mei 1999
RESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PROF. DR. H. MULADI, S.H.

01.31

Nilai lebih

Di hari2 kejayaan yg berutal di awal kapitalisme inggris, ketika kapitalis telah terorganisasi tapi kondisi sebaliknya bagi para buruh, cerita2 horor bertebaran disana sini. Ribuan anak2 diusia antara 7-12 telah dipaksa kerja sampai mati, dipaksa mengerjakan kerjanya dari matahari terbit sampai tengah malam dan kadang lebih larut lagi..kapitalis begitu lapar dan dengan selera vampirenya menghisap para buruh sampai pd jumlah kematian yg tak terhingga.

Bahkan pd kehadian yg luar biasa yg terjadi saat itu, kapitalis memperkerjakan anak2 kecil dari pkl. 05.30 sampai 20.00 tetap suatu tindakan yg legal dan dihormati. Hampir sepanjang wkt itu, tak ada peraturan apa pun, kecuali siksaan tanpa henti2 dari pekerjaan dalam bentuk kekerasan, kepanasan, dan pekerjaan2 berbahaya tanpa penerangan yg cukup, menghisap debu2 pabrik dan tambang. Anak2,laki2 dan perempuan binasa dalam jumlah amat besar, setelah kehidupan brutal yg mereka jalani karena kerja paksa. Dalam keadaan yg miskin ini para pekerja ini terluka menjadi cacat dalam jumlah dan jln yg tak terkatakan. Kehidupan keluarga dicerabut, ketika ayah, ibu dan anak di rantai dimesin2.. Satu2nya kekuatan yg bisa diandalkan utk membatasi upaya2 para kapitalis itu utk merubah setiap jam menjadi jam kerja adlh kekuatan pekerja itu sendiri yaitu dengan cara melakukan perlawanan atas ketidakseimbangan, suatu upaya yg semula dianggap mustahil; melawan keserakahan dan musuh2 sempuna yg mgkn di kawal oleh tentara dan polisi milik negara, para pekerja itu berorganisasi utk mengurangi jmlh jam kerja sehingga mencapai ukuran yg masuk akal. Tentu saja, ketegangan yg intense dan penuh intrik pasti terjadi. Tapi hasilnya, pengorganisasian ini mampu menunjukan kekuatannya thdp pemilik modal(kapitalis itu sendiri), yg akhirnya terpaksa memperpendek jam kerja. ( Para pemilik modal) Sikantung uang dan rekan2 sejawatnya terpaksa menelan pil pahit dan menerima kenyataan, semakin lama semakin mengurut dada melihat bgm jam kerja berubah mjd 10 jam sehari, lalu pd perkembangan selanjutnya menjadi 8 jam. Para kapitalis merasa terganggu dengan kerugian ini, dan mencoba bertahan dari pengurangan wkt krj ini dgn segala upayanya- hingga hari ini, kebutuhan akan pasar yg senantiasa meluas utk barang2 hasilnya mengejar kapitalis hingga keseluruh muka bumi, ia harus bersarang dimana-mana, bertempat dimana-mana, mengadakan hubungan dimana-mana dan mereka masih terus menoleh, mencari ke tempt2 baru mencari pekerja2 yg tidak terorganisasi dgn baik sehingga mereka tetap akan memperlakukan wkt krj sepanjang 16 atau 18 jam dalam sehari.

Sementara itu ada medan peperangan lain dlm pertempuran melawan nilai lebih itu tadi. Katakanlah, sebagai cthnya, para pekerja dipaksa bekerja lebih cepat. Kerja lebih cepat, para buruh yg tersiksa itu kini dipaksa utk memproduksi sst dlm 3 jam, ketika sebenarnya wkt yg dibutuhkan adlh 4 jam. Ketika sblmnya 4 jam adlh wkt kerja sepadan yg dibutuhkan, kini pekerjaan itu harus diselesaikan dlm 3 jam. Bahkan tanpa memperpanjang wkt krj, pemilik modal ttp saja dpt menghasilkan nilai lbh extra. Satu jam extra dari kelebihan krj itu ditambahkan dan setiap jam dari kelebihan krj skrg sebanding dgn 4/3 dari satu jam krj sebelum krj dipercepat. Jika kita mengasumsikan bhw krj sblmnya adalah rata2 sosial, maka krj yg dipercepat adlh diatas rata2 intensitas, yg menghasilkan lbh byk lg jam krj rata2 dr sblmnya.

Tetapi lagi-lagi para pekerja harus bisa mencegah program kapitalis yg mereka namakan “Mempercepat kerja” itu dpt dicegah sblm mencapai tingkat pemerasan baru, hny dgn aksi kaum buruh yg terorganisasi utk kepentingannya sendiri, sebagaimana pelajaran yg kita ambil dr kasus sebelumnya katika pekerja mencapai kesepakatan 8 jam kerja memperjelas hal ini. Sikantung uang, si kotak tunai, dan sejawat2 haus darahnya yg lain akan terus mencoba membuat krj semakin cpt, lebih cpt dan lbh cpt lg- misalnya dgn cara mempercepat krj mesin sehingga para pekerja mengikuti alur krj mesin sampai kelelahan. Atau mereka mangaplikasikan metode “scientific management” utk manghasilkan ahli-ahli effisinsi dgn penggunaan stopwatch utk mengurangi gerakan2 yg tidak perlu dan meningkatkan produktifitas lbh tinggi lg, atau manajemen psikologi akan mengggunakan; “warna apa yg akan kita gunakan utk mengecat pabrik kita? musik apa yg mesti kita mainkan, yg dapat memaksa pekerja bekerja lbh keras?” atau kekuatan langsung yg akan dipakai dgn menempatkan mandor2 dan supervisor yg galak dan seram-seram…!!

Selanjutnya, dikarenakan persaingan tiada batas dan tidak sehat didalam tubuh kapitalis itu sendiri, bebrapa gololangan dari kelas yg berkuasa tercampak kedalam perburuhan, atau setidaknya terancam didalam syarat-syarat mereka utk hidup. Hal ini juga memberikan pd kaum buruh anasir-anasir kesadran dan kemajuan segar. Akhirnya dalam waktu ketika perjuangan kelas mendekati saat yg menentukan, proses yg berlaku didalam kelas yg berkuasa pd hakekatnya didalam seluruh masyarakat lama, seutuhnya mencapai yg demikian keras dan tegasnya. Sehingga segolongan kecil dari kelas yg berkuasa memutuskan hubungannya dan menyatukan diri dgn dengan kelas yg revolusioner yaitu kaum buruh. Dari semua kelas yg sekarang berdiri berhadap-hadapan dgn pemilik modal, hanya kaum buruh lah yg benar-benar revolusioner, kelas-kelas lainnya melapuk dan akhirnya lenyap ditelan industri besar, hanya kaum buruh yg menjadi hasilnya yg istimewa dan hakiki.


“Kaum buruh di seluruh dunia, bersatulah”