21.15

Repleksi Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Repleksi Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Bagi Masyarakat Adat, Kaum Tani, dan Masyarakat Pedesaan Pada Umumnya, Dalam Merebut Kedaulatan atas Tanah dan Kekayan Alam

oleh : jalung (j47ung_kayan@yahoo.com)

 Sejarah perjuangan rakyat Indonesia tidak terlepas dari sejarah panjang penindasan, penghisapan dan perampasan tanah masyarakat adat, kaum tani, dan masyarakat pedesaan umumnya di Indonesia dengan adanya komersialisasi pertanian pada jaman penjajahan yang dilakukan oleh bangsa – bangsa Eropa dari mulai Portugis, Spanyol melalui Sistim Perkebunan Skala Besar yang mana Puncaknya Belanda menjadi penguasa perdagangan hasil bumi di Nusantara. 

 Mula-mulanya Pada tahun 1602 melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) maskapai perdagangan yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda menancapkan kukunya di bumi Nusantara dengan memonopoli komoditas hasil pertanian. VOC yang awalnya cuma menguasai perdagangan hasil pertanian kemudian mulai bergeser peranannya dengan melakukan penanaman komoditas. Priayangan stelsel dengan mewajibkan rakyat menanam kopi yang di awasi oleh penguasa lokal atau raja-raja pada saat itu. VOC juga mengunakan sistem penyewaan tanah dan sistem partikelir dimana pengusaha-pengusah dapat menarik hasil bumi dan jasa penduduk pada tanah yang disewakan oleh VOC.

Kemudian Pada tahun 1812-1916 Pemerintah Hindia Belanda melaui Gubernur Jendral Rafless dengan menerapkan sistem pajak yang merupakan bagian integral dari gagasan pembaharuan sistem pertanahan di wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Sistem ini didasari agar ada kepastian hukum dalam menguasai tanah di wilayah Hindia Belanda. Sistem ini sangat singkat diterapkan karena beberapa kendala terutama sulitnya masyarakat saat itu dalam memperoleh uang dan tindakan penyelewengan oleh pejabat yang mengurusnya sering terjadi. Sistem ini kemudian merupakan tonggak awal mulai dikenalnya sistem kepemilikan tanah individu atau perseorangan yang menajdia awal munculnya sistim baru yang diterapkan oleh Gubernur Jendral Van Den Bosch dengan sebutan Sistem Tanam Paksa.

Sistem Tanam Paksa ini menuai keberhasilan kepada Pemerintah Hindia Belanda dengan keberhasilan sebesar 841 juta gulden. Jika kita telusuri pelaksana sistim ini memiliki dua makna yang dalam yakni Wajib dan Paksa, yang mana Paksa mengandung maksud memaksa kaum tani untuk menyerahkan tanah kepada Pemerintah Hindia Belanda, sedangkan Wajib mengandung maksud agar petani menanam jenis tanaman perkebunan yang laku dipasaran Internasional (tebu, kopi, indigo, porsela dll) serta menyerahkan tenaganya untuk kerja diperkebunan. Hal ini mengakibatkan rakyat mengalami kerisis yang sangat tinggi di mana tanaman-tanamnya banyak terserang wabah penyakit terus kelaparan. 

Keberhasilan Sistem Tanam Paksa ini pun mengundang pihak swasta untuk ikut terlibat dalam usaha dibidang perkebunan. Alhasilnya dikeluarkannya Undang – Undang Pertanahan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1870 (Agraris Wetch). Undang – Undang ini mendorong pihak swasta untuk ikut secara langsung terlibat dalam usaha Perkebunan diwilayah kekuasaan Hindia Belanda dengan diaturnya hak sewa, hak erfprach, hak egindom dan lainnya. Untuk penyediaan tenaga kerja yang murah yang didatangkan dari jawa yang dikenal dengan sebutan kuli kontrak.

Revolusi Kemerdekaan 1945 telah melahirkan perkebunan – perkebunan peninggalan penjajah dibeberpa tempat direbut dan dikembalikan kepada kaum tani. Namun demikian, 21 desember 1949 KMB (Konferensi Meja Bundar) menghasilkan kekalahan indonesia yang mana hakekatat kekalahan kita sebenarnya adalah kebun yang telah dikuasi kaum tani dikembalikan kemudian kembali lagi kepada perusahaan – perusaan asing maupun perusahaan negara belanda. Namun pada saat itu presiden republik Indonesia pertama Soekarno dengan aksi sepihanya melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan asing, dan melahirkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960, Yang mana tujuanya untuk mengatasi dualisme hukum soal agraria di Indonesia yakni Hukum yang diwarisi oleh Kolonial Belanda dan Hukum warisan sistem usang feodalisme, dengan filosofi dasarnya tanah untuk penggarap ini merupakan angin segar bagi kaum tani, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan pada umumnya. Namun Sayangnya, belum sukses pelaksaanaan UUPA No. 5 Th 1960 Presiden Soekarno jatuh melalui skema politik Jendral Besar Soeharto dengan kudeta nya yang dilakukan melalui konspirasi negara penjajah pimpinan AS dan Inggris.

Kemudian Semenjak Massa presiden Soeharto ini lah perkebunan mulai dimunculkan kembali sistem perkebunan yang kemudian mengunakan tiga prinsip stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Hal ini kemudian melahirkan UUPMA yang sangat pro modal yang mana bertentangan betul dengan filosopi dasar UUPA 60. 

Pada masa ini pula kemudian perkebunan skala besar kemudian menjadi massif, mulai dari Perkebunan Kelapa Sawit yang mana Salah satu konsep yang diterapkan adalah Pola Sistim PIR dimana ada konsep perkebunan inti dan plasma. Yang mana Kewajiban inti adalah menyediakan sarana produksi kebun sementara petani di wajibkan menyerahkan tanah, tenaga kerja dan harus menjual hasilnya ke perusahaan inti. Konsep ini kemudian di integrasikan dengan program tranmigarsi dalam upaya pemenuhan tenaga kerja di perkebunan. Dan Pada tahap ini lah mulai di kenal istilah petani plasma yaitu petani yang masuk dalam skema perusahaan. Celakanya kemudian perkebunan kelapa sawit ini menjadi jargon mensejahterakan rakyat serta kemudian sawit ini dijadikan komoditi primadona oleh rejim hari ini.

Pada masa pemerintahan megawati menerbitakan UU Perkebunan yang juga sarat kepentingan pemodal. Sementara Rejim pemerintahan SBY-Kalla lebih menerapkan konsep Revitalisasi Perkebunan yang mana Sama sekali juga tidak berpengaruh apapun terhadap rakyat karena semangatnya Juga masih tetap pada konsep lama dimana masih pro-Pemodal, kesemua itu menambah rentetan panjang penderitaan masyarakat adat, kaum tani dan masyarakat pedesaan umumnya.

Sehingga sejarah diatas ini merupakan bukti nyata yang tidak bisa dipungkiri bahwasanya masyarakat adat, kaum tani dan masyarakat pedesaan umumnya masih dijajah kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam oleh negara dengan rejimnya, melaui legitimasi undang-udang terutama dimulai dari jaman rejim Soeharto Yang mana muncul pertamakali yaitu UUPM No. 25 Th. 2007, kemudian muncul lagi PP 77 Th. 2007, serta produk UU sektoral seperti UU Perkebunan No. 18 Th. 2004, UU Kehutanan No. 41 Th. 1999 dan juga di bidang Pertambangan, Energi, Perindustrian (Zona Ekonomi Bebas) yang sarat kepentinggan yang tidak berpihak pada rakyat. Hal ini lah medorong terjadinya konflik, peselisihan, pertikayaan dan perlawanan rakyat serta memunculkan kekroposan rasa nasionalisme. 

Kasus perkasus terus terjadi di seluruh indonesia mulai dari Marules-Banyuwangi, Pagak-Malang, Bojonegoro, Wonosobo, Banyumas, Karangsewu-Kulon Progo Jogjakarta, Karangsari-Garut, Tajur Halang-Bogor, Rumpin-Bogor, Deli Serdang-Sumut, hingga Kalimantan Barat seperti Kasus Masyarakat Teluk Keramat, Sejangkung dan Galing Kab. Sambas berhadapan dngan PT. SAM (yang mengantongi Ijin Untuk Perkebunan Kelapa Sawit), kemudian di Jawai Kab. Sambas berhadapan dengan PT. BMH (yang mengantongi Ijin Untuk Hutan Tanam Industri), terus lagi Masalah Ajudifikasi di Sui Itik, Sui Rengas Kec. Kakap yang menimbulkan tumpang tindihnya bukti kepemilikan antara Petani Penggarap dengan Pemegang Sertifikat yang berakibatkan konflik, terus lagi kasus penagkapan 3 dan 1 orang diproses dipengadilan negri sanggau karna berhadapan dengan PT. MAS (pemegang ijin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit)– Kab. Sanggau, di melawi masyarakat adat kemudian tidak bisa mengola tanahnya yang telah diwariskan secara turun temurun serta malah dipenjarakan karna melangar kebijakan kehutana yaitu kebijakan tentang Taman Nasional, Di Kapuas Hulu tepatnya di masyarakat Dusun Tapang Mada dan Lubuk Besar, Desa Sungai Buaya, Kec. Kayan Hilir serta Desa Riam Panjang, Kec. Kayan Hulu masyarakat harus dipukuli dan dipenjarakan karna mempertahan kan tanahnya yang diambil alih oleh PT. KARYA REKANAN BINA BERSAMA (KRBB) (Pemengang Ijin HPHH), masyarakat diDAS mendalam juga berhadapan dengan PT.Toras Banua Sukses (pemengang ijin IUPHH), dan hampir diseluruh kabupaten di kalbar yang mana tidak ada titik temu penyelesayan. Oleh sebab itu sudah selayaknya masyarakat adat, kaum tani dan masyarakat pedesaan lainya merapatkan barisan, galang persatuan dan perhebat perjuangan dalam rangka mendorong terlaksananya secara murni dan konsukwen UUPA No. 5 Th. 1960, UUPBH, PP No. 224 Th. 1961, TAP MPR No. 9 Th. 1999 sebagai wujuda dari pejuang atas kedaulatan terhadap tanah yang mejadi dasar kehidupan masyarakat adat, kaum tani dan masyarakat pedesaan umumnya, sehingga tercipta tatanan masyarakat yang berdaulat, mandiri dan bermartabat.

08.08

PERNYATAAN SIKAP Persatuan Rakyat Kalimantan Barat

PERNYATAAN SIKAP
Persatuan Rakyat Kalimantan Barat
(ALIANSI GERAKAN REFORMA AGRARIA (AGRA), SERIKAT TANI SERUMPUN DAMAI (STSD), SERIKAT PETANI KELAPA SAWIT (SPKS), UP Link, Lembaga GEMAWAN, WALHI Kalbar, FMN, AMAN KalBar)
Menuju Peringatan Revolusi Kemerdekaan 1945, 17 Agustus 2008 dan Hari Tani Nasional 24 September 2008
STOP KEKERASAN DAN HENTIKAN PERAMPASAN TANAH – TANAH RAKYAT UNTUK PERTANIAN SKALA BESAR, PERKEBUNANA KELAPA SAWIT SKALA BESAR, USAHA KEHUTANAN DAN PERTAMBANGAN
Dan
LAKSANAKAN LAND REFORM SEJATI -TANAH UNTUK RAKYAT; AKUI, SYAHKAN TANAH – TANAH YANG TELAH DIKUASAI, DIKELOLA DAN DIMANFAATKAN RAKYAT SECARA TURUN TEMURUN OLEH RAKYAT

Tanah dan Kekayaan Alam merupakan Sumber Hidup dan Penghidupan Ekonomi bagi Kaum Tani, Masyarakat Adat dan Masyarakat Pedesaan Pada Umumnya. Tidak hanya itu, tumbuh dan berkembangnya kebudayaan yang berlandas pada kearifan, kebijaksanaan dan keseimbangan, juga seni budaya yang tumbuh berkembang dimasyarakat kesemuanya itu tidak bisa dilepaskan hasil dari relasi manusia dengan Tanah dan Kekayaan Alamnya. Jadi kami tegaskan kembali, bahwa bagi Kaum Tani, Masyarakat Adat dan Masyarakat Pedesaan Pada Umumnya menjadikan Tanah dan Kekayaan Alam sebagai pondasi bagi kehidupan dan kemajuannya serta secara umum juga bagi kemajuan Bangsa Indonesia.

Namun demikian, karena karekter Negara Indonesia yang anti rakyat maka perampokan dan penjarahan terhadap Tanah dan Kekayaan Alam Rakyat terjadi secara kasar, terbuka dan membabi buta. Kenyataan ini tidak bisa dibantah oleh siapapun karena sangat jelas terpampang didalam berbagai produk hukum yang disahkan oleh Pengusa Negara seperti UUPM No. 25 Th. 2007, PP 77 Th. 2007, serta UU sektoral seperti UU Perkebunan No. 18 Th. 2004, UU Kehutanan No. 41 Th. 1999 dan juga di bidang Pertambangan, Energi, Perindustrian (Zona Ekonomi Bebas) dan masih banyak lainnya serta peraturan – peraturan sampai ketingkat daerah yang semua itu mengabdi pada kepentingan kapitalis besar monopoli, tuan tanah jahat dan juga birokrat korup.

Kalimantan Barat juga tidak mau kalah berlomba Pemerintahnya (Tingkat Propinsi dan Kabupaten) membabi buta melelang tanah dan kekayaan alam yang jelas – jelas disitu ada masyarakat yang mengusai dan mengelolanya, dengan atas nama mendatangkan investasi melalui omong kosong besar untuk kesejahteraan rakyat. Tanah yang dilelang oleh Pemerintah Kabupaten dan Propinsi untuk Perkebunan Kelapa Sawit hingga bulan Agustus 2008 sudah mencapai 4,6 Juta Ha dengan bentuk berupa 290 Izin Lokasi dan Izin Usaha Perkebunan (Pernyataan Kepala Dinas Perkebunan Kalbar Idwar Hanis sumber Kompas Rabu 6 Agustus 2008. Jika dibandingkan dengan data penelitian yang dilakukan bersama oleh Sawit Watch, Walhi Kalbar dan ID pada tahun 2007 ijin yang diterbitkan untuk Perkebunan Kelapa Sawit seluas 3.575.759 Ha, maka akan ditemukan kelipatan sebesar 128,64 % ( 1.024.241 Ha).
Belum lagi, untuk melapangkan agendanya agar lebih mudah mendapatkan tanah – tanah rakyat berbagai tipu muslihat dilakukan melalui proyek yang diluncurkan. Salah satunya proyek ajudifikasi yang dibiayai oleh Bank Dunia (WB) sebagai kelanjutan dari proyek serupa, dengan tujuan menggantikan bukti penguasaan rakyat yang tidak memiliki nilai (harga) dengan bukti baru yang meiliki nilai (harga). Karena bukti berupa sertifikat tersebut lebih berharga dari nilai tanahnya itu sendiri, maka tanahnya akan mudah berpindah kepenguasaan. Sebagaimana kejadian yang menimpa masyarakat di Desa Sui Itik Kec. Kakap, masyarakat yang sudah turun – temurun menggarap tanah tersebut tiba – tiba bukti (sertifat) kepunyaannya tanpa sepengetahuannya sudah berada di Bank menjadi agunan. Kejadian lebih aneh lagi terjadi di Desa Sui Rengas Kec. Kakap, tanah – tanah yang sudah puluhan tahun diagarapnya tiba – tiba yang mempunyai sertifikat orang lain bahkan sudah berpindah tangan sampai dua tiga orang, celakanya yang memiliki sertifikat sekarang orang – orang yang tidak terlalu berkepentingan terhadap tanah tersebut seperti politisi, birokrat, kontraktor dan akademisi. Penyelewengan lain terhadap proyek tersebut juga terjadi, dimana proyek yang seharusnya gratis namun oleh aparat birokrasi yang bertanggung jawab malah ditarik bayaran, serta sertifikat tidak langsung diberikan namun ditahan oleh aparat tersebut.

Benarkah mendatangkan Kesejahteraan bagi masyarakat serta infrastruktur wilayahnya terbangun? Ternyata tidak, karena yang terjadi justru menuai konflik baik antara masyarakat dengan perusahaan maupun diantara masyarakat, hampir setiap hari media kita menyuguhi Konflik atas soal ini dari Sambas, Singkawang, Bengkayang, Kab. Pontianak, Kubu Raya, Landak, Sanggau, Sekadau, Sintang, Melawi sampai Ke Kab. Kapuas Hulu. Konflik diperkeras dengan adanya Teror, Intimidasi dan Kekerasan yang menimpa Kaum Tani Masyarakat Adat serta Masyarakat Pedesaan pada Umumnya seperti pemukulan terhadap Ketua STSD Sambas, Penembakan terhadap Masyarakat di Kab. Melawai dan lainnya serta yang pasti dalam posisi dipersalahkan pasti rakyat seperti pemenjaraan terhadap 4 Petani Kelapa Sawit di Sanggau. Serta, strategi Perluasan (Ekspansi) dan Skala Besar (Monopoli) dalam membangun Perkebunan Kelapa Sawit tidak dibarengi dengan kemampuan Kapasitas Pabrik Pengolahan hasil Tandan Buah Segar Sawit yang tidak seimbang dampaknya pada hasil dari TBS petani tidak tertampung oleh Pabrik, seperti yang terjadi di Belitang Kab. Sekadau pernah sampai 6 bulan TBS – nya tidak dipanen (SP dengan alasan Perusahaan (Lyman Group) sudah kelebihan buah sehingga tidak bisa menampung buah dari Petani.

Produktifitas membutuhkan ketrampilan dan perawatan yang intensif dalam menjalankan usaha Pertanian. Karena asupan dari luar berupa pupuk dan obat – obatan yang menyebabkan tanah dan tanaman menjadi tergantung terhadap hal tersebut, maka walaupun hal tersebut tidak baik untuk lingkungan namun kebutuhan akan Pupuk dan Obat tidak bisa dihindari lagi. Namun demikian, saat ini sangat susah sekali untuk mendapatkan Pupuk dan Obat – Obatan yang dibutuhkan oleh Kaum Tani, kalaupun ada harganya sangat mahal, apalagi untuk mendapatkan Pupuk yang bersubsidi akan sangat susah sekali.

Berdasarkan keadaan yang melanda Kaum Tani, Masyarakat Adat serta Masyarakat Pedesaan pada umumnya, agar terjadi perubahan atas situasi hari ini menuju kehidupan yang lebih baik maka kami menuntut:
1. Hentikan Pemberian Ijin yang akan dijadikan legitimasi untuk merampas tanah – tanah yang dikuasai, dimanfaatkan dan dikelola oleh Kaum Tani, Masyarakat Adat dan Masyarakat Pedesaan Pada Umumnya
2. Batalkan Ijin Usaha Perkebunan, Ijin Usaha Kehutanan yang jelas – jelas Kaum Tani, Masyarakat Adat dan Masyarakat Pedesaan seperti Penolakan Masyarakat Teluk Keramat, Sejangkung dan Galing Kab. Sambas terhadap PT. SAM (Ijin Untuk Perkebunan Kelapa Sawit), Penolakan Masyarakat Teluk Keramat, Jawai Kab. Sambas terhadap PT. BMH (Ijin Untuk Hutan Tanam Industri), serta Penolakan terhadap Perusahaan – Perusahaan yang mendapatkan Konsesi di tempat – tempat lain yang dilakukan oleh Kaum Tani, Masyarakat Adat dan Masyarakat Pedesaan Pada Umumnya diwilayah Kalimantan Barat
3. Evaluasi terhadap seluruh Ijin Usaha Perkebunan, Ijin Usaha Kehutanan, Pertambangan dan Ijin Usaha Lainnya yang menyebabkan hilangnya Tanah – Tanah Kaum Tani, Masyarakat Adat dan Masyarakat Pedesaan Pada Umumnya serta Konsultasikan secara terbuka, demokratis dan informasi yang seimbang terhadap Ijin Usaha tersebut.
4. Akui dan Sahkan Tanah - Tanah Kaum Tani, Masyarakat Adat dan Masyarakat Pedesaan Pada Umumnya dengan Prinsip Keadilan seperti Masalah Ajudifikasi di Sui Itik, Sui Rengas Kec. Kakap yang menimbulkan tumpang tindihnya bukti kepemilikan antara Petani Penggarap dengan Pemegang Sertifikat, Penipuan terhadap Kaum Tani
5. Serahkan Tanah – Tanah yang ditelantarkan oleh Perusahaan Pemegang Hak Konsesi kepada Kaum Tani, Masyarakat Adat dan Masyarakat Pedesaan Pada Umumnya dengan Prinsip Keadilan
6. Pembagian ulang kebun – kebun inti yang sangat luas dan dimonopoli oleh perusahaan kepada kaum tani, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan pada umumnya yang berhak mendapatkannya.
7. Tingkatkan produktivitas pertanian rakyat dengan jaminan akan pupuk bersubsidi yang menjangkau kebutuhan usaha pertanian rakyat, Ketersediaan akan bibit yang memadai serta bimbingan tekhnis untuk meningkatkan kapasitas ketrampilan rakyat dan kepastian pasar dan jaminan harga atas hasil produksi petani .
8. Tingkatkan jaminan kerja dan kesejahteraan bagi buruh – buruh yang bekerja dibidang Perkebunan, Kehutanan dan sektor lainnya.
9. Hentikan segala bentuk intimidasi, Teror dan kekerasan yang ditujukan kepada Kaum Tani, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan pada umumnya yang sedang berjuang menuntut dan mempertahankan hak – hak demokratisnya seperti kasus petani kelapa sawit di Kec. Bonti Vs. PT. MAS – Kab. Sanggau yang hari ini 3 orang masih mendekam dipenjara, Petani Kelapa Sawit di Kec. Kembayan Vs. PT. PN XIII yang hari ini 1 orang sedang diproses di Pengadilan Negeri Sanggau, serta kejadian – kejadian tindak intimidasi dan kekerasaan di Kab. Sambas, Ketapang, Bengkayang, Sanggau, Sekadau, Melawi, Sintang, Kapuas Hulu dan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia yang jelas – jelas mencederai demokrasi, rasa keamanan dan keadilan rakyat.
10. Jalankan secara murni dan konsukwen UUPA No. 5 Th. 1960, UUPBH, PP No. 224 Th. 1961, TAP MPR No. 9 Th. 1999 serta batalkan seluruh aturan yang menyebabkan terampasnya tanah rakyat seperti UUPM No. 25 Th. 2007, PP 77 Th. 2007, serta UU sektoral seperti UU Perkebunan No. 18 Th. 2004, UU Kehutanan No. 41 Th. 1999 dan juga di bidang Pertambangan, Energi, Perindustrian (Zona Ekonomi Bebas).

21.34

Persrilis Aksi Sambas


 AKSI KITA UNTUK MEMPERTAHANKAN TANAH YANG MERUPAKAN SUMBER HIDUP DAN PENGHIDUPAN UMAT MANUSIA
Tanah dan Kekayaan Alam sebagai sasaran (alat produksi) dalam menghasilkan sesuatu yang berguna untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup diri dan keluarganya serta umat manusia pada umumnya. Dengan kata lain, Tanah dan Kekayaan Alam menduduki tempat yang sangat penting bagi proses produksi Kaum Tani. Hasil produksi dari kerja Kaum Tani berupa segala hal untuk memenuhi kebutuhan pokok umat manusia yakni bahan makanan yang tiap hari kita makan sehingga kita tetap bisa bertahan hidup sampai sekarang. Tanpa Kaum Tani dan Tanahnya maka kita semua tidak bisa makan.
MEMPERTAHANKAN TANAH BUKAN SETUJU PADA KETERBELAKANGAN TAPI JUSTRU DENGAN TANAH YANG KITA KUASAI AKAN MENJAMIN KEMAJUAN KITA
Sayangnya di Kabupaten Sambas khususnya dan umumnya wilayah Kalimantan Barat, Kaum Tani tidak lagi bebas, nyaman mengembangkan hidupnya dengan menjadikan tanah sebagai dasarnya. Padahal jika Pemerintah dapat berpikir jernis maka memajukan masyarakat dapat dilakukan dengan potensi yang dimiliki sebagai modal dasarnya. Yakni, Penguasaan atas tanah yang sudah turun temurun oleh Kaum Tani dengan berbagai macam jenis tanaman kebun seperti Karet, Durian, Kopi, Petai, Cempedak, Jengkol dan tanaman lainnya; ladang persawahan tadah hujan; Pemukiman dan fasilitas sosial lainnya, dan; Hutan yang memiliki fungsi lingkungan, yang juga dimanfaatkan oleh masyarakat tanpa mengurangi status kawasan tersebut. Ketidak bebasan dan ketidaknyamanan diakibatkan oleh ancaman akan hilangnya Pengusaan atas Tanah dan Kekayaan Alam kaum tani dari perampasan yang dilakukan oleh Perusahaan Raksasa yang bergerak dibidang agraria dengan mendapatkan hak istemewa dari Pemerintahan yang sedang berkuasa. Ancam itu sekarang nyata berwujud berbagai macam peraturan dan ijin usaha yang diberikan kepada Perusahaan Raksasa tersebut untuk membangun Perkebunan Skala Besar Kelapa Sawit, Hutan Tanam Industri, Pertambangan dan lainnya.
HANYA DENGAN KEKUATAN KAUM TANI TANAH KITA TETAP KITA KUASAI, KELOLA DAN MANFAATKAN
Kenyataan seperti ini maka dapat disimpulkan tidak ada yang kita bisa percayai kecuali kekutan kolektif kita sebagai Kaum Tani dalam mempertahankan Tanah dan Kekayaan Alam untuk hidup hari ini dan akan dating. Oleh karenanya, bagi Kaum Tani yang sudah menjadi anggota Serikat Tani Serumpun Damai (STSD) untuk tetap teguh mertahankan Tanah dan Kekayaan Alam dari ancaman siapapun dengan memperluas pengetahuan, mempertinggi ketrampilan dan kompak untuk membesarkan STSD sebagai alat juang Kaum Tani di Kabupaten Sambas. Sedangkan, bagi Kaum Tani yang belum menjadi anggota kami ajak dan serukan untuk berbondong – bondong bergabung ke dalam STSD untuk semakin memperkuat posisi Kaum Tani dalam mempertahankan Tanah sebagai hak dasar dan mengembangkan diri.
APA YANG KITA DALAM AKSI MASSA SERIKAT TANI SERUMPUN DAMAI

Dengan adanya ancaman yang luar biasa terhadap hak dasarnya yakni hilangnya Tanah dan Kekayaan Alam, maka Serikat Tani Serumpun Damai (STSD) Kabupaten Sambas menuntut:
1. Penataan atas Penguasaan, Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah dan Kekayaan Alam dengan melegalisasikan Tanah dan Kekayaan Alam yang sudah secara turun- temurun dikuasai, dikelola dan dimanfaat oleh Masyarakat; mengkonversikan tanah eks – wilayah hutan produksi yang saat ini berupa lahan kosong, padang semak belukar, pemukiman dan lainnya diberikan kepada Masyarakat.
2. Cabut Surat Keputusan Bupati No. 81 Tahun 2006 Tentang Pemberian Ijin Usaha Perkebunan PT. Sentosa Asih Makmur (SAM).
3. Lakukan evaluasi terhadap Ijin Usaha Hutan Tanam Industri PT. Bumi Mekar Hijau (BMH)
4. Buat rekomendasi Pencabutan Ijin Usaha Hutan Tanam Industri PT. Bumi Mekar Hijau (BMH)
5. Tata Ulang Perkebunan Kelapa Sawit lama, Evaluasi seluruh Ijin Usaha Perkebunan yang sudah terlanjur diterbitkan dan Hentikan seluruh aktivitas Perluasan Perkebunan Skala Besar Kelapa Sawit. Dengan kata lain, tidak ada Perkebunan Skala Besar baru di Kabupaten sambas
6. Hentikan berbagai tindakan teror, intimidasi dan tindak kekerasan yang masih terjadi terhadap masyarakat yang sedang berjuang mempertahankan tanahnya.
7. Berikan kebebasan bagi masyarakat untuk berserikat, berkumpul serta menyampaikan pendapatnya.
Sambas, 24 Juni 2008
Atas Nama
Serikat Tani Serumpun Damai Kabupaten Sambas
Pendukung:

Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Front Mahasiswa Nasional (FMN), UPLINK KalBar,
AMAN KalBar, Lembaga GEMAWAN, Kontak Rakyat Borneo

21.25

Aksi STSD dan AMAN Kalbar




20.42

Aksi AMAN KB dan Serikat Tani Serumpun Damai Kab Sambas




22.48

Gejolak Kenaikan Harga masyarakat adat menjerit

Gejolak Kenaikan Harga masyarakat adat menjerit
Oleh : Jalung

Sudah tidak bisa disangkal, pendarahan ekonomi akibat gejolak harga, ditambah dengan ketidak stabilan pasar finansial dan belum pulihnya sector riil, menghasilkan keadaan yang sangat rumit dan tidak menguntungkan bagi rakyat Indonesia. Selain defisit APBN yang kian melebar dan melemahnya kurs rupiah yang mengancam kestabilan fiskal dan moneter, Indonesia juga dihadapkan pada kemungkinan inflasi tinggi dan semakin menurunnya daya beli masyarakat. Kestabilan makroekonomi yang sebelumnya dianggap sebagai prestasi, nyatanya hanyalah ilusi yang menyesatkan bagi rakyat indonesia.

Di tengah keadaan seperti itu, masalah korupsi dan penyuapan yang melibatkan beberapa pejabat negara, turut memperburuk kredibilitas otoritas moneter Indonesia. Di luar itu, belum rampungnya pembahasan mengenai perubahan APBN 2008 akibat tarik-menarik di dalam jajaran menteri mengenai penghematan anggaran, hal ini menambah bukti bahwasanya negara sebagai kompardor impralisme yang mana memunculkan keraguan besar rakyat terhadap kapasitas pemerintah sebagai pemegang otoritas fiskal di dalam negeri.

Pantas pantas saja bila keadaan ini memicu kegelisahan dan perlawanan dari kalangan masyarakat keseluruhan. Yang mana masyarakat dipaksa mengubah pola konsumsi dari minyak ke gas untuk menghemat cadangan BBM, kemudian masyarakat dicekam oleh kekhawatiran fluktuasi harga yang terjadi hampir setiap hari di seluruh negeri. Ancaman kelangkaan juga masih kerap terjadi. Di beberapa tempat misalnya, antrian penduduk untuk mendapatkan minyak tanah sudah berlangsung berminggu-minggu. Masyarakat sampai-sampai terpaksa beralih ke kayu bakar untuk dapat menanak nasi atau memasak sayuran-sayuran lain. Di daerah lain seperti Jakarta, dll pada saat masyarakat sudah mulai beralih menggunakan gas, justru pasokan gas menghilang di pasaran.

Kemudian ini tentunya menjadi pertanyaan fundamental apa yang harus dilakukan rejim SBY-JK selama ini dalam mengevaluasi garis kebijakan ekonomi yang selama ini ditempuh Indonesia. Terus mengapa garis ekonomi yang ditempuh selama ini gagal mengorganisasikan pemenuhan kebutuhan rakyat secara efisien, adil, dan merata?, dan yang mana keadaan ekonomi hari ini khususnya sejak era Soeharto. Dimana dimulai dari kebijakan-kebijakan pembangunan bergantung pada utang sejak pendirian Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) dan industri subtitusi-impor pada awal 1970-an, kemudian beralih menjadi industri orientasi ekspor pada awal 1980-an, lantas masuk ke kebijakan deregulasi, debirokratisasi (privatisasi), dan liberalisasi sejak paruh kedua dekade 1980-an, liberalisasi perdagangan penggabungan dengan APEC dan WTO tahun 1994, hingga penerapan kebijakan kurs mata-uang mengambang yang dimulai sejak penandatanganan Letter of Intent (LoI) antara Indonesia dengan IMF pada November 1997.

Rangkaian kebijakan itu secara bertahap menceburkan masyarakat Indonesia umumnya pada gelombang krisis ekonomi yang terkandung dalam sistem kapitalisme dunia (imperialisme). Paket kebijakan neoliberal; deregulasi, debirokratisasi atau privatisasi, dan liberalisasi; yang dicanangkan melalui Paket Oktober 1988 menjadi fase perampokkan berikutnya yang memiliki jangkauan yang lebih luas. Melalui paket itu, konsentrasi produksi semakin memusat di tangan raksasa-raksasa ekonomi yang memainkan peranan monopoli. Melalui paket ini, perampokkan kekayaan alam dan eksploitasi tenaga kerja menjadi semakin terlegitimasi.

Perampokan atas kekayaan alam dan hasil kerja rakyat Indonesia semakin berlipat ketika Indonesia menandatangani kesepakatan perdagangan dalam APEC dan WTO. Rakyat semakin tidak kuasa menahan serbuan barang-barang ‘sampah’ akibat liberalisasi serta dipaksa bekerja lebih keras dengan hasil yang jauh lebih sedikit akibat fleksibilisasi perburuhan. Sementara pertanian semakin menjadi sektor yang tidak menarik karena jatuhnya harga jual produk pertanian kian tidak sebanding dengan biaya produksi pertanian yang justru cenderung melangit.

Komplikasi dalam tubuh perekonomian Indonesia semakin bertambah ketika pemerintah mulai berancang-ancang melakukan liberalisasi keuangan, melalui pembukaan lembaga pasar modal. Banjir modal asing yang masuk pada paruh pertama dekade 1990-an ternyata menghadirkan ancaman yang sangat besar pada paruh kedua dekade tersebut. Tekanan pada nilai rupiah menjadi pemicu kebangkrutan ekonomi komprador-komprador besar yang bermain di bursa saham dan mata uang serta berakibat pada terjadinya krisis ekonomi yang kian memburuk hingga saat ini.

Kesemua hal ini memerupakan rentetan panjang beban khususnya masyarakat adat sehingga mengakibatkan masyarakat adat harus membating tulang dan berkerja keras mengunakan otot mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Yang mana kita tau masyarakat adat merupakan cerminan masyarakat yang hidup dengan pola kehidupan yang tergantung dengan alam dan hutan mereka serta hidup dalam kesederhanan yang menjunjung tinggi nilai kesosialan dan kerelgiusan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan melakukan berbagai aktifitas dari berladang, berburu, berkebun, berternak, meramu, dll yang kesemuanya didapat dan dihasilkan serta diolahkan dari hutan dan alam mereka. Jika kondisi seperti ini yang terjadi kemudian sekarang menjadi pertanyaan bagi kita, akan kemana masyarakat adat kedepan dan kemana perlindungan negara terhadap masyarakat adat atau hal ini merupakan paket tujuan dari negara sebagai kaki tangan imprealisme yang mana menjadi kan masyarakat adat sebagai masyarakat terasing dan termarjinalkan yang kemudian akan dijadikan tenaga buruh murah tampa jaminan dan perlidungan demi untuk memenuhi kebutuhan industri-industri kapitalis.

Maka dari itu kondisi ini menjadi memontum untuk meraih tujuan kita bersama memeperjuangkan dan merebut kedaulatan sejati masyarakat adat agar tercipta masyarakat adat yang berdaulat secara politik mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya.

Hidup Masyarakat Adat !!!!!!!!!!!!
Gelorakan Terus Perjuangan Masyarakat adat !!!!!!!!!!!

07.13

Sosok Binatang Pembunuh Kenafsuan

Buyi lonceng bergema melataukan irama-irama kengerian, membawa binatang dalam wujut manusia menuju sebuah banguna megah yang berpondasikan pilar-pilar keserakahan, dan lantai-lantai kerakusan demi sebuah kepentinagan kemanusian terhadap sang empunya.
Dalam bangunan itu berdiri sosoko biantang kemanusian mengunakan jubah kebohongan dan memahkotakan dirinaya dengan mahkota kepalsuan, yang kemudian dinobatkan sebagai simbol perantara dengan mengantongkan segudang pencerahan dalam kegelapan di dunia kemanusian, dialah sosok bianatang pembunuh kenafsuan yang setiapkali dia berdiri dialtar batu berlapiskan kemunafikan dilantunkan-nya-lah kata-kata kenabian dengan dalih pengampunan atas sombol kedosaan demi sebuah pemaksaan kebenaran di alam dunia kemanusiaan.
Dalih Sebuah Kepuasan Nafsu
Ditepi danau kebimbangan dibawah payung keagungan, bersandarkan sang saudagar pohon, berdiri sepasang insan mahluk serakah, menjalankan sebuah ritual kebinalan diatas dalih sebuah kepuasan nafsu.
Cahaya kesetanan memancarkan sinarnya membuat mereka terbenam dalam alam-alam dunia mereka, sayup-sayup bisikan kelaziman membuat mereka semakin rakus dalam dunia kenafsuan,
membawa mereka kedalami sebuah danau kebimbangan.
Mereka semakin jauh berjalan menuju ketengah, hanya demi dalih sebuah kepuasan nafsu yang mereka agung-agung kan, hinga membuat mereka semakin tengelam dan
tampa disadar akhirnya mereka mati demi dalih sebuah kepuasan nafsu.

07.12

Setetes Kenistaan

Malam menerawang dari titik kemungkaran dalam bayang jubah keperkasaan melewati debu penuh kebersihan, membawa hari melewati jalan dengan tampa harus tau akhir suatu tujuan.
Berdiri sosok biantang kelakian diantara selah sang bansawan pepohonan yang beralaskan permadani rumput kesucian, menanti sosok biantang keperempuanan nuntuk menyalurkan hasrat kepuasan nafsu kemanusian agar teciptalah sekor anak biantang kemanausian.
Terus Kupandangi sosok biantang kelakian yang mengibaskan ekor kelicikan tuk menyambut kegembiraan dengan datangnya sosok bianatang keperempuanan, sapaan binal menyusul tuk menyabut sosok biatang keperempunan, yang datang membawa wadah tempat pembuangan hasrat kebinalan dan kerakusan, yang berada diatas lidah dan taring kenafsuan.
Di ajaknyalah sekor bianatang keperempuana itu masuk kedalam ruang pelampiasan, untuk melaksanakan hasrat kebinalan yang di atas namakan dalih sebuah kepuasan nafsu dalam bayang kelaziman.
Malam semakin kuat meyelimuti mereka dalam jubah kegelapan, dengan pancaran cahaya kesetana membawa mereka terlena delam pelukan aroma kebiadapan sampai akhirnay terjadi pembunuhan terahadap setetes kenistaan, awal terjadinya sebuah proses kehidupan sekor binatang kemanusiaan, haya demi sebuah alasan.

07.11

Sang empunya

Manusia sulit di pahami tapi ini lah mebuat sosok binatang menyerupin manusia menjadi simbol dari sang empunya, dalam dunia kemanusiaan banyak rencana yang tak dapat dipamahami oleh sosok binatang menyerupai manusia untuknya dari sang empunya rencana, tapi akan kah sang empunya rencana merencanakan suatu rencana yang sulit dimengerti oleh sosok bianatang yang menyerupai manusia ini sehingga sosok binatang ini mampu melewatinya dan menjalan kan permainan yang di buatnya, tapi kadang sosok binatang menyerupai manusia ini tidak mampu mengertinya karena
dialah sang empunya rencana terhadap ini semua.
Renungan Segumpal Daging Kemanusiaan
sebatang rokok yang coba Ku hisap sambil merenukan, apa yang akan, dan sebenarnya, yang aku inginkan untuk hidup dalam dunia kebenaran kemanusian, yang penuh dengan nista dan kemunafikan.
Masih terus kuhisap rokok ini, yang tampa terasa hampir separuh batang sudah, selama aku duduk dan memencet alat tulis yang diciptaka manusia, demi sebuah keserakahan yang diatas namakan teknologi dan fasilitas kemudahan manusia.
Masih terus kurenungi apa yang akan kulakukan dalam dunia kebenaran kemanusiaan ini, akan kah aku menjadi pelacur yang melacurkan hati nuraniku demi sebuah kehidupan.
Akhirnya habis juga sebatang rokok ini, namun tidak kutemukan juga jawaban, apa itu makna dan arti sebauh kebenaran kemanusiaan, di dalam dunia kemanusian ini .
Kumatikan puntungan rokok yang tadi kuhisap dan kulanjutkan lagi tangan ku tuk menekan tombol-tombol ini, tapi apakan yang akan ku dapat, aku juga tidak tau.
Apakah arti sebuah kebenaran kemanusiaan itu sendiri, Malah makin menambah kebingungan ku sendiri, apakah aku harus melacurkan hati nurani ku dalam ”kebeneran di dalam kebenar-benaran” di dunia kemanusiaan ini.

06.59

Refleksi anak bumi

Satu hari saat matahari mulai terbenam cakrawala terlihat memerah, angin bertiup pelan membawa aku terbaring di pangkuan bumi yang terasa sepi jauh dari keramaian orang–orang yang memiliki abisi-abisi terhadap bumi, tiba-tiba aku terbangun, terpana melihat kegelapan sudah mulai tiba serta kegelisahan malam seakan-akan mulai dating, membawa manusia kedalam peraduan yang penuh dengan halusinasi dan imajinasi anak manusia yang terpana akan romantika kehidupan duniawi, yang penuh dengan kekotoran tangan saetan yang rakus dan bianal.
Aku coba terus telusuri bagian bumi yang gelap yang penuh dengan pemujaan ritual kebinalan, anak manusia telah menjadi binatang dengan tingkah dan prilaku yang buas, siap akan memangsa setiap jenkal kekurangan, binatang menjadi penonton akibat ulah anak manusia yang telah serakah mengambil peran sang binatang. malam menjadi arena pertarungan bagi elemen-eleman /unsur-unsur yang ada didalamnya, gejolak rasa, naluri, insting menjadi satu dalam tindakan untuk mencapai kepuasan.
”Kegelapan bukan berarti gelap tetapi gelap menjadikan itu sebuah malam dan malam menjadikan itu sebuah kegelapan serta kegelapan menjadikan itu sebuak kepuasan serta keinginan” .
Kulangkah kan terus kaki ku menelusuri belahan bumi yang kering tampa setetes air, disana yang ada hanya tanah yang retak seakan akan merintih menahan rasa perih akibat haus yang dalam, terus kulalui jalan ini, tiba-tiba bertemu aku dengan sekor manusia sedang duduk diantara selah batu yang besar, dia sedang memainkan melodi merdunya di dari setiap selah tulang iganya yang tidak terlalu besar kuperhatikan setiap gerakan tanganya yang mahir bagaikan musisi yang handal dia mainkan setiap lagu lagu kelaparan dan kematian yang sangat dibangakan baginya.
“Hujan bukan berarti baik karena hujan itu ada karena kekeringan kekeringan ada karena keserakahan dan keserakahan itu ada karena kepuasan serta keinginan ”
Tampaku sadari aku masih dibumi dengan berpondasikan kedua kaki dan berjala diatap cakrawala alam ini, masih terus kutelusuri bumi ini diiringi gema suara kicawan burung beryayai dan gemerincik suara air merintih menahan rasa sakit yang dideritanya setiap hari, kucoba daki bukit dan gunung yang lebih tinggi untuk mencapai kan diri dekat dengan cakrawal alam ini namun bumi masih saja tak sehati karena kurcaci di bumi sudah tidak suci lagi, haya tinggal nayayian surgawi yang dinyayikan oleh binatang penghuni bumi yang yang masih diangap murni karena masih mengikuti yang namaya naluri

22.18

SIARAN PERS

Dari : Serikat Pekerja PT. HSL
Kontak : Alfianur
Jabatan : Ketua Serikat Pekerja PT. HSL
Alamat : Kecamatan Manismata Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat
Telp/HP : 085650836741

Buruh Perkebunan HSL Resah Atas Perampasan Hak Demokratik Untuk Berserikat


Perusahaan Harapan Sawit Lestari mulai beroperasi di Manis Mata Kabupaten Ketapang sejak tahun 1992 seluas 28.456 Ha, Perkebunan Sawit tersebut didanai oleh Commonwealth Development Corporation (CDC) milik korporasi asal Inggris. Sejak awal pembukaan perkebunan sawit tersebut banyak menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal dan masyarakat adat dimana terjadi perampasan atas sumber daya alam dan hak atas tanah. Kemudian pada tahun 2005 Perusahaan PT. Harapan Sawit Lestari/HSL yang sahamnya dikuasai oleh CDC (Commonwealth Development Corporation / PRPOL (Pasific Rim Palm Oil) milik investor Inggris ke CTP (Cargill Temasek Plantation) Perusahaan milik Amerika Serikat tanpa memberitahukan ke pihak buruh. Setelah 2 tahun akuisisi dilakukan pihak buruh mulai resah dan mempertanyakan melaui Serikat Pekerja PT. HSL mengenai status buruh terhadap peralihan/akuisi perusahaan tersebut. Reaksi tersebut justru tidak ditanggapi secara serius oleh pihak managemen HSL/CTP bahkan menyudutkan Serikat Pekerja dengan tuduhan sebagai organisasi ilegal. Berbagai upaya sudah ditempuh dengan melakukan pertemuan Bipartit (Serikat Pekerja dengan Perusahaan HSL/ CTP) dan Tripartit (Pemerintah, Perusahaan dan Serikat Pekerja) namun tidak menemukan kesepakatan terhadap tuntutan yang diajukan Serikat Pekerja, sehingga 5400 orang buruh PT. HSL melakukan 2 kali aksi pemogokan kerja pada tanggal 25-27 Oktober 2007 dan tanggal 29 Desember 2007- 2 Januari 2008 akibat gagalnya perundingan yang dilakukan.
Aksi pemogokan tersebut kemudian justru mendapat reaksi dari pihak perusahaan dengan menggugat pihak Serikat Pekerja ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pontianak.

Dalam melakukan perjuangan, pihak buruh mendapat perlakuan tidak adil dengan dilakukanya intimidasi, skorsing, mutasi kerja yang merugikan dan bahkan ancaman pemecatan tanpa pesangon. Pihak buruh juga di benturkan dengan petani plasma sebagai upaya adu domba yang dilakukan managemen perusahaan. Akibatnya pihak buruh saat ini dalam kondisi tertekan dan merasa hak-hak untuk menyampaikan pendapat dibungkam dengan fakta formil hukum yang tidak adil (UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagkerjaan dan undang-undang nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan).
Pihak buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja PT.HSL dalam melakukan tuntutan dan mogok sudah sesuai dengan apa yang diatur dalam UU Tenaga kerja Nomor 13 tahun 2003 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 point 17 dan Pasal 137 tentang hak dasar melakukan mogok kerja oleh Serikat Pekerja / Buruh.
Upaya tuntutan melalui pengadilan hubungan industrial di pengadilan Tinggi Pontianak yang dilakukan oleh perusahaan PT. HSL/CTP terhadap serikat pekerja / buruh adalah bentuk perampasan hak demokratik untuk berserikat.

Untuk memperjuangkan dan mempertanggungjawabkan hak-hak buruh dalam membela dan melindungi hak dan kepentingan serta meningkatkan kesejahteraan buruh dan keluarganya, kami menuntut :
1. Penuhi tuntutan dasar buruh PT.HSL atas tranparansi status buruh akibat peralihan/ akuisisi managemen perusahaan dari CDC/PRPOL (Commonwealth Development Corporation) / PRPOL (Pasific Rim Palm Oil) ke pihak CTP (Cargill Temasek Plantation).
2. Memberikan seluas-luasnya bagi buruh untuk melaksanakan hak demokratiknya dalam membangun Serikat Pekerja sebagai alat memperjuangkan hak-hak dasar buruh.
3. Hentikan upaya-upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam melemahkan perjuangan buruh dengan cara-cara teror, intimidasi dan penekanan terhadap serikat pekerja dan pengkaburan tuntutan buruh melalui pengadilan.
4. Penuhi tuntutan atas persoalan-persoalan buruh PT. HSL/CTP berupa :
§ Pemotongan upah hari kerja.
§ Ekploitasi tenaga kerja diluar kemampuan kerja dan diluar jam kerja buruh.
§ Hak buruh atas jaminan sosial tenaga kerja.
§ Pemenuhan cuti haid bagi kaum perempuan, dan cuti bersama bagi buruh.
§ Pembayaran cuti hamil bagi buruh perempuan yang berstatus BHL.
§ Pemenuhan hak-hak pekerja kepada buruh yang di PHK sesuai aturan yang berlaku.
§ Memberikan promosi kerja yang sesuai dan adil kepada buruh berdasarkan kemampuan dan kapasitas serta kualitas kerja buruh.
§ Memberikan prioritas kerja bagi masyarakat lokal di sekitar wilayah kerja perusahaan.
§ Premi harus disesuaikan dengan volume kerja dan lembur harus diperhitungkan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
§ Hentikan praktek pemindahan hari kerja dari hari libur nasional ke hari libur biasa dan hari efektif kerja.

Demikian pernyataan sikap ini disampaikan untuk pemenuhan rasa keadilan bagi buruh sebagai kaum pekerja yang merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang berhak untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan sosial sesuai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.


Pontianak, 18 Januari 2008

20.30

Foto kegiatan


kegiatan diskusi dan nonton film di dusun tj Karang Kec putusibau









kegiatan roudshow di desa sungai bala kab sekadau kalimantan barat

05.36

PERINGATAN HARI MASYARAKAT ADAT SE-DUNIA

DI KAL-BAR MELAHIRKAN KESEDIHAN MENDALAM

Oleh : jalung

Bulan Agustus tepatnya Tanggal 9 melalui Konsensi Perserikatan Bangsa-Bangsa ditetapkan Sebagai Hari Masyarakat Adat Se–Dunia. Hal ini membawa beberapa elemen organisasi pemuda pro-demokrasi dan pemuda masyarakat adat melakukan konsolidasi ulang gerakan melalui beberapa rentetan kegiatan yang di mulai dari pertama pada 7 - 8 agustus 2007 yaitu membagun “Perkampungan Demokrasi” di bundaran Univesitas Tanjungpura pontianak dan “Mobil Demokrasi” yang diarak keliling kota pontianak dengan berisikan orasi-orasi serta yel-yel yang mengabarkan kondisi buruk rakyat dan masyarakat adat saat ini, kemudian di tutup pada tangal 9 agustus 2007 tepatnya hari masyarakat adat se-dunia beberapa elemen pemuda kalimantan barat berarung rembuk dalam kuliah umum dengan tema “Peranan Pemuda Dalam Mengatasi Masalah Ekonomi, Politik, Sosial dan Budaya” serta Pentas Kesenian dan Budaya Rakyat dengan tema ”Keragaman Kebudayaan Yang Menjadi Identitas Kebudayaan Nasional” dalam kegiatan kuliah umum ini bertujuan mengajak pemuda dari beberapa elemen berpikir ulang sejarah penindasan masyarakat adat yang mana saat ini cita – cita kemerdekaan dan kedaulatan yang tertuang dalam konsensi PBB belumlah bisa terwujud sepenuhnya. Hal ini diakibatkan oleh sebuah sistem yang menekankan pada penghisapan, penindasan, perluasan dan pemusatan modal yang dilakukan oleh segelintir orang diatas mayoritas umat manusia. Sejak awal perkembangangannya, sistem ini telah mencapai pada tingkatan tertingginya yakni imperialisme dengan berbagai produk dan prakteknya. Praktek imperilisme hari ini terhadap Masyarakat Adat dengan melakukan perampasan Tanah dan kekayan alam masyarakat adat hanya untuk kepentingan pertambangan, perkebunan skala besar dan lain sebagainya yang dilakukan oleh perusahaan – perusahaan besar dengan perlakukan yang sangat istimewa dari pemerintah melalui berbagai produk kebijakannya. Dampaknya sangat luar biasa bagi masyarakat adat, dimana identitas adat dan budaya sebagai cerminan bagi masyarakat adat mulai hilang dan hancur oleh praktek itu semua.

Kegiatan ini dihadiri oleh beberapa organisasi yang meliputi : BEM Untan, ESA Untan, BEM STAIN, LPM,GMNI, HMI, PMKRI, PMII, Solmadapar, JMKB, Salak, ID, Kalimantan Review, LBBT, SHK, Gemawan, WALHI, Madanika, Elpagar, POR, PPSDAK, KAIL, KMKS, PEK-PK, Asrama Sanggau, Asrama Landak, Asrama Sambas dan AMAN KalBar serta undangan terbuka bagi Pemuda-Pemudi yang peduli dengan nasib bangsa. Kegiatan kuliah umum ini diharapkan melahirkan beberapa-beberapa tanggapan serta pandangan terkait mengatasi masalah ekonomi, sosial, politik dan budaya diantara elemen pemuda, yang mana menjadi peranan terdepan dalam sejarahnya, agar dapat menjadi rekomendasi langkah gerakan perjuangan masyarakat adat dalam mewujudkan kemerdekaan dan kedaulatan namun dilematis sekali bertepatan pada saat itu juga sekitar pukul 13.00-an kita mendapat kabar menyedihkan dan tragis dimana beberapa lembaga yang tergabung dalam konsorsium pancur kasih yaitu Institut Dayakologi (ID), Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), Segerak PK, Kalimantan Review, dan Percetakan Mitra kasih hangus dilahap sijago merah hanya dalam waktu +/- 30 menit. Mereka ini merupakan bagian dari lembaga yang intens menyuarakan masyarakat adat melalui penelitian serta kajian-kajian hukum tentang masyarakat adat serta dipublikasikan melalui media pemberdayaan Kalimantan Review (KR) kalbar selama 20 tahun semua itu raib. Hal ini mengakibatkan kegiatan hari masyarakat adat ditunda dan diakhiri dengan melahirkan sebuah rekomendasi duka cita yang mendalam.

01.00

ANALISIS WILAYAH KERJA

HPH PT. TORAS BANOA SUKSES

Oleh: Rudi Zapariza

I. Pendahuluan

Dalam menganalisis keberadaan wilayah kerja HPH PT. Toras Banua Sukses menggunakan 2 analisa yaitu Bio-fisik dan sosial-ekonomi masyarakat sekitar wilayah kerja PT. Toras Banua Sukses. Untuk Bio-fisik memanfaatkan sistem informasi geografis (SIG) untuk lebih memudahkan analisis-spatial dengan beberpa tahapan antara lain pengumpulan data, analisis dan pelaporan. Sedangkan untuk data sosial-ekonomi lebih melihat kondisi sosial-ekonomi masyarakat di wilayah DAS Mendalam dan DAS Sibau, dikarenakan kedua wilayah tersebut masuk dalam wilyah kerja PT. Toras Banoa Sukses. Sosial-ekonomi masyarakat akan dilihat gambaran sosial masyarakat meliputi tingkat pendidikan, kesejahteraan dan kesehatan, sedangkan secara ekonomi masyarakat akan dilihat sumber pendapatan, pola menu konsumsi dan infrastruktur masyarakat.

II. Analisi Bio-Fisik

a. Landasan Hukum

Adapun kriteria penetapan kawasan menurut fungsinya sebagai berikut:

1. Hutan Lindung:

a. Areal dengan nilai skore >175 (hasil penjumlahan dari ketiga faktor di atas), atau memenuhi salah satu syarat sebagai berikut;

b. Mempunyai lereng lapangan > 40%

c. Tanah Peka terhadap erosi, yaitu jenis tanah Regosol Litosol, Organosol dan Renzina

d. Ketinggian 2000 m dpl

2. Kawasan bergambut di hulu sungai dan rawa (tebal > 3 M)

3. Kawasan resapan air

4. Sempadan sungai: sungai kecil (lebar <>30 m) lebar sempadan 100 m.

5. Kawasan sekitar danau/waduk dengan lebar sempadan 100 m

6. Kawasan sekitar mata air dengan radius 200 m

7. Kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa)

8. Kawasan Pelestarian Alam (taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam)

9. Bufferzone hutan lindung, lebar 500 m (telah di tata batas) atau 1.000 m (belum ditata batas)

10. Kawasan pelestarian plasma nuftah (KPPN)

11. Kawasan pengungsian/perlindungan satwa liar

12. Budaya masyarakat istimewa; dan kawasan lokasi situs purbakala/peninggalan sejarah bernilai tinggi

13. Kawasan rawan bencana alam

14. Hutan produksi alam yang masih tetap dipertahankan keberadaannya dalam aral kerja.

Keputusan presiden No. 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung menyebutkan bahwa kriteria kawasan lindung adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor lereng lapangangan, jenis tanah, curah hujan yang melbihi nilai skore 175, dan/atau, kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% atau lebih, dan/atau kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2.000 meter atau lebih.

Berdasarkan keputusan Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan No. 683/Kpts/Um/8/1961 serta keputusan Presiden No. 48/1983 terdapat 3 faktor yang dinilai yaitu ketentuan nilai skore kelerangan, ketentuan nilai skor jenis tanah (sub-groups) dan ketentuan nilai skore curah hujan harian, adapun nilai skorenya sebagai berikut:

Ketentuan nilai Skore Kemiringan (lereng) lahan

KELAS

LERENG

DESKRIPSI

NILAI SKORE

1

0% - 8%

Datar

20

2

9% - 15%

Landai

40

3

16% - 25%

Agak Curam

60

4

26% - 40%

Curam

80

5

41% atau lebih

Sangat Curam

100

Ketentuan Nilai Skore Jenis Tanah (sub-groups)

KLASIFIKASI

TANAH

KELAS

PUSLITAN BOGOR

USDA, 1992

KEPEKAAN

NILAI SKORE

1

Aluval, Tanah Glei, Planosol, Hidromorf kelabu, Laterik Air Tanah

Aquents, Fluvents, Aquaepts

Tida Peka

15

2

Latosol

Oxisol

Agak Peka

30

3

Brown Forest Soil, Non Calcik Brown, Mediteren

Alfisol

Agak Peka

45

4

Andosol, Laterit, Grumosol, Podsol dan Podsolik

Andisol, Vertisols, Spodosols, Ultisols

Peka

60

5

Regosol, Litosol, Organsol, Renzina

Arents, Psaments, Oxisol, Histosols

Sangat peka

75

Ketentuan Nilai Skore Data Curah Hujan Harian

KELAS

CURAH HUJAN

DESKRIPSI

NILAI SKORE

1

s/d 13,6 mm/hr

Sangat rendah

10

2

13,6 s/d 20,7 mm/hr

Rendah

20

3

20,7 s/d 27,7 mm/hr

Sedang

30

4

27,7 s/d 34,8 mm/hr

Tinggi

40

5

34,8 >

Sangat tinggi

50

b. Analisis Biofisik

PT. Toras Benoa Sukses pada awalnya mendapatkan surat keputusan dari Bupati Kapuas Hulu No. 522.11/105/PH/2002 tanggal 19 Februari 2002 dengan dberikan IUPHHK seluas + 22.000 Ha dengan jangka waktu 20 tahun, namun berdasakan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, maka sesui dengan pasal 2 peraturan menteri kehutanan No P.03/Menhut-II/2005 jo Nomor P.05/Menhut-II/2006 terhadap IUPHHK pada hutan alam dan atau hutan tanaman yang diterbitkan oleh gubernur atau bupati/walikota dilakukan verifikasi oleh Dirjen Bina Produksi Kehutanan, berdasarkan telaahan Badan Planologi Kehutanan areal tersebut berubah dari + 22.000 Hektar menjadi ­+ 24.920 Hektar dengan alasan dengan adanya penyesuaian batas dengan hutan lindung Bukit Panggihan – Bukit Lambu Anak. Dari peta yang dikeluarkan dan ditanda tangani menteri kehutanan, setelah didigitasi ulang didapat wilayah kerja PT. Toras Benoa Sukses memiliki wilayah kerja seluas 22.260 hektar, dari analisis didapat antara lain:

a. Berdasarkan Nilai Kemiringan wilayah kerja HPH PT. Toras Benoa Sukses terdapat:

· Daerah Datar (0%-8%) seluas 292 Hektar

· Daerah Landai seluas (9%-15%) 10.276 Hektar

· Daerah Agak Curam (16%-25%) seluas 4.820 Hektar

· Daerah Curam seluas (26%-40%) seluas 276 Hektar

· Daerah Sangat Curam (41% - lebih) seluas 6.595 Hektar

b. Berdasarkan pengelompokan jenis tanah:

· Dystropepts, Paleudults, Tropudults (nilai skore 60) seluas 4.778 Hektar

· Dystropepts, Tropudults (nilai skore 60) seluas 1.816 Hektar

· Rendolls, Eutropepts (nilai skore 75) seluas 4.820 Hektar

· Tropaquepts, Fluvaquents, Tropofluvents (nilai skore 15) seluas 292 Hektar

· Tropudults, Dystropts (nilai skore 60) seluas 276 Hektar

· Trpudults, Tropaqupts (nilai skore 60) seluas 10.276 Hektar

c. Berdasarkan curah hujan Harian

· Dengan nilai skor 10 seluas 6.595 Hektar

· Dengan nilai skore 20 seluas 10.569 Hektar

· Dengan nilai skore 30 seluas 4.820 Hektar

· Dengan nilai skor 40 seluas 276 Hektar

C. Hasil

  1. Berdasarkan keputusan Menteri Pertanian No. 837/KPTS/UM/11/1980 dan No 683/KPTS/UM/8/1961 serta keputusan Presiden No. 48/1983, penilain skore kelerangan, jenis tanah dan curah hujan, wilayah kerja PT Toras Banua Sukses seluas + 22.260 Hektar, didapat:

· Hutan Lindung seluas 1.979 Hektar

· Hutan Produksi seluas 15.858 Hektar

· Hutan Produksi Terbatas 4.423 Hektar

  1. Untuk pengelopokan jenis hutan bedasarkan tutupan lahan terdiri atas:

· Hutan Lahan Basah 897 Hektar

· Hutan Lahan kering 19.170 Hektar

· Lahan Terbuka 1,5 Hektar

· Semak Belukar 2.151 Hektar

· Sungai 39 hektar

  1. Berdasarkan tingkat bahaya erosi wilayah PT. Toras Benua Sukses

· Kelas 0-15 dengan kriteia sangat ringan seluas 5.112 Hektar

· Kelas 15-60 dengan kriteria ringan seluas 10.276 Hekter

· Kelas 180-480 dengan kriteria berat seluas 1.816 Hektar

· Kelas > 480 dengan kriteria sangat berat seluas 5.054 Hektar

III. Analisis Sosial-Ekonomi

a. Gambaran Sosial

Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Mendalam dilihat dari struktur umur kepala keluarga, maka umumnya responden masih tergolong usia muda (< 40 tahun) sebanyak 53,3%, namun demikian secara keseluruhan sebagian besar responden ternasuk ke dalam usia produktif yakni sebesar 98,3 %. Untuk jelasnya dapat dilihat Tabel 1. berikut ini.

Tabel 1. Karakteristik Rumah Tangga Responden Menurut Umur, 2005

Kelompok Umur

Jumlah ( Orang)

(n = 60 )

Persen

(%)

20 - 30

14

23,3

31 - 40

18

30

41 - 50

15

25

51 - 60

12

20

60+

1

1,7

Jumlaah

60

100

Sumber : Hasil aanalisis Data Primer, 2005

b.Pendidikan

Kondisi pendidikan di lokasi penelitian masih sangat memprihatinkan, salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah faktor geografis yang kurang strategis karena letaknya jauh di hulu sungai. Apabila dilihat dari sebaran pendidikan, terlihat tingkat pendidikan formal rata-rata responden kepala keluarga di daerah ini masih relatif rendah yakni rata-rata hanya 4,8 tahun. Dari 60 responden ternyata sebagian besar (45,0%) berpendidikan tidak tamat Sekolah dasar (SD) artinya bersekolah SD hanya mencapai kelas I sampai kelas V saja, bahkan ada responden yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekali (5,0%). Hanya sebagian kecil kepala keluarga yang mencapai pendidikan menengah (8,3%), tingkat pendidikan tertinggi responden di lokasi penelitian adalah (3,3%).

Menurut Majid (1991), bahwa rendahnya tingkat pendidikan merupakan keterbatasan yang umumnya dimilki petani lahan kering yang mengakibatkan dalam berusaha tani masih berorientasi untuk pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten) dan menghindari resiko. Di sisi lain Soeharjo dan Patong (1973), berpendapat bahwa pendidikan seseorang umumnya mempengaruhi cara berpikirnya, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan cenderung semakin dinamis sikapnya dan responsif terhadap hal-hal baru.

Tabel 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan , 2005

Tingkat Pendidikan

Jumlah

(orang)

Persen

(%)

Tidak Sekolah

3

5,0

Tidak Tamat SD

27

45,0

Tamat SD

12

20,0

Tamat SLTP

11

18,3

Tamat SLTA

5

8,3

DII,

2

3,4

Jumlah

N = 60

100

Sumber : Hasil Analisis

Dapat dimaklumi rendahnya tingkat pendidikan penduduk di lokasi penelitian ini, disebabkan akses penduduk terhadap lembaga pendidikan atau sekolah sangat rendah. Hal ini terlihat dari sarana fisik pendidikan dan tenaga guru di lokasi penelitian yang sangat terbatas. Di dua DAS yang menjadi lokasi penelitian tingkat pendidikan yang ada hanya sampai jenjang SD, apabila mau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi , maka siswa tamatan SD harus melanjutkan ke Putusibau, Semitau, Sintang ataupun ke Pontianak.

Di lokasi penelitian masih tersebut, ditemukan hampir di setiap dusun mempunyai masalah sarana dan tenaga guru yang sangat minim, dimana kelas I sampai dengan kelas VI umumnya hanya menempati tiga lokal dengan tiga orang guru termasuk kepala sekolah. Menurut narasumber di Nanga Hovat dan desa Tanjungkarang DAS Mendalam, menyatakan sebagai berikut :

”di desa ini hanya tersedia SD kelas I sampai dengan kelas V apabila ingin mengikuti ujian akhir atau menamatkan SD harus pindah ke desa yang memiliki SD lain yang dapat menyelenggarakan ujian kelas VI. Namun masalah lain muncul bagi mereka yang mau melanjutkan dari kelas V dari desa tersebut apabilas pindah ke SD di desa lain agar dapat menamatkan sekolah SD harus bersedia turun kelas dari kelas V menjadi kelas III. Hal ini terjadi pada anak saya, selain itu juga gurunya sering tidak mengajar ”

Kondisi demikian ini menggambarkan potret pendidikan di lokasi penelitian yang sangat memprihatinkan, sehingga anak-anak di lokasi penelitian sulit mendapatkan akses untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik. Pada umumnya hampir di semua dusun baru memiliki SD dengan segala keterbatasan, sehingga akses anak di daerah ini untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi sangat rendah.

Suatu hal yang mengagumkan berdasarkan wawancara dengan para informan, banyak diantara orang tua sub-etnis Dayak ini yang telah berusaha menyekolahkan anaknya ke luar desa apabila ingin sekolah yang lebih tinggi seperti ke Putusibau bahkan sampai ke Pontianak (kuliah). Kondisi demikian ini menunjukkan tingginya kesadaran sebagian orang tua tentang pentingnya pendidikan anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, walaupun disadari harus mengorbankan banyak uang untuk sekolah, biaya hidup dan sewa rumah. Namun demikian, kesadaran tersebut timbul dari sebagian besar orang tua yang memiliki pendidikan relatif tinggi (SLTA ke atas) dan memiliki kedudukan atau status sosial yang relatif tinggi di desanya seperti kepala desa, guru, dan pengawas sekolah yang berhasil ditemui.

c. .Jumlah Anggota Keluarga

Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan petani maksimum adalah 6 orang per KK dan minimum 2 orang per KK atau rata-rata sebanyak 3,2 orang. Dilihat dari jumlah anggota keluarga, maka rumah tangga petani di lokasi penelitian merupakan keluarga kecil. Demikian juga dilihat dari jumlah anggota keluarga yang membantu di dalam usaha-tani, ternyata hanya berkisar antara 1-2 orang. Dari jumlah tersebut ternyata semua responden (100%) menyatakan bahwa yang paling banyak membantu dalam usahatani adalah istri. Kenyataan di atas menunjukkan besarnya peranan perempuan (istri) dalam mengelola usahatani di daerah ini. Bahkan berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian ternyata kaum perempuan di daerah ini lebih dominan dalam mengelola usahatani sehingga juga menjadi penentu berhasilan usahatani yang dikelolanya. Karena selain sebagai tenaga kerja istri responden juga turut menentukan dalam mengambil keputusan untuk menentukan jenis tanaman yang ditanam, juga memiliki kontrol (sebagai pengambil keputusan) dalam menjual hasil produksi ke pasar, karena sebagian besar responden (86,7%) menyatakan bahwa yang menjajakan/menjual hasil produksi usahataninya ke pasar adalah istrinya.

Yang terpenting dari jumlah anggota keluarga adalah jumlah anggota yang membantu dalam usahatani. Jumlah anggota keluarga rata-rata di lokasi penelitian yang membantu dalam usahatani hanya berkisar antara satu sampai tiga orang per kepala keluarga, hal ini disebabkan oleh karena anak-naknya bersekolah di luar tempat tinggalnya yakni di Kota Putusibau bahkan ada yang kuliah di Pontianak. Selain itu juga ada yang memilki anak masih kecil sehingga belum dapat membantu dalam usahatani.

Kecilnya jumlah anggota keluarga yang membantu dalam usahatani tidak terlalu berpengaruh terhadap kelancaran pekerjaan dalam usahatani, karena di lokasi penelitian ini untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dapat terpenuhi dari tolong menolong bergilir antar sesama petani. Tolong menolong ini terjadi pada saat membuka lahan, menanam padi dan pada saat panen.

d. Keadaan Tempat Tinggal

Salah satu indikator untuk menilali tingkat kesejahteraan masyarakat adalah keadaan tempat tinggal yang dimilikinya. Tempat tinggal atau rumah merupakan kebutuhan primer selain sandang dan pangan bagi setiap keluarga. Penduduk di lokasi ini ada yang tinggal di rumah panggung biasa dan di rumah tradisionel yaitu rumah panjang atau biasa disebut rumah ”betang”. Betang adalah suatu bangunan tradisional yang dimilki oleh beberapa kelompok sub-etnik Dayak yang ada di Kapuas Hulu. Pembagian ruangan atau bilik yang ada di dalam betang mencerminkan stratifikasi dan sistem yang unik dari masyarakat yang tinggal di dalamnya. Bagian tengah dari betang adalah untuk aktivitas yang bersifat publik, sedangkan bagian depan digunakan untuk menjemur padi dan hasil produksi lainnya. Ruang belakang biasanya untuk keperluan memasak ruang tidur dan tempat berkumpul anggota keluarga.

Selain itu juga, di desa Semangkok di tepi sungai Mendalam berdiri megah rumah betang yang masih asli yang dihuni oleh sub-etnik Taman Mendalam dengan panjang 189 meter, terdiri dari 27 pintu dan tinggi rata-rata 8 meter dari atas permukaan tanah. Atap dan tiang penyangga terbuat dari kayu belian. Pada saat penelitian (Mei 2005) sebanyak 24 pintu/bilik telah mengalami perbaikan (direhabilitasi), dan masih tiga pintu/bilik yang belum atau sedang direhabilitasi.

e. Kesehatan

Kondisi kesehatan masyarakat di tiga DAS, yakni DAS Mendalam, Sibau dan DAS Apalin umumnya masih memprihatinkan ditinjau dari fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang tersedia.

Tabel 3. Keadaan Fasilitas Kesehatan

NAMA DAS

PUSKESMAS

PUSTU

POLINDES

YANKES KIA

Mendalam

-

2

3

1

Sibau

-

2

-

-

Jumlah

-

4

3

-

Sumber : Hasil analisis dari Data Yang Dihimpun WWF,2003

Data tabel di atas menggambarkan minimnya fasilitas kesehatan yang ada di daerah tersebut, selain hanya tidak semua dusun memiliki fasilitas pelayanan kesehatan juga tenaga medis yang tersedia juga sangat terbatas di masing-masing Puskesmas Pembantu (Pustu) dan Poliklinik Desa (Polindes) tersebut umumnya hanya ditempati oleh bidan desa, bahkan sering terjadi bidan desa hanya datang seminggu sekali yakni pada hari Minggu, maka alternatif pengobatan bagi masyarakat adalah berdukun (” babalian/Tamambaloh/Taman”).

Pemahaman masyarakat tentang hidup sehat, sanitasi lingkungan relatif rendah selain itu tidak tersedianya air bersih untuk dikonsumsi secara aman, karena masyarakat umumnya memanfaatkan air sungai yang kini sudah banyak tercemar akibat eksploitasi hutan. Selain itu juga lingkungan rumah yang kurang higienis, mengakibatkan masyarakatat dalam kondisi rawan terhadap serangan penyakit seperti muntaber, malaria, demam berdarah, dan penyakit lainnya. Seperti pengakuan dari beberapa responden, bahwa penyakit yang ditakuti adalah malaria tropikana yang sering menyerang penduduk.

f. Budaya Bertani

Berdasarkan catatan WWF, terdapat 5 sub-etnis Dayak Di DAS Sibau yaitu : Bukat, Kantu’, Taman Banua Sio, Melayu dan Iban. Budaya berladang Dayak Taman Sibau sampai saat ini masih dipertahankan. Banyak ritual upacara yang dilakukan sebelum membuka ladang, seperti menyiapkan sesajen untuk roh penunggu tanah tempat berladang. Setelah ritual upacara ini dinakikan, lokaasi tempat berladang ini tidak boleh didatangi selama tiga hari. Selama membuka ladang masyarakat percaya dengan suara-suara burung tertentu, karena diyakini bahwa suara burung tersebut dapat membawa rezeki ataupun malapetaka bagi masyarakat. Sebagai contoh kalau ada burung Ketupung, Nendak, Beragak, Pangkas, atau Embuas yang berbunyi, mereka pantang ke ladang selama tiga hari. Jika pantangan ini dilanggar, maka malapetaka akan menimpa, seperti ada warga yang meninggal, kecelakaan sewaktu berladang atau gagal panen.

Dalam kehidupan sehari-hari kegiatan berkebun bagi etnis Melayu, Dayak Taman dan Kayaan sudah menjadi kebiasaan, sedangkan etnis Bukat masih mengikuti tradisi perladangan gilir balik lahan kering dan sangat jarang bercocok tanam sayuran, sehingga tidak jarang pula mereka membeli sayuran dari suku Kayaan yang berladang di hilir kampung Bukat. Khusus kaum perempuan suku Taman disamping aktivitas melakukaan perladangan, juga dikenal dengan kepandaian sebagai pengrajin manik-manik (handycraft) disamping itu kegiatan lainnya yang mereka lakukan adalah melakukan aktivitas berkebun. Adat atau tradisi yang dilakukan suku Kayaan setiap tahun adalah Dange” dan yang biasa juga oleh suku Dayak seluruh Kalimantan Barat dengan sebutan ”Naik Dango” (Kanayatn). Kegiatan ini dimaksudkan untuk mensyukuri kepada Yang Maha Kuasa atas hasil panen. Dalam kegiatan ini akan terlihat representasi kebudayaan mereka dalam bentuk khas seperti: tarian, khasanah sastra lisan, keindahan motif perisai/karawit dan tato, aksesoris pakaian adat, keunikan motif topeng ”Hudo” dan prosesi upacara adat yang syarat dengan makna kehidupan .

g. Sumber pendapatan

Sumber pendapat responden berasal dari: berladang, menoreh getah, berkebun kopi, berkebun coklat (Desa Padua), memungut hasil hutan, berburu, mengambil kayu di hutan, beternak (sapi, ayam dan babi), menjala dan memancing ikan Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, dapat dilihat bahwa yang menjadi pekerjaan pokok masyarakat terutama di tujuh dusun yang dikunjungi adalah bertani yakni berladang. Namun pendapatan dalam bentuk uang tunai diperoleh sebagian besar dari menoreh getah, dan menjual kayu/papan hasil hutan, serta sebagian kecil dari hasil penjualan palawija dan sayur-sayuran. Walaupun waktu yang mereka gunakan dalam setahun (365 hari) dirata-ratakan sebanyak 192 hari kerja, namun diakui bahwa karet menjadi andalan sumber pendapatan tunai dan merupakan andalan kehidupan sehari-hari mereka. Sunguhpun demikian bilamana musim tanam padi ladang tiba, mereka seakan lupa bahwa karet dapat memberikan kehidupan yang lebih layak. Penghasilan rata-rata petani diperoleh dengn cara memperhitungkan semua bahan yang dihasilkan baik yang diperoleh dengan cara beli maupun diambil dari alam atau yang dijual ataupun di konsumsi sendiri. Seperti ikan yang ditangkap dengan cara di jala/dijaring/dipancing setiap hari dari sungai dan dikonsumsi habis dalam sehari yang diperkirakan minimal 1 kg/hari, ini dihitung menjadi pendapatan setiap hari atau setahun menjadi 360 hari. Dikatakan oleh petani bahwa harganya berkisar antara Rp. 1.000/kg – Rp 3.000/kg, maka dalam kesempatan ini diambil harga terendah sebgai dasar perhitungan berikutnya, demikian juga untuk komoditas lainnya. Contoh lain, harga padi berkisar antara Rp 1.000 – Rp 1.200/kg dan bahkan di Nanga Hovat harga padi kalau dijual hanya Rp 500/kg, maka dalam perhiatungan pendapatan diambil harga rata rata yaitu Rp. 1.000 /kg.

Hasil perhitungan Di DAS Mendalam penghasilan rata-rata penduduk dari menoreh karet cukup tinggi dalam setahun mencapai Rp 6.048.000/tahun dibandingkan dengan penghasilan padi ladang Rp.1.795.000 (29.79%) dan bahkan lebih besar dibandingkan dengan seluruh penghasilan sampingan Rp 5.605.000. Dengan kata lain hasil karet memberikan kontribusi 52% dalam pendapatan keluarga. Tingginya produksi karet di dusun Semangkok dibandingkan dengan dusun lainnya, mungkin dikarenakan luasnya kebun karet yang menghasilkan atau banyaknya jumlah pohon yang ditoreh (luas yang sama tidak menjamin produksinya sama). Seperti temuan di lapangan ada beberapa orang responden yang memiliki kebun karet mencapai 3-7 Ha, sehingga dalam satu hari dapat menghasilakan karet sebanyak 10 – 20 kg. Biasanya jika kebun cukup luas, maka menoreh getah dilakukan oleh orang lain dengan sistem bagi hasil, yakni ½ dari seluruh hasil; artinya pemilik dapat setengah dan buruh yang menoreh mendapat ½ dari hasil torehan.

Di Dusun Teluk Telaga terlihat hasil padi ladang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil dusun lainnya. Disini juga memperlihatkan hasil padi sawah dan hasil ikutan ladang cukup dominan dan menunjukkan petani cukup rajin menanam komoditas lainnya pada saat menanam padi. Seperti kacang-kacangan, peria, mentimun dan sayur-mayur, ubi kayu, jagung dll. Ternak babi cukup membantu penghasilan keluarga dalam setahun, Demikian juga di dusun Tanjung Karang padi ladang cukup berarti bagi petani, selain hasil ternak. Dusun ini juga potensi lahan sawah lebak/rawa namun produtivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan hasil padi sawah di dusun Semangkok dan Teluk Telaga yang ada sumber airnya.

Diantara dusun yang di studi, diketahui masyarakat Dusun Nanga Hovat belum mengenal budidaya karet walaupun mereka sudah melihat bukti nyata dari hasil kebun karet. Mereka sangat mengharapkan bantuan bibit karet dan bimbingan dalam budidaya karet. Komoditas yang diharapkan adalah kokoa/coklat dan kopi. Dilihat dari sumber pendapatan masyarakat, kayu merupakan sumber utama dan binatang buruan yang saat ini sudah dianggap sulit diperoleh. Selain disebabkan oleh perburuan yang terus menerus, juga disebabkan pergi lebih jauh karena takuat mendengar suara mesin penebangan kayu yang dilakukan oleh masyarakat. Mereka juga sudah mulai berladang beberapa tahun yang lalu namun dalam luasan yang sangat terbatas, karena dalam beberapa kali pengalaman, hasil yang diperoleh sangat tidak memadai. Selain padi mereka juga sudah menanam ubi kayu, mentimun, keladi, jagung dan komoditas sayuran lainnya. Bilamana diperhitungkan dengan nilai uang, produksi yang mereka hasilkan paling rendah dibandingkan dengan penghasilan dusun lainnya yaitu Rp. 6.540.000/tahun atau sebulannya Rp. 545.000 .

Penghasilan tertinggi diperlihatkan oleh Dusun Tanjung Lasa Rp 13.518.000, selain bermata pencaharian pokok sebagai petani karet, ternyata hasil ternak sapi berperan besar terhadap income keluarga. Rata –rata dapat menjual sekor sapi setiap tahunnya. Dusun lainnya di DAS Sibau yang merupakan dusun paling hulu dari DAS ini adalah Dusun Nanga Potan yang juga menjadikan usahatani karet sebagai penghasilan pokok mereka. Kegiatan berburu masih dilakukan karena binatang buruan masih ada walau sudah agak sulit diperoleh, namun hesan air berupa ikan masih dianggap mudah diperoleh, Karena itu tidak mengherankan rata-rata responden dapat menangkap ikan seharinya minimal 2 kg atau dalam setahun dihitung sebanyak 720 kg atau senilai Rp 720.000. Memelihara babi merupakan keterampilan yang miliki oleh responden. Hasil kajian ini memperlihatkan bahwa ternak di semua DAS relatif baik pertumbuhannya dan mengisyaratkan bahwa potensi ternak untuk dibudidayakan dan dikembangkan di semua DAS cukup logis, karena dengan pengelolaan yang sederhana saja dapat memberikan hasil yang cukup memuaskan.

Berdasarkan keraggaan usahatani dan sumber pedapatan masyarakat di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa pada dasarnya kegiatan pertanian yang mereka lakukan sama sekali tidak menggunakan pupuk buatan/anorganik atau dapat dikatakan sudah terbiasa dengn bahan organik dalam membantu pertumbuhan tanaman. Hanya saja teknologi dan sistem kerja yang belum memenuhi syarat untuk dapat dikatakan sabagai suatu sistem pertanian organik yang akan dikembangkan. Jika diperhatikan jumlah pendapatan di dusun-dusun tersebut berkisar antara Rp. 588.250 – Rp 1.151.250/bulannya. Namun data ini masih perlu dikoreksi karena masih banyak responden yang memberikan informasi tidak selengkap yang diharapkan yang berarti angka ini mungkin lebih tinggi lagi. Berdasarkan data ini diketahui rata- rata penghasilan masyarakat saat ini adalah Rp 869.750/bulan.

h. Pola Menu Konsumsi

Bila diperhatikan pola menu di atas ada dua jenis bahan makanan yang dominan dan tidak ditingalkan masyarakat sebagai makanan pokok yaitu beras dan sayur mayur. Sayur mayur umumnya diperoleh dan mengambil dari kebun atau ladang mereka dan bahkan ada yang mencari dan mengambil di hutan. Atas dasar kesamaan bahan yang dikonsumsi maka dapat dikelompokkan menu makan masyarakat menjadi 16 pola menu sehari hari hingga dapat diperhitungkan menjadi menu satu bulan. Untuk menu yang sama dikelompokkan dalam satu pola, demikian juga besar pengeluarannya di kelompokkan atau dijumlahkan yang kemudian dibagi dengan frekuensinya. Dengan cara seperti ini diperoleh rata-rata besar pengeluaran setiap pola yang berkisar antara Rp 300.000 – Rp. 798.000/bulan. Jika dibagi dengan jumlah seluruh responden diperoleh besar rata-rata pengeluaran konsumsi perbulan yaitu Rp 549.000/bulan. Bila dibandingkan dengan penghasilan Rp 588.250 – Rp 1.151.250 perbulan = Rp. 869.750/bulan, maka petani diangap masih dapat menabung atau untuk belanja keperluan yang lain. Hal ini jug dibuktikan oleh kepemilikan radio dan TV di rumah mereka

i. Perkembangan Pembangunan Infrastruktur

Peranan infrastruktur adalah sangat besar dalam memperluas, memberdayakan dan memacu pertumbuhan pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan bidang ini bukan saja meningkatkan. Perbaikan infrastruktur, berperan penting dalam meningkatkan arus barang dan jasa dari dan ke daerah perdesaan sehingga dapat meningkatkan akses penduduk terhadap pasar dan informasi.

Untuk membangun suatu kawasan, faktor transportasi merupakan salah satu pertimbangan dalam memilih dan menentukan suatu lokasi yang akan dibuka selain potensi sumberdaya alam yang dimiliki dilokasi tersebut. Transportasi juga sangat mempengaruhi kelancaran komunikasi antar kawasan yang akhirnya akan mempengaruhi percepatan pembangunan kawasan dimaksud. Kecamatan Kota Putussibau dan Kecamatan Kedamin sebagian besar wilayahnya desanya berada dipinggir sungai (Sungai Mendalam dan Sungai Sibau), dan aksesnya terhadap masyarakat luar juga cukup besar.

Jarak Ibu kota Kabupaten ke desa bervariasi, yang terdekat dapat ditempuh selama 30 menit sedangkan yang terjauh (Nanga Hovat) ditempuh dengan waktu sekitar 3-3,5 jam dengan motor air 40 HP. Dari dusun ini juga dapat dilalui jalan darat, bilamana kondisi jalan kering, ke pusat Kota Putusibau dapat menggunakan kenderaan motor roda dua akan lebih singkat. Jangkauan ke desa-desa lainnya juga relatif mudah dan cepat dengan menggunakan waktu 2-3 jam. Belum semua desa dapat dicapai dengan kenderaan darat, karena kondisi alam yang masih sulit dilalui dan sebagian besar belum ada jalan nya. Sementara dusun lainnya di DAS Mendalam seperti ke dusun Lung Mitin, dusun Tanjung Karang, dusun Teluk Telaga (Desa Padua Mendalam ) dan ke dusun Uma’ Suling , Dusun Pagung dan ke Dusun Ng Hovat yang paling dekat jaraknya dengan hutan TNBK (desa Datah Dian) sudah dapat dicapai melalui jalan darat dengan menggunakan sepeda motor. Sedangkan dusun Ng Sambus dan dusun Semangkok (desa Hapan Mulia) hanya dapat dicapai melalui sungai dalam waktu antara 15-30 menit tergantung besar mesin motor air yang digunakan.

Untuk mendatangi perkampungan/dusun di wilayah DAS Sibau terutama perkampungan paling hulu yang berbatasan langsung dengan hutan TNBK diperlukan waktu 3-3.5 jam menggunakan motor air long boat (40HP) (Tabel 3.7)

Tabel 7

Waktu Tempuh Dari Kota Putussibau Ke Lokasi Desa Kajian

Nama DAS, Desa dan Dusun

Waktu Tempuh Dengan Menggunakan

Kenderaan Sungai dan Darat

Keterangan

Jalan darat

15 HP

40 HP

Roda 4 /Roda 2

Desa Harapan Mulia

Dusun Nng Sambus

Dusun Semangkok (Ariung Mendalam)

Desa Padua Mendalam

Dusun Lung Miting

Dusun Tanjung Karang

Dusun Tlk Telaga

Desa Datah Dian

Dusun Uma’ Suling

Dusun Pagung

Dusun Nanga Hovat

*

20 menit

30 menit

50 menit

55 menit

1.15 jam

1.50 jam

1.55 jam

3.20 jam

*

15 menit

20 menit

35 menit

40 menit

1.10 jam**

1.20 jam**

1.25 jam**

3.05 jam**

*

-

-

1 jam

2 jam

2.30 jam

2.40 jam

3 jam

3.5 jam

Sepeda motor

Sda

Sda

Sda

Sda

Sda

Desa Sibau Hilir

Dusun Pangilingan

Dusun Bua’ Manik

Desa Sibau Hulu

Dusun Tanjung Lasa

Dusun Tanjung Pandan

Dusun Nanga Potan

-

-

-

-

-

-

1 jam**

1.30 jam**

2 jam**

2.30 jam**

2.45 jam**

40 menit

50 menit

1 jam

-

-

Sda

Sda

Sda

Sumber : WWF (pangamatan langsung, th 2003) dan pangalaman perjalanan Tim Peneliti

Tabel 8

Ongkos Transfortasi Dari Kota Putus Sibau Ke Lokasi Desa Kajian

Nama DAS, Desa dan Dusun

Ongkos Transfortasi Menggunakan

Kenderaan Sungai dan Darat

Keterangan

15 HP

Rp

40 HP

Rp

Ojek

Rp

Desa Harapan Mulia

Dusun Nng Sambus

Dusun Semangkok (Ariung Mendalam)

Desa Padua Mendalam

Dusun Lung Miting

Dusun Tanjung Karang

Dusun Tlk Telaga

Desa Datah Dian

Dusun Uma’ Suling

Dusun Pagung

Dusun Nanga Hovat

*

10.000

12.000

18.000

22.000

25.000

45.000

50.000

225.000

*

20.000

25.000

35.000

40.000

50.000

70.000

75.000

250.000

*

-

-

1 jam

2 jam

2.30 jam

2.40 jam

3 jam

3.5 jam

Sepeda motor

Sda

Sda

Sda

Sda

Sda

Desa Sibau Hilir

Dusun Pangilingan

Dusun Bua’ Manik

Desa Sibau Hulu

Dusun Tanjung Lasa

Dusun Tanjung Pandan

Dusun Nanga Potan

-

-

-

-

-

-

50.000

75.000

100.000

150.000

200.000

40 menit

50 menit

1 jam

-

-

Sda

Sda

Sda

Sumber : WWF (pangamatan langsung, th 2003)

Keadaan di atas memperlihatkan bahwa pada dasarnya transportasi dan komunikasi ke desa-desa kajian sudah sangat lancar, namun ongkos transportasinya dianggap masih sangat mahal, kadang tidak berimbang dengan hasil penjualan produk usahatani yang dijualnya

Di lingkungan desa/dusun sendiri, di seluruh dusun yang dikunjungi sudah ada jalan, terbuat dari bahan semen yang sangat mendukung kelancaran hubungan antar rumah warga (tidak becek lagi) Jalan kabupaten yang melintasi dusun Tanjung Karang cukup lebar masih dalam kondisi pengerasan. Jalan tersebut sudh dibuat sejak tahun 2000 dalam kondisi masih baik namun sudah bersemak karena jarrang dilalui, baik oleh orang maupun kenderaan bermotor. Kondisi jalan ke arah desa Putussibau pada musim hujan sulit dilalui karena dasar badan jalan kurang kuat dan becek. Akibatnya transportasi sangat tergantung pada angkutan sungai. Selain jumlah bahan yang dapat diangkut menggunakan sampan bermotor lebih banyak maka transportasi sungai menjadi sangai penting kecuali jalan yang ada di perbaiki dan dalam kondisi hujan pun jalan dapat dilalui minimal dengan kenderaan bermotor roda dua.

Prasarana dan sarana umum selain jaringan jalan adalah lampu penerangan desa secara swadaya sudah memenuhi kebutuhan warga/masyarakat di seluruh desa, karena di masing-masing dusun sudah ada listrik desa yang dimiliki secara perorangan. Secara swadaya listrik di alirkan kerumah-rumah warga yang menyala setiap malamnya dengan lama menyala sangat tergantung pada keadaan. Bilamana ada film yang bagus untuk ditonton ataupun ada tamu yang menginap maka lampu akan dinyalakan hingga pagi hari. Fasilitas komunikasi yang sudah dinikmati adalah telepon tangan (Handphone) terutama di Dusun Tanjung Karang. Pada titik tertentu melalui jaringan Satelindo kemunikasi melalui HP dapat dilakukan, sedangkan di dusun lainnya sinyal HP belum dapat di tangkap.

j. Permasalahan Sumber Daya Alam

Wilayah DAS Mendalam dan wilayah DAS Sibau, merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam, dimana masyarakatnya masih menggunakan adat sebagai landasan pengelolaan sumber daya alam. Namun seiring dengan kepentingan-kepentingan ekonomi pengelolaan sumber daya alam tersebut menjadi tarik menarik dengan kebutuhan akan keberlanjutan dari sumber daya alam tersebut, sehingga keseimbangan sumber daya alam semakin terganggu.

DAS Mendalam sudah cukup banyak eksploitasi-eksploitasi sumber daya alam skala besar, kesemuanya ini dilihat dari kepentingan pemerintah pusat dan daerah pada masa orde baru, alasan-alasan yang tidak signifikan menjadi dasar kuat bagi pemerintah untuk mengeluarkan beberapa izin mulai dari HPH skala besar dan kecil maupun izin HTI semuanya beralasan dengan pendapatan daerah/negara maupun kemakmuran atau pemberdayaan masyarakat sekitar, namun yang terjadi masyarakat masih tetap terpuruk ke dalam kemiskinan, kesejahteraan rendah, tingkat pendidikan semakin tidak jelas dan sumber daya alam semakin habis, dari masalah tersebut muncul re-sistensi yang berkepanjangan di masyarakat DAS Mendalam menghadapi pengelolaan sumber daya alam. Pertentangan-pertentangan ini terjadi sudah cukup lama, seperti penolakan masyarakat terhadap keberadaan HPH dan HTI di DAS Mendalam, melalui dialog dengan Dewan Perwakila Masyarakat Kabupaten Kapuas Hulu --ketika itu di jabat oleh Abang Tambul Hussein-- dan di tanda tangani bersama bupati Kapuas Hulu Yacobus F. Layang pada tanggal 13 Maret 2000 dalam kesepakatan tersebut tercatat bahwa pemerintah setuju dan mendukung sepenuhnya atas tuntutan masyarakat adat Kayan Mendalam untuk menolak HPH atau perusahan-perusahan yang bergerak dibidang kehutanan yang berada di DAS Mendalam.

Dengan memiliki 4 etniksitas yang berbeda--Bukat, Kayan, Taman Semangkok dan Melayu Sambus—masyarakat Mendalam mempunyai keberagaman budaya dan aturan adat yang berbeda, dengan penguasaan pengelolaan sumber daya alam bernilai ekonomi tinggi lebih menyebabkan konflik horizontal di masyarakat antar-etnik terjadi, walaupun tidak begitu kelihatan namun bibit konlik seperti klaim wilayah adat sudah mulai dirasakan bagi masyarakat DAS Mendalam, maka pada tahun 2005 bulan Oktober Menteri Kehutanan, M.S Kaban berkunjung ke dusun Tanjung Karang, DAS Mendalam. Ketika itu masyarakat membikin kesepakatan pengelolaan DAS Mendalam yang diajukan oleh menteri, yang berisi:

1. Hormati dan hargai hak dan kemampuan masyarakat adat dalam mengelola DAS Mendalam.

2. Kembalikan pengelolaan sumberdaya alam kepada masyarakat adat DAS Mendalam.

3. Hentikan tuduhan yang mengkambing hitamkan masyarakat adat sebagai pengerusak lingkungan.

4. Meminta agar pemerintah membantu dan mendukung upaya-upaya yang dilakukan masyarakat adat dalam menjaga, memelihara, memperbaiki, dan melindungi sumber daya alam.

Wilayah DAS Sibau memiliki hal yang tidak begitu berbeda dengan masyarakat DAS Mendalam, ancaman-ancaman sumber daya alam sudah lama terjadi mulai illegal logging, perburuan satwa, penangkapan ikan secara merusak. Kasus yang terjadi terakhir adalah pembakaran hutan adat yang sudah diserahkan ke aparat pengak hukum, namun karena masih tahapan tindakan persuasif, maka pelaku diselesaikan secara mekanisme adat. Bahkan dibeberapa wilayah pengelolaan hutan sudah ada kesepakatan pembagian kewenangan pengelolaan sumber daya alam DAS Sibau, misal di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) oleh Balai-TNBK dengan masyarakat, Hutan Lindung bersama dinas kehutanan dan wilayah adat oleh masyarakat ada Taman Banua Sio.

IV. Kesimpulan

· Dari aspek Bio-fisik keberadaan wilayah kerja PT. Toras Banua Sukses, masuk dalam kawasan lindung sebesar 1.979 Hektar, dengan kelas hutan lahan basah sebesar 2,8 Hektar, hutan lahan kering sebesar1.976 Hektar. Wilayah tersebut harus ditinjau ulang lagi untuk penggunan lahan karena dari luas wilayah tersebut tingkat bahaya erosinya termasuk kriteria berat dan sangat berat sebesar 1.972 Hektar. Sedangkan di wilayah hutan produksi kelas hutan yang ada adalah hutan lahan basah sebesar 251 Hektar, hutan lahan kering 13.750 Hektar, kawasan semak belukar 1.829 Hektar dan sungai 27 Hektar, untuk tingkat bahaya erosi kriteria berat dan sangat berat seluas 3.037 Hektar. Sedangkan untuk hutan produksi terbatas dengan kelas hutan lahan basah 643 Hektar, hutan lahan kering 3.444 Hektar, lahan terbuka 1,4 hektar, semak 322 Hektar sungai 11 hektar, dengan tingkat bahaya erosi kriteria berat dan sangat berat sebesar 1.861 Hektar. Dari 3 pembagian wilayah tersebut total untuk tingkat bahaya erosi berdasarkan kelas berat dan sangat berat seluas 6.870 Hektar, sehingga jika tajuk dan lapisan serasah pelindung permukaan tanah hilang, tanah akan terbuka sehingga mudah ter-erosi oleh tenaga air hujan. Sebagian pori-pori tanah tertutupi sehingga air tidak dapat meresap dan menyebabkan terjadinya peningkatan aliran permukaan serta erosi. Akibat dari erosi ini, lapisan tanah atas subur dan permeabel (mudah dirembesi air) akan hilang atau memadat, sehingga menurunkan kapasitas kemampuan tanah menyerap air (infiltrasi). Sebagian besar fauna tanah (secara tidak langsung) tergantung pada kontinuitas pasokan bahan organik dalam bentuk searasah daun, buah atau serasah kayu, alih guna fungsi hutan cenderung menurunkan serasah yang juga menurunkan persediaan makanan bagi fauna tanah. Erosi tidak hanya mempengaruhi lokasi tempat terjadinya kehilangan tanah (on-site) tetapi juga pada daerah dibawahnya (off-site). Pengaruh on-site dari erosi adalah:

· Menurunnya kesuburan tanah karena hilangnya lapisan tanah

· Menurunnya sifat fisik tanah karena hilangnya bahan organik tanah

· Menurunnya kapasitas infiltrasi

· Menurunnya produktifitas lahan pertanian

Sedangkan pengaruh off-site erosi hilir meliputi:

· Rendahnya kualitas dan nilai kegunaan air

· Sedimentasi pada aliran sungai

· Pengerusakan anak sungai dan lahan

· Perubahan rejim hidrologis sungai.

· Dalam kawasan hutan produksi (HP) seluas 15.858 hektar dan hutan produksi terbatas (HPT) seluas 4.423 Hektar, yang tidak memiliki kayu (semak belukar) di wilayas HP seluas 1.829 dan di wilayah HPT 322 Hektar dan lahan terbuka 1.479 Hektar. Kayu lebih banyak di lokasi hutan lahan kering seluas 13.750 Hektar (HP) ditambah di wilayah HPT 3.444 Hektar. Dari data tersebut, menurut izin yang diberikan Menteri dikerjakan selam 20 tahun dengan jumlah batang maksimum 11.025 batang/tahun dengan volume 42.890 Hektar apakah bisa mencukupi, sedangkan aturan penebangan di wilayah HPT diameter yang akan diambil di HP minimal 50 cm dan di HPT minimal 60 cm.

· Secara aspek legal dari penyesuaian Hutan Lindung Bukit Panggihan – Bukit Lambu Anak diwilayah kerja PT. Toras Banua Sukses harus di tinjau ulang lagi, berdasarkan peraturan yang ada kawasan tersebut peruntukannya masih masuk dalam kriteria lindung, sehingga penyesuaian ataupun penyempitan hutan lindung harus dilihat dari aspek yuridis yang sudah ditetapkan.

· Dari sisi sosial-ekonomi dampaknya akan terjadi penolakan dari masyarakat, karena dahulunya sudah ada kesepakatan antar masyarak DAS Mendalam untuk tidak memperbolehkan industri kehutanan masuk di wilayah mereka. Selain itu masyarakat tetap tidak berpengaruh nilai ekonomi mereka, di Indonesia belum ada cerita sukses pengembangan ekonomi masyarakat dengan kehadiran HPH, malah yang ada mengakibatkan berkurangnya nilai ekonomi masyarakat seperti kebutuhan dasar masyarakat (sub-sisten), perladangan, kualitas air bersih, dan pendangkalan sungai.

· Jika HPH PT. Toras ini tetap dipaksakan maka akan semakin besar peluang konflik horizontal antar etnik di dalam dan di luar DAS Mendalam. Karena tidak akan munculnya nilai yang menguntungkan semua pihak masyarakat keseluruhan, tetapi yang akan muncul adalah keuntungan ekonomi masyarakat tertentu, sehingga tidak terjadinya pemerataan kebutuhan ekonomi akan muncul konflik-konflik yang terbuka.

· Semakin besar ancaman terhadap kawasan konservasi yang lain seperti Taman Nasional Betung Kerihun dan Hutan Lindung sebagai penyangga kawasan tersebut, hal ini dikarenakan wilayah kerja PT. TBS berbatasan langsung dengan wilayah lindung sehingga yang akan terjadi adalah penjarahan di kawasan TNBK dan Hutan Lindung baik yang dilakukan oleh PT. TBS sendiri maupun masyarakat yang nantinya akan di jual lagi ke PT. TBS.