22.48

Gejolak Kenaikan Harga masyarakat adat menjerit

Gejolak Kenaikan Harga masyarakat adat menjerit
Oleh : Jalung

Sudah tidak bisa disangkal, pendarahan ekonomi akibat gejolak harga, ditambah dengan ketidak stabilan pasar finansial dan belum pulihnya sector riil, menghasilkan keadaan yang sangat rumit dan tidak menguntungkan bagi rakyat Indonesia. Selain defisit APBN yang kian melebar dan melemahnya kurs rupiah yang mengancam kestabilan fiskal dan moneter, Indonesia juga dihadapkan pada kemungkinan inflasi tinggi dan semakin menurunnya daya beli masyarakat. Kestabilan makroekonomi yang sebelumnya dianggap sebagai prestasi, nyatanya hanyalah ilusi yang menyesatkan bagi rakyat indonesia.

Di tengah keadaan seperti itu, masalah korupsi dan penyuapan yang melibatkan beberapa pejabat negara, turut memperburuk kredibilitas otoritas moneter Indonesia. Di luar itu, belum rampungnya pembahasan mengenai perubahan APBN 2008 akibat tarik-menarik di dalam jajaran menteri mengenai penghematan anggaran, hal ini menambah bukti bahwasanya negara sebagai kompardor impralisme yang mana memunculkan keraguan besar rakyat terhadap kapasitas pemerintah sebagai pemegang otoritas fiskal di dalam negeri.

Pantas pantas saja bila keadaan ini memicu kegelisahan dan perlawanan dari kalangan masyarakat keseluruhan. Yang mana masyarakat dipaksa mengubah pola konsumsi dari minyak ke gas untuk menghemat cadangan BBM, kemudian masyarakat dicekam oleh kekhawatiran fluktuasi harga yang terjadi hampir setiap hari di seluruh negeri. Ancaman kelangkaan juga masih kerap terjadi. Di beberapa tempat misalnya, antrian penduduk untuk mendapatkan minyak tanah sudah berlangsung berminggu-minggu. Masyarakat sampai-sampai terpaksa beralih ke kayu bakar untuk dapat menanak nasi atau memasak sayuran-sayuran lain. Di daerah lain seperti Jakarta, dll pada saat masyarakat sudah mulai beralih menggunakan gas, justru pasokan gas menghilang di pasaran.

Kemudian ini tentunya menjadi pertanyaan fundamental apa yang harus dilakukan rejim SBY-JK selama ini dalam mengevaluasi garis kebijakan ekonomi yang selama ini ditempuh Indonesia. Terus mengapa garis ekonomi yang ditempuh selama ini gagal mengorganisasikan pemenuhan kebutuhan rakyat secara efisien, adil, dan merata?, dan yang mana keadaan ekonomi hari ini khususnya sejak era Soeharto. Dimana dimulai dari kebijakan-kebijakan pembangunan bergantung pada utang sejak pendirian Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) dan industri subtitusi-impor pada awal 1970-an, kemudian beralih menjadi industri orientasi ekspor pada awal 1980-an, lantas masuk ke kebijakan deregulasi, debirokratisasi (privatisasi), dan liberalisasi sejak paruh kedua dekade 1980-an, liberalisasi perdagangan penggabungan dengan APEC dan WTO tahun 1994, hingga penerapan kebijakan kurs mata-uang mengambang yang dimulai sejak penandatanganan Letter of Intent (LoI) antara Indonesia dengan IMF pada November 1997.

Rangkaian kebijakan itu secara bertahap menceburkan masyarakat Indonesia umumnya pada gelombang krisis ekonomi yang terkandung dalam sistem kapitalisme dunia (imperialisme). Paket kebijakan neoliberal; deregulasi, debirokratisasi atau privatisasi, dan liberalisasi; yang dicanangkan melalui Paket Oktober 1988 menjadi fase perampokkan berikutnya yang memiliki jangkauan yang lebih luas. Melalui paket itu, konsentrasi produksi semakin memusat di tangan raksasa-raksasa ekonomi yang memainkan peranan monopoli. Melalui paket ini, perampokkan kekayaan alam dan eksploitasi tenaga kerja menjadi semakin terlegitimasi.

Perampokan atas kekayaan alam dan hasil kerja rakyat Indonesia semakin berlipat ketika Indonesia menandatangani kesepakatan perdagangan dalam APEC dan WTO. Rakyat semakin tidak kuasa menahan serbuan barang-barang ‘sampah’ akibat liberalisasi serta dipaksa bekerja lebih keras dengan hasil yang jauh lebih sedikit akibat fleksibilisasi perburuhan. Sementara pertanian semakin menjadi sektor yang tidak menarik karena jatuhnya harga jual produk pertanian kian tidak sebanding dengan biaya produksi pertanian yang justru cenderung melangit.

Komplikasi dalam tubuh perekonomian Indonesia semakin bertambah ketika pemerintah mulai berancang-ancang melakukan liberalisasi keuangan, melalui pembukaan lembaga pasar modal. Banjir modal asing yang masuk pada paruh pertama dekade 1990-an ternyata menghadirkan ancaman yang sangat besar pada paruh kedua dekade tersebut. Tekanan pada nilai rupiah menjadi pemicu kebangkrutan ekonomi komprador-komprador besar yang bermain di bursa saham dan mata uang serta berakibat pada terjadinya krisis ekonomi yang kian memburuk hingga saat ini.

Kesemua hal ini memerupakan rentetan panjang beban khususnya masyarakat adat sehingga mengakibatkan masyarakat adat harus membating tulang dan berkerja keras mengunakan otot mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Yang mana kita tau masyarakat adat merupakan cerminan masyarakat yang hidup dengan pola kehidupan yang tergantung dengan alam dan hutan mereka serta hidup dalam kesederhanan yang menjunjung tinggi nilai kesosialan dan kerelgiusan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan melakukan berbagai aktifitas dari berladang, berburu, berkebun, berternak, meramu, dll yang kesemuanya didapat dan dihasilkan serta diolahkan dari hutan dan alam mereka. Jika kondisi seperti ini yang terjadi kemudian sekarang menjadi pertanyaan bagi kita, akan kemana masyarakat adat kedepan dan kemana perlindungan negara terhadap masyarakat adat atau hal ini merupakan paket tujuan dari negara sebagai kaki tangan imprealisme yang mana menjadi kan masyarakat adat sebagai masyarakat terasing dan termarjinalkan yang kemudian akan dijadikan tenaga buruh murah tampa jaminan dan perlidungan demi untuk memenuhi kebutuhan industri-industri kapitalis.

Maka dari itu kondisi ini menjadi memontum untuk meraih tujuan kita bersama memeperjuangkan dan merebut kedaulatan sejati masyarakat adat agar tercipta masyarakat adat yang berdaulat secara politik mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya.

Hidup Masyarakat Adat !!!!!!!!!!!!
Gelorakan Terus Perjuangan Masyarakat adat !!!!!!!!!!!